"Jawab pertanyaanku, Jose. Apakah menari denganku menjadi sebuah keharusan?"
"Aku hanya ingin membuktikan kalau aku cukup pantas dan bertalenta untuk menjadi pendampingmu."
"Apakah pembuktian itu harus dengan menari?"
Sesungguhnya, Alea paling anti berdebat. Terlebih bila perdebatan berujung pertengkaran seperti ini. Bagaimana bila pertengkaran mereka didengar lagi oleh Arini? Jika itu terjadi, sia-sialah Jose dan Alea mengajarkan cinta tanpa mempertontonkan keributan pada putri mereka.
** Â Â
Apa yang ditakutkan Alea terjadi. Arini mendengar pertengkaran orang tuanya. Tanpa mereka sadari, Arini lewat di dekat ruang tamu setelah mengambil bonekanya. Dengan wajah sendu berurai air mata, anak cantik itu naik ke lantai atas.
Arini membanting pintu kamar. Ia menekapkan tangan ke wajah, terisak tertahan. Risau hatinya mendengar Alea dan Jose bertengkar lagi. Arini belum tahu penyebabnya, tetapi yang jelas hatinya sakit sekali.
Anak mana yang tidak pilu mendapati orang tuanya bertengkar? Hati anak-anak sepolos kertas putih. Warna apa pun tinta yang menodai mereka, sangat mudah untuk menyerapnya. Jose dan Alea telah menodai hati Arini dengan tinta hitam.
Mengapa Ayah dan Bundanya ribut lagi? Arini tak berdaya, tak berdaya membalikkan keadaan. Dia masih terlalu kecil untuk memahami kerumitan orang dewasa.
Lama-lama Arini tertekan tiap kali melihat orang tuanya berselisih. Tak sadarkah Jose dan Alea kalau sikap mereka membuat Arini sedih? Secara materi dan kasih sayang, mereka memang juaranya. Akan tetapi, mereka belum layak disebut orang tua yang matang. Sebab mereka membiarkan anak semata wayang mereka menyaksikan ketidakharmonisan. Jangan mengajarkan cinta dengan keributan di dalamnya.
Arini tak tahan lagi. Dibukanya connecting door yang menghubungkan kamarnya dengan balkon. Di balkon, terdapat anak tangga panjang yang terarah langsung ke halaman belakang. Kaki mungil Arini bergegas menuruninya. Arini keluar dari rumah lewat jalan pintas.