Kalimat terakhir membuat hati Revan terasa dingin. Mengapa Calvin bicara begitu? Sebersit kekaguman memerciki hati. Calvin Wan memang multitalenta. Bukan hanya pintar menyanyi, modeling, menulis, ngeblog, dan berbisnis. Ia juga pintar memasak.
"Hutspot sama kroketnya pasti buat Anton. Dia kan hobi banget tuh sama kuliner-kuliner khas Belanda. Trus ketan susu, rendang, sama satenya buat orang nyeleneh kayak Albert." tunjuk Revan pada makanan-makanan yang disebutkannya.
"Ehm...ada yang sebut namaku ya? Biasalah, orang ngetop banyak yang sirik."
Sebuah suara barithon terdengar dari pintu pantry. Albert baru tiba. Ketiga lelaki tampan beda etnis itu bertoast.
"Kamu kan memang nyeleneh, dokter bule. Sukanya makanan Indonesia mulu. Makanan luar negeri nggak mau sama sekali." ledek Revan, menaik-turunkan alisnya.
"Kalau kamu perempuan, sudah kucium kamu. Sayangnya aku masih normal. Jadi, nggak terprovokasi kata-katamu." Albert menanggapi, pura-pura dingin. Sukses membuat Calvin dan Revan tertawa.
"Percuma mau aktingnya kayak gimana. Kamu nggak bisa jadi orang cool, Albert."
Kali ini dokter ganteng blasteran Jawa-Jerman-Skotlandia itu memasang ekspresi pura-pura marah. Sementara Revan mengerjai Albert, Calvin teringat sesuatu. Ia berniat membuat satu jenis kue lagi. Masih ada waktu.
Bergerak memunggungi dua sahabatnya, Calvin membuka lemari bahan. Diambilnya tepung, telur, gula, pasta pandan, dan mentega. Ditimbangnya bahan-bahan itu, membuat takaran tepat sesuai resep. Pengusaha retail itu tak peduli jasnya akan kotor bila terlalu lama berinteraksi dengan bahan-bahan kue.
"Hei malaikat tampan bermata sipit, kamu lagi ngapain?" goda Albert, menirukan panggilan kesayangan Silvi.
Revan menghantamkan spatula ke punggung Albert. "Hanya sepupuku yang boleh panggil Calvin begitu!"