"Masih sakit? Maaf, aku lupa membawa obat. Aku tidak bisa mengobatinya. Kuharap ini akan meringankan rasa pedihmu," ucapnya lembut.
Hati Clara berdesir hangat. Calvin begitu lembut, baik, dan penuh perhatian. Senyumannya lembut menenangkan. Tatapannya teduh menenangkan. Wajahnya begitu tampan. Clara leluasa memandanginya dari jarak sedekat ini. Rasa pedihnya hilang seketika.
Mata Silvi berkejap. Nyaris saja ia menghamburkan kristal-kristal bening dari kelopak mata. Mengapa Calvin selembut itu pada Clara? Mengapa sejak ada Clara, perhatian Calvin berkurang drastis untuknya? Clara Carolina, hanya nama itu yang ada di hati Calvin. Posisi Silvi seakan tergeser.
Clara pun memberi sinyal positif pada Calvin. Biasanya ia angkuh dan tidak ramah pada banyak lelaki. Sikapnya pada Calvin berbeda seratus delapan puluh derajat. Lebih lembut, lebih ramah, dan lebih hangat. Senyum tak henti terukir di wajahnya tiap kali berdekatan dengan Calvin.
Silvi tak tahan lagi. Bara kecemburuan memancar dari mata birunya. Ia buru-buru bangkit, membawa pizza dan milkshakenya. Melangkah mundur ke belakang. Mencari meja yang kosong. Beruntung ia menemukannya di dekat jendela. Sebelum diisi tamu lain, Silvi cepat-cepat menjatuhkan tubuhnya di kursi. Kembali melanjutkan memakan pizzanya.
Ia memotong pizzanya dengan pisau. Beberapa kali merasa kesulitan. Tak tahukah Calvin bila Silvi kesulitan dan membutuhkan perhatiannya? Dari tadi, dia hanya memperhatikan Clara. Melawan rasa kecewa, Silvi memakan potongan demi potongan pizzanya perlahan-lahan.
Di seberang meja, sepasang mata sipit memandangnya. Pemilik mata sipit itu tersenyum. Menatapnya lekat-lekat. Mengamati dan memperhatikannya. Silvi tak peduli. Pura-pura memfokuskan perhatian pada menu di mejanya.
Stay cool dan pura-pura cuek sudah tak berguna. Si pemilik mata sipit itu masih menatapinya. Kali ini lebih intens dan dalam. Sepasang mata sipit di balik wajah putih dan hidung mancung yang mengingatkannya pada Calvin. Ya, pemilik mata yang sejak tadi terus memandangnya adalah seorang pria Tionghoa yang sangat tampan. Tak kalah tampannya dibanding Calvin Wan. Pria Tionghoa itu mengenakan setelan formal Versace yang sangat elegan. Modis, lagi-lagi tak kalah modisnya dengan Calvin. Sayangnya, Silvi tak tertarik. Toh ia datang ke sini bukan untuk tebar pesona. Tidak ada niat sedikit pun untuk tebar pesona. Bukankah ia hanya diam? Tidak bertingkah macam-macam? Kalau ingin tebar pesona, sudah sejak lama ia melakukan banyak jurus tebar pesona yang dipelajarinya.
Makin lama, tatapan pria Tionghoa itu makin dalam. Keresahan di hati Silvi kian membesar. Apa motif pria itu sebenarnya? Merampok dan memeras secara halus, jelas bukan. Buat apa pria yang kelihatannya kaya itu merampok gadis kecil dan kesepian seperti dirinya? Ingin memanfaatkan? Bisa saja. Ingin berkenalan? Kemungkinan begitu. Tertarik? Mana ada laki-laki yang tertarik pada gadis low vision sepertinya? Ataukah Silvi yang terlalu lama menutup hati selama ini? Entahlah, Silvi tak bisa menerkanya.
Mungkin menurut dia, Silvi itu cantik. Terlebih Silvi mewarisi darah campuran dan mata biru dari nenek di pihak ibunya. Silvi beruntung mewarisinya. Aura dan mata hatinya membuat gadis berdarah Indo itu kerap kali didekati orang lain.
Sampai akhirnya...Silvi membalas tatapan pria itu. Ya, di menit dan detik itu juga. Pria Tionghoa dan gadis berdarah Eropa saling bertemu pandang. Tepat ketika Silvi membalas pandangannya, si pria Tionghoa bangkit berdiri. Melangkah menghampiri meja Silvi. Berhenti tepat di depannya, tersenyum, lalu bertanya.