Surga Bukan Perumahan Cluster
Silvi menggedor pintu kamar Jose. Tak sabar ingin bertemu pemuda cilik itu.
"Gabriel! Gabriel! Aku mau bilang sesuatu!" serunya.
Jose gemas bercampur penasaran. Cepat-cepat ditutupnya laptop, lalu dibukanya pintu kamar. Silvi melompat ke pelukan Jose. Ada apa ini? Dengan canggung, Jose membalas pelukan Silvi.
"Kamu mau bilang apa?" tanya Jose setelah mereka melepaskan diri.
"Gabriel, kita sepupuan!"
Mata Jose terbelalak. Apa-apaan Silvi? Bulan mulia begini, dia malah berbohong. Mentang-mentang sudah malam.
"Kamu jangan bercanda. Kita kan nggak mirip." bantah Jose.
"Coba kamu liat ini!" Silvi mengeluarkan album foto dari tasnya. Mata birunya berkaca-kaca.
Jose menerima album itu. Dibuka-bukanya dengan penuh ingin tahu. Aneh, di tiap lembarnya, ada foto Ayah Calvin bersama seorang wanita. Ayah Calvin bersama wanita, itu sangat tidak biasa. Sebagian besar album berisi foto pernikahan. Tampak Ayah Calvin begitu tampan mengenakan tuxedo putih. Wanita bergaun putih di sampingnya cantik sekali. Wanita itu....mirip Silvi dan Paman Revan.
"Album itu kutemukan di koleksi foto keluarga. Oh Gabriel, ternyata almarhumah Ma Sivia istrinya Ayah Calvin! Ma Sivia itu Bunda kamu, Gabriel!"
Ma, lingua Manado untuk adik perempuan dari orang tua. Tentu saja Jose kaget mendengarnya. Mengapa tidak ada yang memberi tahu?
Album bersampul biru itu terbanting. Silvi terlonjak kaget. Wajah Jose dihiasi amarah. Ia marah, marah pada Ayah Calvin.
** Â Â
Sepertiga malam itu sangat dingin. Bukan karena suhu mendadak turun drastis. Atmosferlah yang mendinginkannya.
"Ayo dimakan dulu, Sayang. Sedikit aja..." bujuk Ayah Calvin sabar.
"Nggak mau! Ayah jahat!" tolak Jose kasar.
Ayah Calvin menghela nafas berat. Sekali ini saja, Jose tak peduli. Lupakan soal Ayah Calvin yang kelelahan merawatnya di usia yang tak lagi muda. Lupakan kalau kondisi darah Ayah Calvin tak seperti orang kebanyakan.
"Ayah salah apa?" Ayah Calvin bertanya dengan nada letih.
"Ayah nggak pernah cerita sama Jose! Ayah sembunyiin semuanya! Silvi itu sepupu Jose, kan?"
Ayah Calvin terperangah. Tak diduganya rahasia itu akan terungkap. Lembut dicengkeramnya pundak Jose.
"Kamu tahu dari mana, Nak?"
"Silvi liatin foto-foto pernikahan Ayah sama...sama Bunda Sivia."
Saat mengucap dua kata terakhir, tenggorokan Jose terasa sakit. Akhirnya ia tahu siapa Bundanya. Tahu namanya, melihat wajahnya, tetapi tak bisa merengkuhnya.
Menit berikutnya, kemarahan dan kekecewaan Jose tak tertaankan. Anak itu berteriak-teriak menyalahkan sang ayah. Gelas kristal, piring porselen, sendok emas, dan mangkuk perak beterbangan. Jose mengambil garpu, lalu menusukkannya ke tangan kiri. Susah payah Ayah Calvin berusaha mencegah Jose melukai diri.
"Ini..." gumam Ayah Calvin seraya mengulurkan tangan kanannya.
"Lukai saja tangan Ayah. Asal bukan dirimu sendiri."
Srettt...
Tangan Ayah Calvin terluka. Darah menyembur keluar. Jose kecewa, sungguh kecewa.
Tak terdengar sedikit pun erang kesakitan. Tak ada keluhan, tak ada bentakan kemarahan. Ayah Calvin mengobati lukanya sendiri. Sementara itu, Jose menatapnya lekat tanpa menghapuskan rasa sedih dan kecewa.
"Dari dulu Jose tanya tentang Bunda! Tapi Ayah nggak mau jawab! Jose tahunya dari orang lain!" teriak Jose. Kekesalannya tertumpah. Balon kesedihannya pecah.
Pelan-pelan Ayah Calvin mencoba memeluk Jose. Meraih tubuh anak tunggalnya ke pangkuan. Kali ini Jose menurut. Wajah tampannya masih dipenuhi gurat kemarahan.
"Sulit bagi Ayah untuk terus terang padamu. Ayah takut kamu sedih, Sayang." ujar Ayah Calvin lembut.
Kedua mata Jose mengerjap. Rasanya sakit. Mata dan hatinya perih sekali.
"Mau dengar ceritanya, Sayang? Kamu sudah siap? Setelah ini, kamu boleh marah dan melukai Ayah lagi."
** Â Â
22 Mei, kerusuhan pecah. Kendaraan-kendaraan berlapis baja ditempatkan di depan kantor. Orang-orang berbaju putih dan hitam menyerbu jalanan. Kalimat-kalimat brbahasa Arab dipekikkan.
Situasi negara kacau gegara pesta demokrasi. Sebagian orang tak terima dengan kekalahan. Mereka memutuskan berdemonstrasi.
"Menangkan 02! Diskualifikasi 01!"
"Bangsa kita butuh pemilihan yang adil!"
"Jangan biarkan kafir memimpin lagi!"
Ayah Calvin terjebak di antara kepungan massa. Mobilnya dibakar. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena lewat depan kawasan perkantoran. Andai saja tadi ia lewat jalan tikus, atau sekalian saja tak usah keluar rumah.
"Ganyang 01! Ganyang kafir! Bunuh asing!"
Massa terus berteriak-teriak. Mereka melontarkan rentetan kata menyakitkan. Sakit hati Ayah Calvin mendengarnya. Mudah sekali menyulut kemarahan orang dengan politik identitas.
Apa yang ditakutkan orang-orang terjadi. Kerusuhan ini melibatkan politik identitas. Kelompok tertentu dikafirkan. Kelompok lain dianggap asing dan berbahaya. Makin sedih Ayah Calvin saat dia menemukan seorang anak kecil berambut ikal menjadi korban. Tubuhnya terkena luka sabetan parang milik salah seorang demonstran.
Ini tak bisa dibiarkan. Pria berkacamata itu menggendong tubuh si anak malang. Ayah Calvin berdesakan melewati kerumunan massa. Sejumlah demonstran berulang kali mencoba melukainya.
"Kalian boleh lukai saya. Berhenti melukai anak-anak tak bersalah." ucap Ayah Calvin, tenang dan berwibawa. Kontras dengan suasana hatinya yang dirayapi gundah.
"Ah diam kamu, kafir! Orang asing seperti kamu tak diinginkan! Pulang sana ke negaramu!"
Rasa dingin menjalari seluruh tubuh Ayah Calvin. Dingin, dinginnya kebencian demonstran itu, menusuk sampai ke sumsum tulangnya. Apa salah dirinya dan saudara-saudara seetnisnya? Mengapa tiap kali ada konflik politik, etnis bermata segaris selalu jadi korban?
"Stop! Stop! Dia temanku!"
Seorang gadis cantik berhijab hitam menyeruak. Penampilannya mirip para demonstran. Mereka pun terdiam. Si gadis menarik tangan Ayah Calvin. Keduanya berlari ke ruas jalan terdekat. Jalan yang membatasi area demonstrasi.
"Thanks," kata Ayah Calvin penuh terima kasih.
"Kamu sudah membantuku menyelamatkan anak ini..."
Gadis cantik itu tertawa. Tanpa malu, dia membuka hijabnya. Kain sutra hitam itu tersingkap. Helaian indah mahkota hitam berkilau tergerai bebas. Gadis itu cantik, cantik sekali.
"Makanya, pinteran dikit dong kalo mau pergi-pergi. Kamu pakai jas dan dasi begitu...ya jadi mangsa empuk merekalah. Liat nih, aku pura-pura berhija. Aman jadinya." cerocos si gadis tanpa beban.
Ayah Calvin terpana mendengarnya. Siapakah gadis unik ini? Di tengah kekacauan ibu kota, dia masih bisa tertawa riang.
"Aku Sivia Gabriella Tendean. Kamu?"
Di luar dugaan, gadis itulah yang mengenalkan diri duluan. Ayah Calvin menjabat tangannya.
"Calvin Wan."
Tendean? Kenapa ia merasa familiar dengan nama itu? Ayah Calvin memandang Sivia dari atas ke bawah. Sivia bertubuh langsing. Kulit wajah glowing dipadu dengan sepasang mata biru pucat membuatnya tampak begitu menawan. Gamis putih panjang terjurai anggun membalut tubuhnya.
Tunggu, mata biru itu? Mengapa seperti mata Revan? Pikir Ayah Calvin. Orang Indonesia bermata biru sangat langka. Ia yakin sekali, Sivia ada hubungannya dengan sahabat Manado Borgonya itu.
Anak dalam gendongan Ayah Calvin merintih kesakitan. Ayah Calvin memeluknya lebih erat, berbisik menenangkan. Giliran Sivia terpesona. Tampan sekali pria di depannya ini. Daya pikatnya begitu kuat. Care, kind, and fatherly, bisik hati kecilnya.
** Â Â
Kejadian itu mendekatkan Ayah Calvin dengan Sivia. Hampir tiap hari mereka bertemu. Awalnya karena sama-sama mengurus anak korban kerusuhan itu. Setelah si anak sembuh dan kembali ke rumah orang tuanya, pertemuan mereka makin intens.
Dua tahun berlalu. Ayah Calvin dan Sivia tak terpisahkan. Kemana-mana selalu berdua. Dunia seakan hanya milik mereka. Bahkan, Ayah Calvin pun mengizinkan Sivia masuk ke ruang kesakitannya.
Ruang kesakitan itu bernama rumah sakit. Sivia mendampingi Ayah Calvin di masa-masa perawatannya. Ia sedih, namun tetap menerima sepenuh hati.
"Sejak awal aku tahu kalau kau sakit," tukasnya dengan mata sembap.
"Apa kenyataan ini membuatmu berpikir untuk berpisah dariku?" lirih Ayah Calvin. Rasa sakit itu masih ada, menjalari tulang-tulangnya.
Sivia menggeleng. Lembut membelai tangan Ayah Calvin yang dibalut selang infus.
Kali berikutnya, Ayah Calvin menemani Sivia ujian sidang. Jarak usia mereka terpaut cukup jauh. Namun, hal itu tak menghalangi mereka untuk bersama. Sedekat apa pun malaikat tampan bermata sipit dengan gadisnya yang jelita, ada batas tak kasat mata di antara mereka.
"Aku tunggu di sini," kata Ayah Calvin di pelataran masjid.
"Nope. Tunggu aku di sana saja." tunjuk Sivia ke selasar hijau pendek.
"Kenapa memangnya?"
"Aku tak ingin kamu luka lagi. Jamaah masjid ini fanatik soalnya. Mereka takkan suka melihat mala itu."
Urusan di masjid selesai. Sekarang saatnya Sivia menunggu di halaman vihara. Ini lebih mudah. Umat tak begitu agresif. Paling-paling Sivia hanya ditatap penuh minat. Orang-orang menyukai matanya yang unik.
"Ngoni mau kita punya mata?" goda Sivia pada sekumpulan umat yang menatapnya.
Lama mereka berusaha mencari jalan atas batas tak kasat mata itu. Namun, sulit sekali. Sivia takut, sangat takut terpisah dari Ayah Calvin.
Di sepertiga malam yang hening itu, Sivia memainkan lagu tersedih yang bisa diingatnya. Ia mainkan lagu itu untuk malaikat hidupnya.
Dahulu kau mencintaiku
Dahulu kau menginginkanku
Di saat ku mulai mengharapkanmu
Dan kumohon maafkan aku
Sekarang kau pergi menjauh
Sekarang kautinggalkan aku
Di saat ku mulai mengharapkanmu
Dan kumohon maafkan aku
Aku menyesal telah membuatmu menangis
Dan biarkan memilih yang lain
Tapi jangan pernah kaudustai takdirmu
Pasti itu terbaik untukmu
Janganlah lagi kau mengingatku kembali
Aku bukanlah untukmu
Meski ku memohon dan meminta hatiku
Jangan pernah tinggalkan dirinya untuk diriku
Lagu itu teramat sedih. Upright piano di balkon penthouse mewah milik Ayah Calvin jadi saksinya. Sivia menyuarakan kepedihan hatinya.
"Kenapa sedih, Sivia? Aku tidak akan meninggalkanmu..." Ayah Calvin berujar lembut. Kedua tangannya membelai rambut Sivia.
"Kau akan meninggalkanku...karena kau tak bisa meninggalkan Dia."
Ayah Calvin menghela nafas. Dapat dibacanya pancaran kesedihan di mata gadis itu.
"Aku memang tidak bisa memenuhi harapanmu, Sivia. Tapi, bukan berarti aku meninggalkanmu. Justru aku ingin mengajakmu tinggal di Bali. Segera setelah urusan kita selesai. Kita akan bersatu, dan tinggal di sana."
Hening. Keheningan yang luar biasa menyesakkan. Air bening mengambang di pelupuk mata Sivia.
"Kenapa harus tinggal di Bali, Calvin?"
"Kau tahu...kota ini sudah terlalu padat dan memuakkan. Keseringan main politik identitas. Tidak baik untuk minoritas seperti kita, Sivia."
Sivia mengangguk paham. Pulau itu pun tempat impiannya. Tak terpikirkan Ayah Calvin akan menawarinya untuk membangun keluarga di Pulau Dewata.
"Calvin, kenapa kita berbeda?" isak Sivia.
Mendengar itu, Ayah Calvin terpagut pilu. Ia menarik putus kalungnya, menatap Sivia hampa. Ada luka di mata itu.
"Sebuah kenyataan..."
Mata Ayah Calvin berembun bening. Hidungnya berdarah. Sivia menjatuhkan diri dalam pelukan pria yang dicintainya.
** Â Â
Kisah yang dituturkan Ayah Calvin menggoreskan luka besar di hati Jose. Dadanya serasa dirobek pisau kesedihan.
"Terus dimana Bunda, Ayah? Dimana? Kenapa kita nggak tinggal di Bali?!" Jose berseru putus asa, menarik-narik lengan jas Ayahnya.
Ayah Calvin tertunduk dalam. Helaan nafasnya memberat.
"Bundamu sudah tidak ada, Sayang...ini yang Ayah sesalkan."
"Kenapa?"
"Tiga tahun berikutnya, Ayah dan Bunda menetap di Bali. Kami bahagia dengan suasana baru. Cukup lama kami menanti kehadiranmu karena Ayah sakit. Saat kamu lahir, Ayah baru tahu kalau Bundamu menyimpan kesedihan mendalam. Bundamu sangat mencintai Ayah, tapi ia takut terpisah. Bundamu...Bundamu pergi setelah melahirkanmu."
Tidak, ini tidak mungkin. Mengapa Jose baru tahu sekarang? Rasanya sakit, sangat sakit.
Secarik kertas meluncur keluar dari saku jas Ayah Calvin. Jose merebutnya. Ia tahu, itu pasti surat dari Sivia.
Calvin,
Aku menerima, dan tetap memberimu cinta, sekalipun kau tidak bisa memenuhi harapanku. Meski begitu, aku takkan rela bila anak tunggalku tumbuh tanpa mengenal Allahnya. Beri dia nama Jose, seperti nama pendiri MER-C. Nama tengah dan nama belakangnya adalah nama kita berdua. Aku percayakan dia padamu. Besarkan dia seperti anak-anak Muslim dibesarkan.
Kau tahu, Calvin? Ternyata kesedihan mendalam dapat memperpendek umur seseorang.
With love,
Sivia
Kepedihan, kepedihan itu merobek-robek hati Jose. Tubuhnya merebah dalam dekapan Ayah Calvin.
"Ayah...nanti kalau kita mati, kita nggak akan ketemu lagi." ungkap Jose pilu, pilu sekali.
"Kenapa Jose berpikiran begitu?"
"Lintasan kita beda, Ayah."
Ayah Calvin mencium kening Jose. Mengusap-usap rambutnya penuh kasih sayang.
"Surga bukan perumahan kluster, Sayang. Bukankah Tuhan Maha Kuasa? Kalau Dia mengatakan kita bisa bertemu, kita akan bertemu lagi. Pintu-pintu itu akan terbuka untuk orang baik yang saling mencintai karenaNya. Bukankah Tuhan itu Maha Cinta, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang? Mudah baginya untuk mempertemukan orang-orang yang saling mencintai di surga. Dan surga tidak terkotak-kotakkan, Sayangku. Tidak seperti keadaan di negeri kita."
Kata-kata Ayah Calvin menyentuh lembut hati Jose. Ia sangat mencintai Ayah Calvin, begitu pun sebaliknya. Hal yang paling ditakutkan Jose adalah waktu. Ia takut, sungguh takut kebersamaan dengan Ayahnya singkat saja. Walau begitu, Jose menyerahkan semua harapannya pada Tuhan dan para malaikat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H