"Calvin, kamu kenapa sih? Dari tadi liat jam terus." Salah seorang teman menanyainya penasaran.
"Hayo, mau ngapain? Mau bolos ya?" tanya yang lain iseng.
"Mau pacaran ya? Pasti udah janjian sama anak di sebelah."
Tak satu pun pertanyaan ia jawab. Sementara teman-temannya tertawa dan asyik melanjutkan makan siang mereka.
"Hei, dimakan dong. Nanti keburu dingin. Nggak enak lho."
Sayangnya, sekotak pizza di depannya tak tersentuh. Enggan ia menyentuhnya. Perasaannya tidak tenang.
"Pizzanya buat kamu aja." Calvin berkata pelan, setengah bangkit dari kursinya.
"Yakin? Kamu baik banget sih...ini kan kamu yang beli. Masa selama kenal kita, kamu baik terus sih? Kerjanya kasih sesuatu, traktir, nolong orang mulu...Calvin, Calvin. Beneran nih boleh dimakan pizzanya?"
"Boleh."
Teman-temannya bersorak, lalu mulai menyerbu kotak besar di depan mereka itu. Calvin beranjak meninggalkan mereka. Time to pray, bisik hatinya.
Berjalan menyusuri halaman sekolah yang luas, Calvin berpikir dimana ia bisa shalat. Begini rasanya jadi minoritas: tidak enak. Sulit menemukan tempat ibadah. Belum tentu orang lain paham dengan keyakinan yang dianut. Tak satu pun teman-teman Calvin yang tahu soal ini.