Di jalan depan rumah, Arini bertanya-tanya. Harus kemana ia mengadu? Kemanakah dia bisa meluruhkan sedih hatinya? Jawaban atas pertanyaannya hadir. Sosok ayah kedua, malaikat tampan bermata sipit yang pertama kali ia cari saat sedih dan bahagia. Arini pun berlari ke rumah paling besar di kompleks.
"Arini...Arini Sayang, ada apa?"
Reaksi pertama Calvin adalah kaget. Bagaimana tidak, Arini datang padanya sambil menangis. Dalam sekejap, Arini rebah di pelukan pria berparas pucat itu.
"What happen, Sweetheart? Tell me..."
"Ayah sama Bunda berantem lagi."
Calvin terenyak. Dibelai-belainya rambut Arini penuh kasih. Ia takkan menanyai Arini apa penyebabnya. Didengarkannya curahan hati Arini tanpa menyela, tanpa bertanya, dan tanpa menghakimi.
"Daddy..." panggil Arini di sela tangisnya.
"Iya, Sayang?"
"Enak ya, jadi Nobita. Nobita punya Doraemon yang punya alat apa aja. Andai aku jadi Nobita, aku bakalan ambil pil penyembuh biar Ayah bisa jalan lagi dan buku buat baca bahasa hati Bunda."
Polos, polos sekali permintaan itu. Arini memiliki cara sendiri di kepalanya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Begitukah problem solving ala anak kecil? Calvin, yang sangat memahami anak-anak, takkan menghakimi.
Calvin memeluk Arini. Diciumnya kening gadis kecil itu. Tanpa sepengetahuannya, Sivia lekat memperhatikan dari balik kaca partisi. Air bening membasahi mata biru wanita itu.