Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Masa Lalu Takkan Membunuh Masa Depan

4 Agustus 2017   06:34 Diperbarui: 4 Agustus 2017   14:30 1715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gigitan pada bantalnya makin kuat. Pertanda rasa sakit makin tajam menyiksa. Tuan Calvin ingin segalanya berakhir. Ingin kesadarannya hilang akibat rasa sakit ini. Agar ia tak perlu merasakannya.

Tangan kanannya meremas bedcover. Ia tersiksa oleh penyakit itu. Kanker hati telah menghancurkan separuh hidupnya. Namun Tuan Calvin mencoba tetap kuat. Seperti yang selalu dikatakan Nyonya Calisa pada rekan-rekannya sesama penyiar radio.

"Sejauh kuperhatikan, Calvin itu kuat. Ia kuat, tapi di satu sisi lembut. Ia juga sabar, konsisten, dan rendah hati."

Ia harus membuktikan pujian itu. Ia harus kuat.

Di saat terberat itu, pintu kamar terbuka. Nyonya Calisa tergesa memasuki kamar, berada kembali di sisi Tuan Calvin.

"Kamu kesakitan lagi, Calvin?" tanya Nyonya Calisa cemas.

Tuan Calvin tak menjawab. Pria berdarah keturunan itu konsisten pada prinsipnya: menyimpan rasa sakit. Hanya saja, gesture tak bisa menipu.

Tangan halus Nyonya Calisa menggenggam tangannya. Otomatis Tuan Calvin membalas genggaman hangat itu. Kian lama, kian erat genggaman tangan Tuan Calvin. Menandakan betapa hebatnya sakit itu.

"Oh, Calvin..." desah Nyonya Calisa. Air mata membasahi kedua pipinya.

"Kamu pasti sangat kesakitan. Biarkan aku ikut merasakannya, Sayang. Please..."

Sepanjang malam, Tuan Calvin tidak dapat tidur. Nyonya Calisa menemaninya. Menguatkan hatinya. Tak pernah sedetik pun meninggalkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun