Ruangan ini terlalu bersih untuk dikatakan sebagai gudang. Interiornya lebih mirip toko peralatan barang antik. Lampu-lampu memercikkan cahaya lembut. Lantai keramiknya sangat bersih. Barang-barang yang tersimpan di sini masih terawat baik.
Tumpukan kardus disusun bertingkat hingga ke langit-langit. Revan menatap bingung susunan kardus itu. Dimana ia harus mencari kalau barangnya sebanyak ini?
Tak ada pilihan lain kecuali membongkarnya satu per satu. Mana kardus-kardusnya polos tanpa tanda pula. Makin sulit mencari.
"Yes! Ketemu!" bisik Revan, takut mengganggu makhluk-makhluk penunggu gudang. Ia telah menemukan apa yang dicarinya.
Ia letakkan kardus besar berisi oven itu di dekat pintu. Lalu dirapikannya kembali barang-barang lain. Tengah sibuk berbenah, tetiba sebuah kotak karton menjatuhi punggungnya.
"Aduh..." Revan mengerang kesakitan, pelan meraih kotak itu.
Sekilas ia melihat kotak di tangannya. Tutup kotak berwarna merah, bagian bawahnya putih. Hatinya dirayapi rasa penasaran. Rasa ingin tahunya menang. Calvin pasti mengerti. Dibukanya kotak itu.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Sepasang mata biru pucat itu berawan. Tidak, sungguh ia tidak siap melihat benda-benda itu. Topi laken berlogo Paskibra, ikat pinggang, syal, evolet teratai, PDU (Pakaian Dinas Upacara) yang terlipat rapi, dan lencana merah putih. Lencana yang susah payah didapat setelah mengikuti latihan, pemusatan latihan, dan pengukuhan sebagai Paskibra. Lencana prestise dengan warna dasar merah, warna untuk Paskibraka. Bukan sekadar putih atau hijau. Ah ini menyakitkan, sangat menyakitkan.
Ternyata Calvin masih menyimpannya. Tangan Revan gemetar hebat memegang benda-benda bersejarah itu. Sudahkah Calvin berdamai dengan masa lalu? Hebat sekali bila memang benar. Revan saja tak sanggup lagi menyimpan benda-benda itu di rumahnya.
"Laa haula wala quwatta illa billah..." desis Revan, suaranya tercekat menahan perih.
Awan-awan di bola mata Revan pecah. Jatuh menjadi kristal bening. Air mata tidaklah haram untuk pria.