"Keterlaluan! Aku sudah punya Calvin! Dibandingkan Wahyu, Calvin lebih segala-galanya!" seru Nyonya Calisa.
Sementara Wahyu menyadari. Cinta pertamanya telah berubah. Rasa yang selama ini diberikan untuknya telah beralih. Hati Nyonya Calisa kini jadi milik Tuan Calvin.
"Apa yang kamu lihat dari Calvin?" tanya Wahyu perlahan. Melempar pandang meremehkan pada Tuan Calvin.
Sejurus kemudian Nyonya Calisa mendekati Tuan Calvin. Memegang tangannya, memintanya bangkit dari kursi depan piano. "Calvin memiliki hati yang baik dan tulus yang tidak kamu miliki."
"Aku tak percaya."
"Silakan saja kamu tak percaya. Sekarang, jawab pertanyaanku. Pernahkah kamu terpikir untuk mengadopsi anak berkebutuhan khusus dan merawatnya sampai ia tumbuh dewasa?"
Pertanyaan ini harga mati. Wahyu, Nyonya Lidya, dan anggota keluarga besar dibuat bungkam.
"Sudah, Calisa. Please...jangan sebut-sebut apa yang telah kulakukan." Tuan Calvin berusaha menghentikan istrinya. Khawatir bila dirinya menjadi sombong dan tidak ikhlas.
"Biarkan saja, Calvin. Biar mereka sadar dan tidak menghinamu terus."
"Tidak masalah mereka menghinaku. Sungguh Calisa...tidak masalah."
Jika biasanya pihak wanita yang disalahkan dalam hal keturunan, kali ini justru pihak pria yang disalahkan. Tuan Calvin disakiti dan dihina lantaran dirinya mandul. Berat sekali beban psikologis yang ditanggung Tuan Calvin. Kemandulan adalah masalah sensitif. Bagi mereka yang divonis mandul, beban psikologisnya sangatlah berat. Merasa diri tak berguna. Mendapat hinaan dari keluarga. Dianggap aib dan perusak kebahagiaan. Andai saja pihak keluarga berpikir luas, tujuan pernikahan tak sekedar untuk mendapatkan keturunan. Masih ada tujuan lain yang dicapai yaitu kebersamaan.