Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Calvin tersadar. Clara pun merasakannya. Ada yang berbeda. Ada yang lain. Ada yang berubah di hati mereka.
"I see. Sorry Clara, aku juga merasakannya." ucap Calvin.
"Aku yakin, rasa ini hadir tanpa kita inginkan. Kita tidak sengaja merasakannya. Aku...aku kekasih Adica, dan kamu..."
Tes.
Air mata Clara jatuh. Apa pula ini? Mengapa ia malah menjatuhkan air mata di depan kliennya? Tidak wajar, benar-benar tidak wajar. Klien menangis di depan psikolog, itu normal. Lazim terjadi. Bagaimana bila psikolog yang menangis di depan kliennya?
"Tegakah kamu menyakiti perasaan Adica? Dia orang baik, Clara. Dia sangat menyayangi kita berdua." Calvin berkata lagi, hatinya mampu menyelami perasaan wanita berambut sepundak itu.
"Bukan hanya itu," desis Clara.
"Ada satu hal yang harus kamu tahu."
Lama Calvin menunggu. Tergerak hatinya untuk menghapus air mata Clara. Namun Clara telah lebih dulu menghapusnya dengan tangannya sendiri.
"Silvi jatuh cinta padamu."
Demi mendengar itu, Calvin terperangah. Mustahil, mana mungkin Silvi jatuh cinta padanya? Bukankah mereka sudah sepakat sejak awal untuk menjadi kakak dan adik saja?