Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dari Seorang Penyanyi Cafe yang Mencintaimu

4 September 2017   04:42 Diperbarui: 4 September 2017   18:17 1814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Percayakah kalian pada ungkapan "love at the first sight"? Calvin mempercayainya. Pagi ini, ia merasakannya sendiri.

Koridor panjang bercat putih itu bagai jalan menuju akhirat. Putih, ia benci warna itu. Sudah lama ia terpenjara di dalam bangunan serbaputih ini. Melewatkan waktu berjam-jam di ruangan besar penuh berisi tabung oksigen, infus, elektrokardiograf, dan alat-alat penunjang kehidupan lain entah apa namanya itu. Menelan puluhan butir obat setiap hari. Menyandarkan harapan hidup pada obat dan peralatan medis.

Setidaknya ada Suster Ghea, sepupunya, yang selalu ada untuknya. Suster Ghea mengerti kondisi fisik dan psikologis Calvin. Setengah jam sekali, ia selalu menyempatkan diri melihat keadaan sepupu tercintanya.

"Kamu ingin jalan-jalan?" tanya Suster Ghea lembut.

"Boleh, kan?" Ada nada membujuk dalam suara Calvin.

"Sesekali saja...ayolah."

Sejenak berpikir, Suster Ghea mengangguk. Menggandeng tangan Calvin meninggalkan paviliun rumah sakit.

Di sinilah kini ia berada. Menyusuri koridor panjang bercat putih bersama Suster Ghea. Melewati sal demi sal. Mendengar berbagai macam suara, mulai dari rintih kesakitan, tangis kesedihan, dan suara seseorang yang sedang bercanda atau tertawa dari balik pintu-pintu ruangan yang dilewati. Unit kelas 1, kelas 2, dan kelas 3 mereka lewati.

"Ghea, berada di paviliun itu membuatku kesepian. Merasa tersisihkan dari orang lain." ungkap Calvin.

"Seharusnya kamu bersyukur, Calvin. Tidak semua pasien mampu membayar biaya paviliun. Lebih banyak yang kesulitan membiayai perawatan di sini." Suster Ghea mengoreksi, lembut dan sabar.

"Jujur kukatakan, aku kasihan pada pasien-pasien yang berobat di sini. Tidakkah rumah sakit ini lebih memprioritaskan segi komersial dibanding pelayanan?"

Mendengar itu, Suster Ghea terdiam. Menatap mata sepupu tampannya itu lekat-lekat. Refleks menggenggam tangan Calvin lebih erat.

"Calvin...kamu tidak berubah. Aku heran, orang baik sepertimu harus diuji penyakit sindroma Hughes." desahnya.

Mereka sampai di halaman. Terlihat beberapa pasien rumah sakit dan keluarganya duduk di bangku taman. Mengobrol, sesekali berfoto. Kebersamaan tercermin dari sikap mereka.

Tanpa sengaja, pandangan Calvin tertumbuk pada sesosok wanita cantik berambut panjang di sudut halaman. Di samping wanita itu, duduk seorang pria paruh baya berkepala botak. Nampaknya pria itu pasien rumah sakit.

Semenit. Tiga menit. Lima menit, Calvin tak bisa melepaskan tatapannya dari wanita itu. Wajah wanita itu sangat cantik. Ia memiliki mata indah dan alis yang bagus. Senyum tipis bermain di bibir mungilnya. Kulit putihnya, wajah mulus nan cantiknya, penampilan modisnya, dan pembawaan anggunnya mencerminkan jika wanita itu berasal dari keluarga berada.

Sekali lagi, wanita itu tersenyum. Sensasi kehangatan menyelusup ke hati Calvin. Meski tahu pasti senyuman itu bukan untuknya, tetap saja terasa hangat saat melihatnya. Wanita itu tersenyum untuk pria botak di sisinya. Mungkin itu ayahnya, mungkin saja bukan.

"Calvin, are you ok?"

Tepukan lembut di pundaknya dan suara mezosopran Suster Ghea menyadarkannya. Dengan enggan, Calvin berpaling memandang Suster Ghea.

"Kamu kenapa?" selidik Suster Ghea.

"Ghea, siapa dia?" Calvin balik bertanya.

Suster Ghea mengikuti arah pandangan Calvin. "Oh, perempuan cantik itu. Namanya Sofia, anak tunggalnya Pak Baskoro."

"Kamu kenal dia?"

"Cuma kenal nama dan wajahnya sih, dia sering ke sini kok. Pak Baskoro kan sakit jantung. Jadi, harus dirawat intensif."

Kembali lagi Calvin menatapi wanita itu. Kini ia tahu namanya. Sofia, nama yang indah. Calvin takkan melupakannya.

"Hei...diam lagi kamu. Kamu kenapa sih? Naksir Sofia, ya?" Suster Ghea berkata gemas.

**     

"Mariana Sofia. Lahir di Banda Aceh, 9 Januari 1985. Finalis Putri Indonesia tahun 2006. Lulusan Universitas Indonesia. Mantan penyiar radio di 92.1 FM Azura Radio. Saat ini mengelola Sofia Florist. Penyuka bunga, coklat, dan boneka. Penggemar Glee dan Kermit."

Suster Ghea membacakan informasi tentang Sofia. Calvin terkesan. Ternyata Sofia seumuran dengannya. Mereka pun sama-sama lahir di tanggal 9 meski berbeda bulan. 9, angka favorit Calvin.

"Thanks Ghea." Calvin berterima kasih pada sepupunya.

"You're wellcome. Btw, kelihatannya kamu penasaran banget sama Sofia. Ada apa?"

Calvin tak menjawab. Ia meraih selembar kertas dari meja samping tempat tidurnya. Mulai menuliskan sesuatu. Suster Ghea berusaha mengintip isinya.

"Maaf Ghea...privasi." Buru-buru Calvin menjauhkan kertas itu dari jangkauan sepupunya. Suster Ghea membelalakkan mata, mulai tak sabar.

"Privasi, privasi! Selalu saja begitu!" geramnya.

Tak ada respon. Calvin kembali menenggelamkan diri dalam tulisannya.

**     

Sofia berjalan cepat memasuki apartemennya. Urusan di toko bunga hari ini membuatnya letih. Ingin rasanya menyegarkan diri dengan air hangat dan busa sabun di dalam bathtub, lalu menyantap lasagna kesukaannya. Obat untuk kelelahannya setelah rutinitas yang panjang.

Baru dua langkah memasuki apartemen, perhatiannya teralih oleh sebuah surat. Bukannya tadi pagi surat itu belum ada di sana? Kini surat beramplop biru muda itu tergeletak manis di meja marmer.

Siapa tahu penting. Sofia mengambilnya, membuka amplopnya, dan mengeluarkan kertas dari dalamnya. Ia melepas sepatu, menghempaskan tubuh di sofa, lalu mulai membaca.

Dear Nona Sofia,,

Selamat pagi, Nona. Ini surat pertamaku untukmu.

Apa kabarmu hari ini, Nona Sofia? Sepertinya kamu terlalu sibuk sampai-sampai lupa menjenguk ayahmu di rumah sakit. Tadi kamu berdebat dengan klien di toko bungamu. Kamu pasti lelah dan frustasi.

Bersabar dapat menjadi kuncinya, Nona. Nona bisa menyelamatkan situasi dengan kesabaran dan sikap lembut.

Have a nice day, Nona Sofia.

Dari seorang penyanyi cafe yang mencintaimu,

Calvin Wan

Surat itu diremas lalu dirobeknya sekuat tenaga. Amplopnya ia lemparkan ke dalam tempat sampah.

"It's not important...!" desis Sofia.

Asumsinya, itu surat penting. Ternyata hanya surat tak berguna dari seseorang yang tidak jelas. Ketinggalan zaman, pikirnya meremehkan. Di masa kekinian dengan banyaknya medsos begini, masih menggunakan cara konvensional.

**     

Hatinya berdilema. Sore ini, Sofia pulang ke apartemennya dalam keadaan bingung. Ia baru saja menerima tawaran dari agencynya yang lama. Mereka ingin merekrutnya kembali sebagai model.

Modeling, sesuatu yang telah lama membuat Sofia jatuh hati. Ratusan event modeling diikutinya. Menjadi model iklan, model video clip, sampai covergirl pernah dilakoninya. Ia vacum begitu lama karena sibuk mengurus toko bunga.

Kini tawaran yang sama datang lagi. Haruskah Sofia menolak? Jika ia terima, bagaimana dengan toko bunganya? Bunga dan modeling, dua hal yang paling disukainya. Menimbulkan tarik ulur dalam hati.

Mungkin ia perlu berdiskusi dengan sahabatnya. Tapi siapa? Bukankah Thalita, Vania, dan Rayi sedang berada di luar negeri? Belakangan ini mereka sulit dihubungi.

Setumpuk koran dan majalah tersusun rapi di meja ruang tamu apartemennya. Membaca mungkin bisa menjadi inspirasi baru. Membantunya mengambil keputusan dan melihat masalah ini dari perspektif berbeda.

Sebuah majalah fashion diambil. Saat itulah sebentuk amplop biru muda terjatuh dari balik majalah itu. Amplop apa lagi ini? Sofia membungkuk, memungut amplop biru muda itu. Ketika dibuka, isinya surat.

"Ya ampun...surat lagi! Pasti dari orang aneh yang kemarin!" Sofia berteriak, kesal bercampur kaget.

Ingin rasanya ia langsung membuang surat itu. Namun sisi lain hatinya menolak. Ada rasa penasaran yang tercipta. Apa lagi yang akan ditulis oleh si penyanyi cafe bernama Calvin Wan itu?

Calvin Wan, bahkan Sofia ingat namanya. Cepat-cepat dibacanya surat itu.

Dear Nona Sofia,

Masih bingung dengan tawaran dari agency? Tak perlu bingung, Nona. Hidup adalah pilihan. Hanya diri sendiri yang benar-benar paham dan siap menjalani setiap pilihan itu. Setiap pilihan baik, Nona. Setiap pekerjaan itu baik.

Ikuti kata hati Nona. Jangan memilih sesuatu hanya karena rasa segan pada orang lain. Pilihlah karena keinginan dari dalam hati. Aku tahu, Nona pasti bisa mengambil keputusan terbaik.

Have a nice day.

Dari seorang penyanyi cafe yang mencintaimu,

Calvin Wan

Membaca surat ini, Sofia larut dalam pikirannya. Dalam hati ia mengakui kebenaran kata-kata si pemilik cafe. Mengikuti kata hati. Memilih dengan hati. Baiklah, ia akan menuruti saran Calvin Wan.

Tapi, siapa sebenarnya Calvin Wan? Ia seperti cenayang. Mungkinkah ia sebenarnya paranormal yang memiliki mata batin yang tajam? Buktinya, ia selalu tahu apa yang dilakukan dan dirasakan Sofia.

Walau membenarkan nasihatnya, tetap saja Sofia kesal dengan si penyanyi cafe. Sama seperti surat sebelumnya, surat yang diterimanya hari ini berakhir menjadi robekan-robekan kecil di tempat sampah.

**       

Malam ini hujan deras mengguyur kota. Kesuraman melingkupi metropolitan, sesuram hati Sofia. Ia baru saja bertengkar dengan ayahnya. Sang ayah kecewa karena Sofia terlalu sibuk dengan pekerjaan. Sampai-sampai lupa menjenguknya di rumah sakit. Ayahnya mengingatkan kalau dirinya satu-satunya anggota keluarga Sofia yang masih hidup. Semula Sofia bisa bersabar menghadapi kemarahan ayahnya. Namun kesabaran pun berbatas. Emosinya naik, dan pecahlah pertengkaran di rumah sakit.

Hati Sofia terpagut penyesalan. Tak seharusnya ia membalas kemarahan ayahnya dengan amarah pula. Bagaimana caranya meminta maaf?

Di tengah kegalauannya, lagi-lagi Sofia menemukan surat Calvin.

Dear Nona Sofia,

Berat saat kita berkonflik dengan orang tua kita sendiri. Mempertahankan ego dan pendapat, atau menuruti orang tua yang tak sejalan dengan kita. Semua itu kembali ke diri kita masing-masing. Aku paham bagaimana perasaan Nona. Aku percaya, Nona sangat mencintai Pak Baskoro. Begitu pula Pak Baskoro. Sangat mencintai Nona Sofia.

Meminta maaf dengan lemah lembut dan tulus dapat dicoba. Permintaan maaf dapat mencairkan hati yang beku. Belajarlah memaafkan, Nona. Sebab memaafkan akan terasa indah. Memaafkan berbeda dengan melupakan, Nona. Memaafkan berarti mengikhlaskan apa yang telah terjadi. Kita tetap mengingatnya, namun dengan pemahaman yang berbeda. Sedangkan melupakan hanyalah berusaha untuk tidak mengingat kejadian itu lagi meski dengan hati yang belum ikhlas.

Semoga Nona Sofia dan Pak Baskoro bisa saling memaafkan.

Meski ini bukan hari yang menyenangkan untuk Nona, tapi aku ingin tetap mengatakan...

Have a nice day

Dari seorang penyanyi cafe yang mencintaimu,

Calvin Wan

"Ya Allah...!" Sofia menutup wajah, tersedu. Siapa sebenarnya Calvin Wan ini? Batinnya bertanya-tanya.

Surat ini menjadi penghiburan untuknya. Kata-kata Calvin Wan dalam suratnya begitu lembut. Selembut itukah hati dan perasaannya?

**      

Sofia terpukul, sangat terpukul. Ayahnya meninggal. Penyakit jantung yang dideritanya selama bertahun-tahun mengisap habis seluruh kekuatannya.

Acara pemakaman berlangsung sangat tertutup. Hanya dihadiri keluarga besar. Sofia bersedih sendirian. Tak satu pun sahabatnya yang datang. Bukankah mereka sudah kembali ke Indonesia? Namun mereka justru tak ada saat Sofia terpuruk. Mereka bukan sahabat yang baik. Hanya hadir di saat bahagia.

Sedih lantaran kehilangan sang ayah, sakit hati dengan sikap pembiaran sahabat-sahabatnya, Sofia menyendiri di apartemennya. Tak mau ditemui siapa pun. Mematikan notifikasi semua sosial media. Menonaktifkan gadget. Ia benar-benar ingin sendiri.

Saat itulah ia mendapati surat dari si penyanyi cafe.

Dear Nona Sofia,

Aku ikut berduka cita atas meninggalnya Pak Baskoro. Semoga beliau mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan. Nona pastilah sangat sedih dan kehilangan. Terlebih tak satu pun sahabat Nona yang datang ke pemakaman.

Belajar dari pengalaman, Nona. Pengalaman akan membuat kita kuat. Coba ambil sisi positifnya. Tuhan lebih sayang pada Pak Baskoro. Tuhan ingin segera bertemu Pak Baskoro.

Soal sahabat-sahabat Nona itu...kalau boleh saya katakan, itulah kenyataan di dunia. Ibaratnya begini: uang ada, jadi sahabat baik. Tak ada uang, persahabatan selesai. Memang menyedihkan Nona, tapi itulah kenyataannya.

Nona, aku pernah ditipu. Rasanya sangat menyakitkan dan membuat kepercayaanku hancur. Tapi aku belajar dari pengalaman.

Carilah persahabatan sejati, Nona. Jangan pernah hitung berapa banyak orang jahat di dunia. Tapi bersyukurlah karena masih ada orang baik dan tulus di sekitar kita. Percayalah bahwa persahabatan sejati tetap ada dan akan selalu ada.

Hari ini berat untukmu, Nona. Aku yakin Nona bisa melewatinya. Nona Sofia adalah wanita yang kuat.

Have a nice day

Dari seorang penyanyi cafe yang mencintaimu,

Calvin Wan

Air mata Sofia membasahi kedua pipinya. Ia kembali menangis. Entah mengapa, ia mendekap surat Calvin. Seolah mengharapkan si penulis surat itu benar-benar memeluknya. Surat Calvin merupakan penghiburan nyata dibanding status persahabatan dari ketiga sahabatnya.

**      

Tengah malam, Sofia baru tiba di apartemen. Pikirannya kalut. Tadi siang ia bertemu lagi dengan Albert, cinta pertamanya. Seorang Jesuit yang menolak kebaikan keluarganya dengan angkuh dan penuh harga diri bertahun-tahun lalu. Seorang pria yang telah ditahbiskan dua tahun lalu. Pria itulah yang mematahkan hati Sofia dan membuatnya tidak ingin menikah.

Albert takkan terganti di hati Sofia. Karena Albertlah Sofia mengeraskan dan membekukan hatinya. Ia menutup hatinya dari cinta pria mana pun. Sofia bertekad hidup sendiri tanpa menikah. Begitu kejamnya cinta sampai-sampai membuat seorang wanita cantik enggan membuka hati.

Sofia melemparkan high heelsnya begitu saja. Tepat mengenai lemari kaca. Suara kaca pecah terdengar di apartemen itu.

Masih segar dalam ingatan Sofia bagaimana Albert mencampakkannya. Menampik kebaikan hati keluarganya. Mengabaikannya, berkata kasar padanya, dan meninggalkannya.

Kenangan pahit itu menyakitkan. Sofia benci harus mengingatnya lagi. Luka lama terbuka, mengalirkan darah segar hingga menimbulkan infeksi. Albert tak mengerti betapa sakitnya hati Sofia. Begitu mudahnya Albert "membuang" Sofia dari hidupnya. Sedangkan Sofia harus hidup bertahun-tahun di bawah bayangannya.

Ajakan move on dari semua orang tak pernah digubrisnya. Mereka semua tidak tahu perasaan Sofia. Mereka yang mengatakan untuk sabar, move on, melupakan, memaafkan, dan semacamnya, hanya bisa berteori saja. Kenyataannya, Sofialah yang menghadapi. Sofialah yang merasakannya.

Dulu Sofia pernah menggunakan tulisan dan musik sebagai media katarsis. Berbicara pada boneka-bonekanya pun pernah ia lakukan. Namun belakangan ini semua media katarsis itu tak lagi terasa bermanfaat olehnya. Menulis, bermain musik, dan berkomunikasi dengan benda kesayangan sudah tak manjur lagi.

Sejurus kemudian Sofia membanting pigura foto Albert. Merobek foto-foto pria di masa lalunya.

"Ini semua karena kamu, Albert! Beraninya kamu merusak semuanya! Sebesar apakah hutang budi yang kamu miliki pada kongregasimu itu?!" Sofia berteriak penuh emosi. Ia hanya sendiri. Saat sendiri itulah Sofia bisa melampiaskan perasaannya. Tak perlu lagi bersembunyi di balik sikap anggun dan senyum cantik. Terlalu besar gengsi Sofia untuk memperlihatkan kesedihannya di depan orang lain.

Puas menghancurkan foto-foto Albert, akhirnya ia menemukan surat Calvin.

Dear Nona Sofia,

Nona Sofia, hal ini memang tidak mudah. Albert adalah cinta pertama Nona. Okey, sebelumnya Nona pernah berelasi dengan orang lain, kan? Hanya saja, relasi yang dibangun bukan karena cinta yang sungguh-sungguh tulus dan dalam. Berbeda dengan Albert.

Aku tidak akan membahas soal agama dan logika, Nona. Aku melihat ini dari sisi Albert. Tidak semua hal di dunia itu indah. Ada banyak penderitaan. Penderitaan yang mengharuskan terciptanya hutang budi. Nona beruntung karena sejak lahir sampai sekarang hidup di keluarga yang berkecukupan. Nona tak perlu merasakan sulitnya hidup dalam kekurangan. Tapi jangan hidup di menara gading, Nona. Nona Sofia perlu melihat kenyataan. Masih banyak orang yang menderita, orang yang kekurangan, dan orang yang terikat hutang budi.

Hutang budi mengikat seumur hidup, Nona. Aku juga mengenal beberapa orang yang berjasa sangat besar untukku dan keluargaku. Begitu besarnya jasa mereka. Kalau boleh kukatakan, bahkan aku rela mati jika mereka menginginkannya.

Nona, bukalah hatimu dan biarkan cinta yang lain masuk. Aku tahu Nona sangat kesepian. Nona merasa sepi dan hampa karena hati Nona belum terbuka untuk menerima kasih. Hati Nona masih tertutup pada hadirnya ketulusan. Soal Albert, lupakanlah. Kalau mampu, maafkanlah.

Hidup bukan hanya berpusat pada cinta. Masih banyak yang perlu dilakukan dan dipikirkan. Masa depan Nona masih panjang.

Nona Sofia,

First love will never die. But time will heal your wound.

Good night.

Dari seorang penyanyi cafe yang mencintaimu,

Calvin Wan

Begitu selesai dibaca, surat itu bernasib sama seperti surat pertama, kedua, dan ketiga: menjadi robekan-robekan kecil di tempat sampah. Sofia merobek surat itu dengan penuh kekalutan. Dilemparkannya ke tempat sampah. Memangnya siapa Calvin Wan itu sampai-sampai menyuruhnya membuka hati? Beraninya pula ia mengatakan kata cinta di akhir semua suratnya. Buat apa Sofia mempedulikan surat-suratnya? Bisa saja Calvin Wan hanyalah penipu yang ingin memanfaatkannya. Jika memang cinta, mengapa tak menunjukkan dirinya di depan Sofia? Hanya bisa mengirim surat-surat bernada lembut dan simpatik? Siapa tahu penyanyi cafe bernama Calvin Wan itu sudah punya istri. Sofia hanya dijadikan sebagai alatnya semata.

Begitu sulitnya Sofia mempercayai orang lain. Sampai ia membuang surat Calvin. Satu kebiasaan yang sudah lama tak dilakukannya.

Calvin kira, mudah untuk membuka hati? Sama sekali tidak. Butuh proses sangat panjang. Bisa sukses, bisa saja gagal. Sofia enggan melakukannya. Ia lebih senang menikmati kesedihan dan kesepiannya. Terlebih Sofia sudah memisahkan cinta dengan urusan lain. Kendati kehidupan cintanya berantakan, karier dan kehidupan sosial Sofia sangat bagus. Target-targetnya satu per satu tercapai. Sejak kecil sampai sekarang, prestasi hidupnya selalu memuaskan.

Jangan tanyakan masalah cinta. Sofia terjebak pada kegagalan yang membawanya pada kepedihan tak berujung.

Hatinya begitu sedih. Mendengar dan menyaksikan potongan video di depannya. Saat Sofia merobek-robek suratnya dan melemparnya ke tempat sampah. Pria tampan itu mengerti, sangat mengerti. Cintanya bertepuk sebelah tangan.

"Calvin...don't be sad." Suster Ghea memeluknya. Ia tak bisa melihat sepupunya bersedih.

Segera saja Calvin menguasai diri. Panjangnya kesabaran untuk mencintai mengalahkan kesedihan.

"No problem, Ghea. Sofia butuh waktu...dia pasti akan mendapat kebahagiaan sejati. Dan aku akan tetap mencintainya." ujar Calvin lembut.

"Tiga kali Sofia merobek suratmu, itu pertanda penolakan. Dia menolakmu berkali-kali, Calvin." lirih Suster Ghea.

Sungguh, ia tak menyangka. Pria sebaik Calvin ditolak cintanya. Wanita yang terpilih untuk dicintai Calvin itu benar-benar tidak bersyukur. Ditolak berkali-kali oleh wanita yang dicintainya, Calvin tetap sabar. Tetap lembut. Tetap tulus.

"Cinta tidak bisa dipaksakan. Untuk menjalani sebuah hubungan, diperlukan komitmen dan kesadaran dari dua belah pihak." kata Calvin bijak.

"Calvin, bagaimana kalau kamu katakan yang sebenarnya? Aku...aku tidak rela sepupuku yang tampan dan baik diperlakukan seperti itu." usul Suster Ghea.

"Tidak, Ghea. Sofia tidak boleh tahu."

Perlahan-lahan alvin bangun dari ranjang. Suster Ghea bergegas membantunya. Membawakan tiang infus. Calvin memiliki benda kesayangan di paviliun tempatnya dirawat: piano. Ketika harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit, Calvin meminta Suster Ghea membawakan piano kesayangannya. Setelah berbagai kompromi, akhirnya pihak rumah sakit membolehkan piano itu dibawa ke paviliun. Selama Calvin sakit, piano itulah yang setia menemaninya. Menjadi media katarsisnya saat ia sedih, kesepian, dan kesakitan.

Calvin memainkan piano. Membawakan lagu yang representatif dengan isi hatinya. Lirik-liriknya ia nyanyikan dari hati terdalam.

Ku selalu menunggu

Meski itu bodoh untukku

Tak perlu kau ragu panjangnya sabarku

Tak putus ku meminta

Tuhan jadikan dia cintaku

Cinta mati selamanya

Berdua sampai akhir

Dan inilah hatiku

Hati yang siap kecewa

Meski cinta tak pernah berbalas untukku

Dan inilah doaku

Semoga kamu mengerti

Bertepuk sebelah tangan tak membuatku menyerah untukmu

Tak putus ku meminta

Tuhan jadikan dia cintaku

Cinta mati selamanya

Berdua sampai akhirnya

Sampai akhir

Dan inilah hatiku

Hati yang siap kecewa

Meski cinta tak pernah berbalas untukku

Dan inilah doaku

Semoga kamu pun mengerti

Bertepuk sebelah tangan tak membuatku menyerah untukmu

Bertepuk sebelah tangan tak membuatku menyerah untukmu (Calvin Jeremy-Bertepuk Sebelah Tangan).

Calvin begitu sabar. Sabar menanti, menyayangi, dan mencintai. Seharusnya Sofia bersyukur dicintai pria sesabar itu. Sayangnya, hati Sofia tertutup untuk melihat tulusnya cinta Calvin.

"Mariana Sofia...beruntungnya kamu dicintai Calvin Wan." Suster Ghea berbisik.

"Jika aku menjadi dirimu, takkan kusia-siakan cinta Calvin."

**      

Pagi ini, Sofia kembali menerima surat dari si penyanyi cafe. Ada yang ganjil. Terdapat noda darah dalam surat itu. Mau tak mau Sofia membacanya.

Dear Nona Sofia,

Mungkin aku salah. Belum terlambatkah untuk mengucap kata maaf? Maafkan aku, Nona. Aku tidak bermaksud membuat Nona marah atau tersinggung. Tapi aku benar-benar menginginkan Nona untuk membuka hati. Nona Sofia harus move on.

Nona, ini adalah surat terakhirku. Sekarang Nona tak perlu terganggu lagi dengan surat-suratku. Nona Sofia wanita cantik dan kuat di mataku. Aku selalu mendoakan kebahagiaan Nona.

Boleh saja Nona Sofia tak mempercayaiku. Apa pun anggapan Nona Sofia terhadap diriku, akan kuterima. Satu hal yang pasti: aku mencintai Nona Sofia dengan hatiku. Aku peduli dengan Nona Sofia. Aku memahami perasaan Nona Sofia. Saat Nona sedih, takut, dan bahagia, aku bisa merasakannya.

Suatu saat nanti, Nona akan menemukan kebahagiaan sejati. Wanita secantik dan sebaik Nona pantas bahagia. Kebahagiaan Nona adalah kebahagiaanku juga. Seseorang yang tulus mencintai kita akan ikut bahagia jika ia bahagia, meski tidak bersama kita.

Ingatlah, Nona. Nona tidak sendirian. Banyak yang mencintai Nona. Termasuk penyanyi cafe yang setiap hari menulis surat untuk Nona.

Have a nice day, my lovely Sofia.

Dari seorang penyanyi cafe yang mencintaimu,

Calvin Wan

Surat terakhir? Hati Sofia trenyuh membacanya. Itu artinya, ia takkan pernah lagi menerima surat dari Calvin. Apa yang sebenarnya terjadi? Mungkinkah Calvin lelah karena Sofia tak pernah membalas surat-suratnya? Bagaimana mau membalas, bukankah tak pernah tertera alamat dalam setiap suratnya?

Alamat? Tetiba saja Sofia membalik amplop surat. Matanya melebar tak percaya. Di bagian belakang amplop surat, tertera sebuah alamat. Nama sebuah cafe berikut alamatnya.

Inilah kesempatannya. Tanpa membuang waktu lagi, Sofia bergegas meninggalkan apartemen. Mengemudikan mobilnya ke sebuah cafe.

**     

"Saya mencari Calvin Wan. Katanya dia penyanyi di cafe ini." Sofia berkata ramah pada salah seorang waiters.

Ditanya begitu, si waiters mengerutkan kening. "Calvin Wan? Di sini tidak ada penyanyi cafe yang bernama Calvin Wan."

Tanda tanya memenuhi hati Sofia. Apakah ini penipuan?

Dalam kebingungan yang memuncak, seorang wanita bertubuh semampai dan berambut pendek sebahu menghampiri mereka. Ia menepuk pundak si waiters sambil bertanya.

"Ada apa, Mutia?"

"Ini Suster Ghea, ada wanita yang mencari penyanyi cafe bernama Calvin Wan. Padahal di sini tidak..."

"Sofia? Kamu Sofia, kan?"

Kata-kata waiters bernama Mutia itu terpotong oleh seruan tertahan Suster Ghea. Ia baru saja menyadari kehadiran Sofia.

"Hai Suster Ghea," sapa Sofia, menjabat tangan suster yang telah lama dikenalnya itu.

"Wait...tadi kamu cari siapa?"

"Calvin Wan. Penyanyi cafe di sini."

Senyuman Suster Ghea memudar. Binar bahagia di mata beningnya meredup.

"Dari mana kamu tahu kalau Calvin itu penyanyi cafe?" tanyanya.

Sebagai jawaban, Sofia menunjukkan surat Calvin. Mata Suster Ghea bergulir cepat membaca surat itu. Raut wajahnya berubah sendu. Ditariknya tangan Sofia meninggalkan cafe itu.

"Calvin bukan penyanyi cafe," ujarnya.

"Apa? Lalu..."

"Ikut aku."

**       

Sofia berlutut. Air matanya mengalir tanpa henti. Satu-dua bulir air mata jatuh tepat ke atas makam di depannya.

Tubuh Sofia gemetar hebat. Untuk kesekian kali dalam hidupnya, Sofia menangis. Menangis lantaran kehilangan seseorang yang sangat berarti.

"Sabar ya...?" Suster Ghea membelai punggungnya.

"Bagaimana ini bisa terjadi?! Bagaimana bisa?!" isak Sofia.

"Calvin figur pria yang tulus, konsisten, dan rendah hati. Menjadi pengusaha sukses tidak membuatnya sombong. Cafe yang kamu datangi itu miliknya. Jaringan hotel dan cafenya tersebar di banyak kota. Meski begitu, Calvin sering berpura-pura sebagai penyanyi cafe."

Sofia kembali terisak. Mengelus-elus nisan berukirkan nama seseorang yang tulus mencintainya.

"Aku dan Calvin tumbuh dewasa bersama. Calvin memahamiku, begitu pun aku memahaminya. Calvin sangat sulit jatuh cinta. Namun sekalinya jatuh cinta, ia akan benar-benar jatuh dan mencinta. Maka jika kamu sering membaca kata cinta di suratnya, itu benar. Calvin sungguh-sungguh mencintaimu. Jika dia memang cinta, dia akan mengatakan itu. Calvin tidak pernah setengah-setengah dengan ucapannya. Bukannya Calvin tak ingin memperlihatkan dirinya di depanmu. Hanya saja, kondisinya tidak memungkinkan. Dia sakit, Sofia. Calvin menderita Sindroma Hughes, atau sindrom kekentalan darah. Kondisinya semakin memburuk. Dia harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Tapi dia selalu memperhatikanmu, Sofia. Dia selalu peduli padamu."

Suara Suster Ghea mengecil lalu menghilang. Ia menyeka matanya.

"Beberapa minggu lalu, Calvin mengalami penyumbatan di paru-parunya. Ada masalah pula dengan jantungnya. Begitulah komplikasi dari sindrom kekentalan darah. Dalam kondisi sakit, Calvin memaksakan diri terus menulis surat untukmu. Sampai akhirnya...akhirnya...Calvin meninggal." Suster Ghea mengakhiri ceritanya dengan sedih.

Sebuah kehilangan mendalam dirasakan Sofia. Mula-mula Albert pergi, lalu datanglah Calvin menggantikannya. Kini Calvin telah pergi. Sofia akan selalu mengingat cinta, kepedulian, kelembutan, dan ketulusannya.

**      

https://www.youtube.com/watch?v=ELaUrUPYPkM

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun