Detik demi detik berlalu lambat. Jarum jam bergemeretak. Revan meremas rambut pirangnya frustrasi.
"Andai saja rambut ini tidak pirang! Andai saja mata ini tidak biru! Andai saja aku dan kamu bukan blasteran, pasti dulu kita sudah jadi Paskibraka! Setelah semua yang dilewati, setelah rangkaian seleksi..."
"Sudahlah. Untuk apa menyesal? Memang blasteran seperti kita sering diperlakukan tidak adil. Tapi, kita harus ikhlas. Jangan sampai apa yang terjadi pada kita, terjadi pada orang lain."
"Calvin, apakah Non-Pribumi seperti kita tidak boleh menjadi Paskibraka?"
Pertanyaan sulit. Calvin terdiam. Sayang sekali, ia tak punya jawabannya.
Jauh di dalam hati, ia mengakui Revan benar. Diskriminatif bila orang-orang berdarah campuran seperti mereka tak bisa menjadi Paskibraka hanya karena blasteran. Mereka dianggap bukan warga Indonesia asli, bahkan ada yang menganggap mereka pendatang. Lalu, di tengah keanekaragaman etnis, seperti apakah yang termasuk warga Indonesia asli? Entahlah, Calvin yang cerdas pun tak mengerti.
"Apakah hanya mereka yang disebut warga negara aslilah yang boleh jadi Paskibraka? So, yang disebut warga Indonesia asli itu yang seperti apa?" Revan melemparkan tanya, putus asa.
Masih terekam dalam ingatan bagaimana dia dan Calvin mengikuti seleksi. Mulai dari tes pengetahuan umum, baris-berbaris, seleksi kesehatan, tes fisik, sampai wawancara. Waktu itu, Calvin masih sehat. Sebuah kebahagiaan besar ketika mereka berdua sama-sama lolos seleksi. Ketika itu, Revan sempat iri dengan sahabatnya. Ia iri melihat postur tubuh Calvin yang sempurna, kecerdasannya, kemampuan baris-berbarisnya, dan pesonanya yang memikat banyak orang selama seleksi dan latihan.
"Teman-teman kita yang lolos sama sekali tidak membedakan. Mereka menerima kita, tapi..."
"Stop. Jangan larut dalam kenangan, Revan. Syukuri saja rezeki kita. Well, setidaknya kita pernah merasakan latihan bersama anggota Paskibraka. Kita tahu bagaimana rasanya menerima lencana ini." Calvin mengangkat tinggi-tinggi lencana merah putih.
"Tak semua orang bisa merasakannya. Kita lebih beruntung."