Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Spesial] Mata Pengganti, Pembuka Hati, Pria Pencuri Air Mata

1 Februari 2018   05:27 Diperbarui: 1 Februari 2018   06:07 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Calvin tak berdaya. Ruangan berlangit-langit putih, berlantai putih, dan berdinding putih ini seperti penjara. Penjara yang membelenggu mimpinya.

Dokter ahli layaknya hakim jahat yang menjatuhkan vonis seraya mengetuk palu. Palu kematian untuk mimpinya. Sampai kapan pun, Calvin Wan takkan pernah menjadi seorang ayah.

**      

Alunan Fur Elise ia mainkan dengan jemari lentiknya. Silvi bermain piano sepenuh jiwa. Ia menunggu, menunggu suami super tampannya pulang.

Masih terlintas barisan kata dalam e-mail yang dikirimkan Bundanya. Bukan e-mail biasa.

"Setahun lagi belum memberi Bunda cucu, ceraikan. Kamu berhak bahagia."

Klise. Layaknya kisah-kisah dalam novel atau film. Pasangan yang menikah, bertahun-tahun tak punya keturunan, lalu didesak oleh orang tua untuk segera memberikan keturunan. Kisah yang klise dan murahan ini malah terulang dalam rumah tangga Silvi. Namun ini tak biasa. Bila kebanyakan wanita yang disalahkan, kali ini justru pria yang disalahkan. Kenyataannya, Calvinlah yang tak mampu. Kondisi kesehatannya terlalu lemah untuk mendapatkan itu.

Semburat jingga keemasan terpeta di kaki langit. Senja turun dengan indah. Kedua tangan Silvi terlipat di depan dada. Ia harap, indahnya senja bersamaan dengan indahnya kabar yang dibawa Calvin saat ia pulang nanti. Amat besar harapan Silvi.

Reminder di smartphonenya berbunyi. Sedetik kemudian wanita bermata biru blasteran Sunda-Inggris itu teringat. Shalat gerhana, pikirnya. Saatnya berdoa dan bermunajah pada Allah.

**      

Sengaja pria tampan berwajah oriental dan bermata sipit itu menunda untuk pulang. Ia takut bertemu Silvi. Bukannya takut dengan percik amarah. Melainkan takut melihat rona kecewa di wajah istrinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun