Tiada aku sengaja
Cintai yang bukan milikku
Tuhan ataukah cinta
Yang tahu jawabnya
Jangan engkau sesali
Bila kini semua berarti
Kita hanya manusia
Yang tiada sempurna
Kau hanya wanita
Aku lelaki
Dia kekasihmu
Yang tak mungkin mengerti
Betapa sesungguhnya di antara kita
Ada cinta yang harus berakhir selamanya
Untukku
Jangan engkau sesali
Bila kini semua berarti
Kita hanya manusia
Yang tiada sempurna
Kau hanya wanita
Aku lelaki
Dia kekasihmu
Yang tak mungkin mengerti
Betapa sesungguhnya di antara kita
Ada cinta yang harus berakhir selamanya
Harus berakhir selamanya
Dan harus berakhir selamanya
Yang harus berakhir selamanya
Kau hanya wanita
Aku lelaki
Dia kekasihmu yang tak mungkin mengerti
Betapa sesungguhnya di antara kita
Ada cinta yang harus berakhir selamanya
Kau hanya wanita
Aku lelaki
Dia kekasihmu
Yang tak mungkin mengerti
Betapa sesungguhnya di antara kita
Ada cinta yang harus berakhir selamanya
Betapa sesungguhnya di antara kita
Ada cinta yang harus berakhir selamanya (Bebi Romeo ft Sandhy Sandoro-Wanita).
** Â Â Â
"Kamu yakin tidak mau kutemani? Aku khawatir padamu, Calvin." tanya Adica untuk kedua kalinya.
Calvin menolak sehati-hati mungkin. Meyakinkan adiknya kalau ia bisa menyetir sendiri. Adica terus menatapinya dengan cemas saat Calvin memasuki mobilnya.
"Take care," kata Adica cemas.
"Bye Adica." balas Calvin datar, lalu menutup pintu mobil.
Range Rover putih itu melaju meninggalkan halaman rumah. Satu tempat destinasi pengemudinya: taman. Tak sabar ingin segera tiba di sana. Seorang wanita cantik yang telah mencuri hatinya telah menunggu.
Mengapa Calvin seantusias ini? Hanya karena bertemu psikolog cantik yang mencoba mengobatinya. Namun, Clara bukan sekadar psikolog. Ia lebih dari itu di hati Calvin.
Menaikkan kecepatan mobilnya, Calvin teringat Clara. Biar bagaimana pun, Clara kekasih Adica. Wanita yang sangat dicintai adiknya sendiri. Tak semestinya bunga-bunga cinta bersemi. Siapakah yang bisa mencegah berseminya cinta? Tidak ada. Cinta itu anugerah, datangnya dari Illahi. Cinta tak pernah salah.
** Â Â Â
Ku tak tahu apa yang terjadi
Seperti mimpi yang tak pernah kuharap
Kini berakhir tak seperti yang kumau
Memulai bersama hingga maut memisahkan kita
Tak akan pernah hilang janji-janji kita
Tiada kata akhir untuk pintu harapan ini
Tak kulepas semua mimpi indah kita
Walau itu semua pudar
Bagai debu yang tersebar
Hanya diam meratapi mimpi (Isyana Sarasvvati-Mimpi).
** Â Â
Tiba di taman, Clara menyambutnya. Tersenyum hangat. Lalu mengajak Calvin duduk di ayunan. Entah mengapa Clara memilih ayunan bukannya bangku taman.
Sepasang pria dan wanita berwajah oriental duduk bersisian. Menikmati indahnya pagi di sebuah taman yang tak kalah indah. Suasana romantis sudah cukup mendukung. Apa lagi yang kurang?
"Aku senang kamu menepati janji," ujar Calvin.
"Janji apa?" Clara mengangkat satu alisnya.
"Semalam kamu meneleponku. Memastikan aku baik-baik saja dan tidak mencoba bunuh diri."
"Oh soal itu..." Clara tersenyum kecil. Memainkan ujung rambutnya.
"Janji harus ditepati, Calvin. Menepati janji sama halnya seperti mendapatkan kepercayaan. Agar bisa dipercaya, jangan pernah ingkar janji."
Desiran angin membelai tepi pakaian dan ujung rambut mereka. Udara sejuk mengalir, membuat nyaman para pengguna taman itu. Calvin dan Clara sangat menikmati kebersamaan mereka. Entah mengapa.
"Ada sesuatu di rambutmu, Clara." kata Calvin lembut.
Sejurus kemudian ia mengulurkan tangan. Menyingkirkan daun kecil di rambut Clara. Lembut membelai rambut Clara setelahnya. Tidak, sungguh tidak terduga. Gerakan kedua refleks semata. Calvin tak bermaksud melakukannya. Hanya ingin memastikan tak ada lagi daun yang menempel. Tapi, justru gerakan lain yang ia lakukan.
"Thanks Calvin."
Getaran apa ini? Mengapa hatinya bergetar kuat saat Calvin menyentuhnya? Membelai rambutnya dengan lembut. Adica pernah melakukan hal yang sama, tapi Clara biasa-biasa saja. Tidak se-excited ini.
"Ada yang lain..." desah Clara tetiba, tak mampu lagi menutupi semuanya.
"Ada apa, Clara?"
Clara menghela napas panjang. Berusaha menguasai diri. Ia tak boleh terlarut dalam perasaannya sendiri.
"Entah hanya diriku yang merasakan, atau kamu juga merasakannya. Tapi...interaksi kita selama ini tidak normal. Melebihi batas antara psikolog dan klien. Pertemuan seperti ini pun tak seharusnya terjadi."
Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Calvin tersadar. Clara pun merasakannya. Ada yang berbeda. Ada yang lain. Ada yang berubah di hati mereka.
"I see. Sorry Clara, aku juga merasakannya." ucap Calvin.
"Aku yakin, rasa ini hadir tanpa kita inginkan. Kita tidak sengaja merasakannya. Aku...aku kekasih Adica, dan kamu..."
Tes.
Air mata Clara jatuh. Apa pula ini? Mengapa ia malah menjatuhkan air mata di depan kliennya? Tidak wajar, benar-benar tidak wajar. Klien menangis di depan psikolog, itu normal. Lazim terjadi. Bagaimana bila psikolog yang menangis di depan kliennya?
"Tegakah kamu menyakiti perasaan Adica? Dia orang baik, Clara. Dia sangat menyayangi kita berdua." Calvin berkata lagi, hatinya mampu menyelami perasaan wanita berambut sepundak itu.
"Bukan hanya itu," desis Clara.
"Ada satu hal yang harus kamu tahu."
Lama Calvin menunggu. Tergerak hatinya untuk menghapus air mata Clara. Namun Clara telah lebih dulu menghapusnya dengan tangannya sendiri.
"Silvi jatuh cinta padamu."
Demi mendengar itu, Calvin terperangah. Mustahil, mana mungkin Silvi jatuh cinta padanya? Bukankah mereka sudah sepakat sejak awal untuk menjadi kakak dan adik saja?
"Kamu tahu apa artinya ini? Jika rasa itu hadir, akan ada dua hati yang tersakiti."
Kata-kata Clara menenggelamkan Calvin dalam lautan penyesalan. Tidak, mengapa harus ada lagi kekecewaan cinta? Bukan salah mereka rasa ini hadir. Bukan keinginan mereka menghadirkan rasa itu dalam hati satu sama lain.
"Clara, bagaimana jika pada akhirnya kita nekat tetap menyatukan rasa itu? Tanpa peduli pada halangan di sekitar kita?" Calvin memberanikan diri bertanya, selembut dan sehati-hati mungkin.
Si wanita Aries kelahiran 16 April menggelengkan kepalanya kuat. Satu, dua, tiga, empat tetes air matanya kembali jatuh. Kali ini Calvin bergerak lebih cepat. Diraihnya pundak Clara. Didekapnya psikolog cantik itu erat. Ya, Calvin Wan benar-benar telah berani memeluk kekasih adiknya sendiri.
"Sudah kubilang, akan ada dua hati tersakiti jika kita berani menyatukan rasa di dalam hati kita." isak Clara. Hati wanita penyuka binatang itu, yang semula begitu kuat, kini runtuh oleh air mata. Seorang Clara Carolina jarang menangis. Bila ia sampai menangis, berarti urusan ini teramat penting baginya. Baru kali ini ia menangis karena cinta. Tanpa disadari, si blogger super tampan bernama Calvin Wan itu telah menempati sebagian besar relung hatinya.
"Apakah kita hanya bisa diam? Salahkah bila psikolog dan kliennya saling jatuh cinta?" tanya Calvin, rupanya masih belum terpuaskan.
"Tidak, tidak salah. Situasi kitalah yang salah. Aku sudah punya Adica. Sebenarnya, menyakiti Adica tak begitu bermasalah bagiku. Tapi...ini ada hubungannya dengan Silvi, adikku satu-satunya. Aku tak mau menyakitinya."
Wangi Blue Seduction Antonio Banderas berpadu dengan wangi Bath & Body Works. Pelukan Calvin bertambah erat. Di luar kemauannya, beberapa kali ia mendaratkan kecupan di puncak kepala wanita itu. Membelai hangat rambut Cclara.
"Kamu sangat menyayangi Silvi. Aku tahu itu. Sudah banyak yang kamu korbankan untuknya. Kudengar, kamu rela menunda berkarier selama setahun demi mendampingi dan menjaga Silvi. Kamu mengorbankan waktumu, dari pagi sampai malam untuk Silvi saat awal-awal dirinya masuk universitas. Kamu rela tidak ikut organisasi para alumni, padahal kamu termasuk cantik, pintar, dan populer hanya karena kamu ingin memberi waktu untuk adikmu itu. Iya kan?"
Clara mengangguk lemah. "Bagaimana kamu tahu semua itu? Bbukan dari Silvi, kan?"
"Bukan. Aku menyelidikinya sendiri."
"Kamu hebat, Calvin. Bisa tahu itu semua. Aku berkorban semua itu karena aku sangat menyayangi Silvi. Lebih baik aku yang kehilangan waktu dan kesempatan dibandingkan harus melihat adikku yang cantik kekurangan perhatian. Silvi butuh waktu dan kasih sayangku. Saat itu Mamaku terlalu sibuk, sedangkan Papaku tidak bisa diharapkan. Mana mau dia mendampingi Silvi? Kakak pertamaku pun sama sibuknya. So, hanya aku yang bisa. Hanya aku yang mampu dan mau mengurus Silvi. Menjaganya, menemaninya, mendampingi setiap langkahnya. Sampai akhirnya, Mamaku memutuskan untuk resign. Mama memintaku fokus pada karierku dan berhenti mengurus Silvi. Di sisi lain aku senang, tapi di sisi lainnya aku sedih."
Calvin dan Clara berpelukan. Kian erat, kian hangat. Lengan Clara melingkar di leher Calvin. Sementara pria rupawan itu mendekatkan wajah. Menatap Clara lembut, penuh cinta dan kekaguman.
"Calvin, aku tidak bisa lagi menjaga Silvi. Mengantarnya ke kampus, membantu merias wajahnya, mengepang rambutnya, memilihkan baju-bajunya, memastikan Silvi tetap cantik dan dikagumi teman-temannya. Aku dan keluargaku sadar bagaimana keadaan Silvi. So, kami mendidiknya dengan cara berbeda. Kami sengaja membuat dia diterima lingkungannya, kalau perlu dikagumi dan menjadi inspirasi banyak orang. Semua tentang Silvi kami perhatikan dan kami bentuk sehati-hati mungkin, mulai dari penampilan sampai kepribadian. Usaha kami berhasil. Tujuan kami tercapai. Aku rindu melakukan itu semua."
Pada Adica sekali pun, Clara tak pernah seterbuka ini. Hanya pada Calvin ia mau terbuka. Soal pengorbanannya, ketulusan cintanya, kasih sayangnya untuk sang adik, dan rasa rindunya yang tertahan. Sekali lagi, Calvin mengelus kepala Clara. Merengkuhnya, menyalurkan kehangatan.
"Oh iya, aku ingin mengaku satu hal. Aku telah mengikuti dan memata-mataimu saat pertama kali kamu jalan dengan Silvi. Aku tidak tega membiarkannya bersama orang asing. Maaf ya? Maaf...aku bukan bermaksud mencurigaimu." ungkap Clara.
"Tidak apa-apa. Wajar kamu khawatir. Wajar kamu waspada. Tapi percayalah, aku tidak punya maksud jahat pada Silvi." Calvin berbisik menenangkan.
Setelah mendengarkan cerita Clara, makin dalam cinta Calvin untuk Clara. Kisah pengorbanan Clara menyentuh hatinya. Clara bukan hanya cantik, ia pun tulus dan mau berkorban. Sampai-sampai Clara merelakan satu tahun yang seharusnya ia gunakan untuk berkarier. Namun ia lebih mementingkan keluarga. Mengurus dan menjaga Silvi adalah prioritasnya saat itu. Calvin terkesan, sungguh terkesan. Tak salah bila ia jatuh cinta begitu dalam pada Clara.
"Terima kasih telah membuatku lebih tenang, Calvin. Aku bersyukur mengenalmu."
Tatapan Calvin semakin dalam. Sungguh, Clara tak mengerti mengapa Calvin menatapnya sedalam itu.
"Aku menyesal kita tidak bisa menyatukan rasa ini..." bisik Calvin.
"Tugasku adalah menyembuhkanmu, Calvin. Bukan yang lain. Yang jelas, kita tak mungkin menyatukan rasa ini."
Air mata Clara kembali mengalir. Tanpa diduga, Calvin mengecup mata wanita cantik itu. Menjilat air matanya.
"Jangan ada lagi air mata di sini," ujarnya lembut.
Hati Clara bergetar hebat. Begini rasanya dicium Calvin Wan. Ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Calvin mendekatkan wajahnya ke wajah Clara. Ia mencium lagi kelopak mata Clara. Lalu pipi, dan terakhir...French Kiss. Ya, Calvin Wan sukses memberikan French Kiss pada Clara Carolina. Baru pertama kali Calvin mencium seorang wanita. Sungguh, baru pertama kali. Dan wanita itu adalah Clara.
Ini pun pertama kalinya untuk Clara. Adica sekali pun tak pernah menciumnya. First kiss yang diterimanya justru dari Calvin. Fakta ini mengejutkan, sungguh mengejutkan.
"Clara...aku mencintaimu."
** Â Â Â
Di kanan-kirinya, sepupu-sepupu dan kakak sulungnya tertawa. Saling melontarkan canda sambil menikmati cheese roll, pai buah, kroket, dan beberapa jenis kue lainnya. Mengisi gelas mereka dengan minuman soda, lalu pura-pura bersulang. Silvi tak menikmatinya. Ia justru merasakan sepi di tengah keramaian.
Teringat e-mail Calvin beberapa menit lalu. Kata Calvin, ia harus menikmatinya. Berkumpul di tengah keluarga besar. Sibuk merencanakan pesta pernikahan Intan satu bulan lagi. Gadis bermata biru itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menikmati.
Pintu depan terbuka. Clara berjalan masuk dengan mata sembap. Ditingkahi tatapan heran seluruh anggota keluarga.
"Kamu dari mana?" tanya Intan ingin tahu, tersenyum nakal melihat mata dan wajah Clara.
"Not your business." Clara menyahut dingin, lalu duduk di samping Silvi. Mengambil sepotong pai buah dan menuangkan air putih ke gelasnya.
Hanya Silvi yang tahu. Clara baru saja bertemu Calvin. Itulah yang membuat hatinya gundah sejak tadi. Clara begitu sering bertemu dan berkomunikasi dengan Calvin akhir-akhir ini. Sejak Calvin dekat dengan Clara, segalanya seakan berubah. Calvin jarang mencari Silvi. Silvilah yang lebih dulu mencarinya. Seakan Calvin tak lagi menginginkan Silvi di dekatnya.
Kecewa dan cemburu memenuhi hati Silvi. Sakit hatinya karena Calvin berubah setelah dekat dengan Clara. Asumsinya benar. Bila Calvin telah menemukan wanita yang ia cintai, Silvi akan ditinggalkan dan dilupakan. Sakit sekali dilupakan oleh orang-orang terdekat.
Apa yang ditakutkan Clara terjadi. Bila perasaan terlarang itu hadir, akan ada dua hati yang tersakiti.
Notifikasi penanda Whatsapp di smartphonenya berbunyi. Cepat-cepat Clara membukanya. Chat dari Calvin. Sejenak membacanya, ia berpikir-pikir dan mengetikkan balasan. Setelah itu ia memegang jemari tangan Silvi.
"Silvi, kita ke PHD yuk." ajak Cclara.
"Ikut! Mau makan pizza jugaaa!" seru Intan dan sepupu-sepupu lainnya sebelum Silvi sempat menjawab. Sukses dihadiahi tatapan tajam Clara.
"Siapa yang mau ajak kalian? Aku mau ajak Silvi aja kok. Ayo."
Tanpa menunggu jawaban, Clara menarik tangan Silvi. Meninggalkan ruang tamu, berjalan ke halaman dimana sedan putihnya terparkir. Silvi menurut. Tak berkata apa-apa.
** Â Â Â Â
Ternyata bukan sekadar makan pizza biasa. Firasat Silvi benar. Pastilah ada maksud lain. Pria berwajah oriental yang sangat tampan itu telah menanti. Tersenyum menawan pada Clara dan Silvi.
"Calvin?" sapa Silvi senang, sudah lama tak bertemu pria yang telah ia anggap seperti kakaknya sendiri.
"Hai Silvi. Long time no see." Calvin balas tersenyum, mengulurkan satu tangannya. Menuntun gadis cantik itu duduk berhadapan dengannya.
Sesaat Cclara bingung. Tak tahu harus duduk dimana. Satu-satunya pilihan adalah sofa empuk di samping Calvin. Mau tak mau ia mengenyakkan tubuh di sana. Duduk manis di sisi blogger super tampan itu.
Tak bisa mencegah dirinya sendiri, Silvi menatapi Clara tak berkedip. Cemburu? Mungkin saja. Yang jelas, ia tidak suka Clara dekat-dekat Calvin. Gadis bermata biru itu menutupi perasaannya dalam diam.
"Wow, kamu hafal kesukaan kita ya? Semua menu ini kamu yang pesan, kan?" kata Cclara terkesan.
"Yups. Adica sempat cerita padaku, kamu suka American Favourite Signature. Kebetulan aku dan Silvi juga menyukainya. Mudah kan?"
"Ah...thanks, Calvin. Ini kesukaanku."
Mereka bertiga mulai menikmati pizza, bread garlic, dan milkshake. Terlihat Clara dan Calvin lebih banyak mengobrol berdua. Saling tatap, sesekali melempar senyum. Sekali-dua kali tertangkap oleh Silvi gerakan tangan keduanya. Calvin dan Clara tak sengaja berpegangan tangan.
Pemandangan di depannya sungguh tak tertahankan. Terus saja Silvi menggigiti bibirnya. Perasaannya sulit dilukiskan. Dirinya seperti boneka hias saja di sana. Tak dipedulikan, tak dilibatkan, hanya menjadi pelengkap. Sebuah pikiran nakal bermain di kepala Silvi. Andai saja Clara lenyap ditelan lantai sekarang juga, meninggalkan Silvi dan Calvin hanya berdua saja, mungkin segalanya akan kembali normal. Perhatian Calvin akan tercurah seratus persen hanya pada Silvi. Tidak terbagi untuk perempuan lain.
"Ow...sakit!" Clara berseru tertahan, menghisap ibu jarinya yang berdarah.
"Hei...are you ok? Kepotong ya? Sini sini..." tanya Calvin penuh perhatian. Memajukan posisi duduknya, memegang lembut ibu jari Clara.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Tujuh detik. Dua perempuan cantik berdebar-debar menunggu apa yang akan dilakukan Calvin. Pada detik kedelapan...Calvin mencium ibu jari Cclara. Sempurna menciumnya. Meletakkan bibirnya di atas jari yang terluka itu.
"Masih sakit? Maaf, aku lupa membawa obat. Aku tidak bisa mengobatinya. Kuharap ini akan meringankan rasa pedihmu," ucapnya lembut.
Hati Clara berdesir hangat. Calvin begitu lembut, baik, dan penuh perhatian. Senyumannya lembut menenangkan. Tatapannya teduh menenangkan. Wajahnya begitu tampan. Clara leluasa memandanginya dari jarak sedekat ini. Rasa pedihnya hilang seketika.
Mata Silvi berkejap. Nyaris saja ia menghamburkan kristal-kristal bening dari kelopak mata. Mengapa Calvin selembut itu pada Clara? Mengapa sejak ada Clara, perhatian Calvin berkurang drastis untuknya? Clara Carolina, hanya nama itu yang ada di hati Calvin. Posisi Silvi seakan tergeser.
Clara pun memberi sinyal positif pada Calvin. Biasanya ia angkuh dan tidak ramah pada banyak lelaki. Sikapnya pada Calvin berbeda seratus delapan puluh derajat. Lebih lembut, lebih ramah, dan lebih hangat. Senyum tak henti terukir di wajahnya tiap kali berdekatan dengan Calvin.
Silvi tak tahan lagi. Bara kecemburuan memancar dari mata birunya. Ia buru-buru bangkit, membawa pizza dan milkshakenya. Melangkah mundur ke belakang. Mencari meja yang kosong. Beruntung ia menemukannya di dekat jendela. Sebelum diisi tamu lain, Silvi cepat-cepat menjatuhkan tubuhnya di kursi. Kembali melanjutkan memakan pizzanya.
Ia memotong pizzanya dengan pisau. Beberapa kali merasa kesulitan. Tak tahukah Calvin bila Silvi kesulitan dan membutuhkan perhatiannya? Dari tadi, dia hanya memperhatikan Clara. Melawan rasa kecewa, Silvi memakan potongan demi potongan pizzanya perlahan-lahan.
Di seberang meja, sepasang mata sipit memandangnya. Pemilik mata sipit itu tersenyum. Menatapnya lekat-lekat. Mengamati dan memperhatikannya. Silvi tak peduli. Pura-pura memfokuskan perhatian pada menu di mejanya.
Stay cool dan pura-pura cuek sudah tak berguna. Si pemilik mata sipit itu masih menatapinya. Kali ini lebih intens dan dalam. Sepasang mata sipit di balik wajah putih dan hidung mancung yang mengingatkannya pada Calvin. Ya, pemilik mata yang sejak tadi terus memandangnya adalah seorang pria Tionghoa yang sangat tampan. Tak kalah tampannya dibanding Calvin Wan. Pria Tionghoa itu mengenakan setelan formal Versace yang sangat elegan. Modis, lagi-lagi tak kalah modisnya dengan Calvin. Sayangnya, Silvi tak tertarik. Toh ia datang ke sini bukan untuk tebar pesona. Tidak ada niat sedikit pun untuk tebar pesona. Bukankah ia hanya diam? Tidak bertingkah macam-macam? Kalau ingin tebar pesona, sudah sejak lama ia melakukan banyak jurus tebar pesona yang dipelajarinya.
Makin lama, tatapan pria Tionghoa itu makin dalam. Keresahan di hati Silvi kian membesar. Apa motif pria itu sebenarnya? Merampok dan memeras secara halus, jelas bukan. Buat apa pria yang kelihatannya kaya itu merampok gadis kecil dan kesepian seperti dirinya? Ingin memanfaatkan? Bisa saja. Ingin berkenalan? Kemungkinan begitu. Tertarik? Mana ada laki-laki yang tertarik pada gadis low vision sepertinya? Ataukah Silvi yang terlalu lama menutup hati selama ini? Entahlah, Silvi tak bisa menerkanya.
Mungkin menurut dia, Silvi itu cantik. Terlebih Silvi mewarisi darah campuran dan mata biru dari nenek di pihak ibunya. Silvi beruntung mewarisinya. Aura dan mata hatinya membuat gadis berdarah Indo itu kerap kali didekati orang lain.
Sampai akhirnya...Silvi membalas tatapan pria itu. Ya, di menit dan detik itu juga. Pria Tionghoa dan gadis berdarah Eropa saling bertemu pandang. Tepat ketika Silvi membalas pandangannya, si pria Tionghoa bangkit berdiri. Melangkah menghampiri meja Silvi. Berhenti tepat di depannya, tersenyum, lalu bertanya.
"Boleh kenalan? Siapa namamu?"
Darah Silvi serasa naik ke lehernya. Berani sekali pria tak dikenal itu menyapanya. Melempar senyum simpatik padanya. Sayangnya, Silvi tak tertarik. Ia lebih tertarik pada Calvin Wan, pria Tionghoa lain yang jauh lebih memesona baginya. Pria yang mendapat tempat istimewa di hatinya.
"Sorry...sejak tadi saya memperhatikanmu. Sekali lihat saja, saya langsung tahu kamu gadis yang cantik dan pintar. Boleh saya tahu siapa namamu?" ulang pria Tionghoa tampan itu, lebih lembut dan sabar.
Silvi masih tak menjawab. Enggan menanggapi pria tak dikenal yang menurutnya freaky itu. Tak dipedulikan sekali pun, si pria Tionghoa tetap tersenyum simpatik. Senyuman yang seharusnya membuat hati banyak perempuan meleleh. Sayangnya, Silvi tak sedikit pun terpesona.
"Namanya Silvi. Iya, dia gadis yang istimewa. Dia cantik dan istimewa, itu benar."
Refleks Silvi membalikkan tubuh. Sebuah suara bass dan suara mezosopran baru saja didengarnya. Ternyata Calvin dan Clara telah berdiri di belakangnya. Berpegangan tangan, menjawab pertanyaan lelaki Tionghoa misterius itu.
** Â Â Â
Paris van Java, 12 November 2017
Tulisan cantik, terinspirasi dari kejadian yang dialami Young Lady akhir pekan kemarin.
** Â Â Â
https://www.youtube.com/watch?v=yaaQsPbxuyY
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H