Gigitan pada bantalnya makin kuat. Pertanda rasa sakit makin tajam menyiksa. Tuan Calvin ingin segalanya berakhir. Ingin kesadarannya hilang akibat rasa sakit ini. Agar ia tak perlu merasakannya.
Tangan kanannya meremas bedcover. Ia tersiksa oleh penyakit itu. Kanker hati telah menghancurkan separuh hidupnya. Namun Tuan Calvin mencoba tetap kuat. Seperti yang selalu dikatakan Nyonya Calisa pada rekan-rekannya sesama penyiar radio.
"Sejauh kuperhatikan, Calvin itu kuat. Ia kuat, tapi di satu sisi lembut. Ia juga sabar, konsisten, dan rendah hati."
Ia harus membuktikan pujian itu. Ia harus kuat.
Di saat terberat itu, pintu kamar terbuka. Nyonya Calisa tergesa memasuki kamar, berada kembali di sisi Tuan Calvin.
"Kamu kesakitan lagi, Calvin?" tanya Nyonya Calisa cemas.
Tuan Calvin tak menjawab. Pria berdarah keturunan itu konsisten pada prinsipnya: menyimpan rasa sakit. Hanya saja, gesture tak bisa menipu.
Tangan halus Nyonya Calisa menggenggam tangannya. Otomatis Tuan Calvin membalas genggaman hangat itu. Kian lama, kian erat genggaman tangan Tuan Calvin. Menandakan betapa hebatnya sakit itu.
"Oh, Calvin..." desah Nyonya Calisa. Air mata membasahi kedua pipinya.
"Kamu pasti sangat kesakitan. Biarkan aku ikut merasakannya, Sayang. Please..."
Sepanjang malam, Tuan Calvin tidak dapat tidur. Nyonya Calisa menemaninya. Menguatkan hatinya. Tak pernah sedetik pun meninggalkannya.