Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Masa Lalu Takkan Membunuh Masa Depan

4 Agustus 2017   06:34 Diperbarui: 4 Agustus 2017   14:30 1715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hatinya terpagut rasa khawatir. Sekejap kemudian, tanda tanya berkejaran di benaknya. Mengapa sang Mama mengatakan itu? Bukankah pernikahannya dengan Tuan Calvin bertahun-tahun lalu atas dasar keinginan Mamanya?

"Ma...Calisa mohon. Jangan salahkan Calvin terus. Siapa yang mau divonis mandul? Tidak ada..." Nyonya Calisa mencoba memberi pengertian.

Setengah jam terakhir, Nyonya Lidya menelepon putri tunggalnya. Menanyai banyak hal. Menceritakan kabar para sepupu dan anak-anak mereka. Berujung menyalahkan Tuan Calvin karena kondisinya.

"Apa maksud Mama menceritakan semua itu pada Calisa? Mama ingin membanding-bandingkan Calvin dengan suami sepupu-sepupuku?" tanya Nyonya Calisa putus asa.

"Iya. Mereka jauh lebih berguna. Bisa meneruskan keturunan keluarga. Bisa membahagiakan istri dan keluarga dengan kehadiran anak. Sementara Calvin? Apa yang diharapkan darinya? Meneruskan keturunan saja tak bisa. Mama jadi menyesal memilihkan Calvin sebagai suamimu." komentar Nyonya Lidya tajam.

Mendengar itu, Nyonya Calisa merasakan ironi menusuk kuat perasaannya. Begitu cepat hati manusia berubah. Dulu, Nyonya Lidya berkeras memilihkan Calvin sebagai pendamping hidup untuk anak tunggalnya. Mengatakan pada semua orang bahwa Tuan Calvinlah yang terbaik. Membanggakan Tuan Calvin di depan teman-teman dan bawahannya di kantor. Mempengaruhi Tuan Rudy, suaminya, agar merestui pernikahan itu. Justru Nyonya Calisa yang menolak menikah dengan Tuan Calvin saat itu. Sebab ia masih mencintai Wahyu, pria yang berstatus sebagai cinta pertamanya.

Kini situasi berbalik. Nyonya Lidya merasa salah pilih. Ia menjelek-jelekkan Tuan Calvin. Tuan Rudy ikut terpengaruh. Alhasil, Tuan Calvin tak lagi mendapat tempat di hati orang tua Nyonya Calisa.

"Calisa, lebih baik kamu cerai saja dengan Calvin. Lalu menikah dengan...ehm, siapa itu? Masa lalu kamu? Wahyu? Kabarnya dia sudah berpisah dengan Marla. Ya, begitu saja lebih baik."

"Tidak semudah itu, Ma. Aku dan Calvin sudah punya Clara."

Di seberang sana, Nyonya Lidya tertawa hambar. "Clara hanya anak adopsi. Difabel pula. Apa bagusnya? Biar si Calvin saja yang rawat dia."

"Aku mencintai Calvin, Mama. Dan aku menyayangi Clara."

Kata-kata itu terucap sempurna dari bibir Nyonya Calisa. Tulus tanpa tendensi. Anak kecil pun tahu kalau Nyonya Calisa sungguh-sungguh mencintai Tuan Calvin dan menyayangi Clara.

"Terserah apa kata kamu. Pokoknya, besok kamu harus datang ke pertemuan keluarga. Ajak Calvin juga. Tapi jangan bawa Clara." perintah Nyonya Lidya.

"Iya, Mama. Toh Clara tidak bisa ikut. Dia menginap beberapa hari di villa dengan Mama Lola. Bicara tentang Mama Lola, kuharap Mama bisa seperti beliau. Lembut, sabar, dan mau menerima apa adanya."

"Jangan harap. Mamamu ini bukan Lola Purnama yang sok sempurna dan sok suci itu." Nyonya Lidya menjawab ketus. Kesal karena dibanding-bandingkan dengan wanita cantik berdarah Tionghoa yang dianggapnya sebagai rival itu.

"Hmm...semoga Allah membuka mata hati Mama. Aku harus merawat Calvin. Dia sakit lagi. Selamat malam, Ma."

Nyonya Calisa menutup telepon. Beranjak kembali ke lantai atas.

**    

Kamar tidur dengan dominasi warna putih itu sudah menyerupai ruang rawat VIP di rumah sakit. Lengkap dengan peralatan medis. Hanya ranjangnya saja yang tak berubah.

Di sanalah Tuan Calvin terbaring lemah tak berdaya. Sel-sel kanker kembali berulah. Muak dengan rumah sakit, ia menolak menjalani perawatan di sana. Tim dokter dipanggil, lalu memeriksa pasien istimewa mereka.

Tuan Calvin belajar menyimpan rasa sakit. Ia tak ingin menampakkan kesakitannya di depan siapa pun. Ia tak ingin membuat orang-orang yang menyayanginya bersedih.

Sakit luar biasa di perutnya menghisap habis kekuatannya. Tuan Calvin menggigit bantal, menahan rasa sakit. Helaan nafasnya begitu lemah. Elektrokardiograf berpacu pelan.

Gigitan pada bantalnya makin kuat. Pertanda rasa sakit makin tajam menyiksa. Tuan Calvin ingin segalanya berakhir. Ingin kesadarannya hilang akibat rasa sakit ini. Agar ia tak perlu merasakannya.

Tangan kanannya meremas bedcover. Ia tersiksa oleh penyakit itu. Kanker hati telah menghancurkan separuh hidupnya. Namun Tuan Calvin mencoba tetap kuat. Seperti yang selalu dikatakan Nyonya Calisa pada rekan-rekannya sesama penyiar radio.

"Sejauh kuperhatikan, Calvin itu kuat. Ia kuat, tapi di satu sisi lembut. Ia juga sabar, konsisten, dan rendah hati."

Ia harus membuktikan pujian itu. Ia harus kuat.

Di saat terberat itu, pintu kamar terbuka. Nyonya Calisa tergesa memasuki kamar, berada kembali di sisi Tuan Calvin.

"Kamu kesakitan lagi, Calvin?" tanya Nyonya Calisa cemas.

Tuan Calvin tak menjawab. Pria berdarah keturunan itu konsisten pada prinsipnya: menyimpan rasa sakit. Hanya saja, gesture tak bisa menipu.

Tangan halus Nyonya Calisa menggenggam tangannya. Otomatis Tuan Calvin membalas genggaman hangat itu. Kian lama, kian erat genggaman tangan Tuan Calvin. Menandakan betapa hebatnya sakit itu.

"Oh, Calvin..." desah Nyonya Calisa. Air mata membasahi kedua pipinya.

"Kamu pasti sangat kesakitan. Biarkan aku ikut merasakannya, Sayang. Please..."

Sepanjang malam, Tuan Calvin tidak dapat tidur. Nyonya Calisa menemaninya. Menguatkan hatinya. Tak pernah sedetik pun meninggalkannya.

**     

Menjelang pagi, segalanya mulai membaik. Bermula saat tiba waktu Subuh. Tuan Calvin berkeras shalat dengan berdiri seperti biasa. Sekeras apa pun Nyonya Calisa melarang, ia tetap teguh pada keinginannya. Ibadah nomor satu. Tak boleh ada kompromi. Begitulah prinsipnya.

Allah tak pernah tidur. Kesungguhan berbalas kekuatan. Tuan Calvin menemukan kekuatan baru selesai menunaikan shalat Subuh. Nyonya Calisa senang dan bersyukur karenanya.

"Calvin, hari ini Mama mengundang kita datang ke pertemuan keluarga." kata Nyonya Calisa.

"Iya, Calisa. Kita akan datang. Tapi setelah ke panti asuhan ya?" sahut Tuan Calvin.

Satu kebiasaan baik Tuan Calvin: beramal dan berbagi tiap Hari Jumat. Ia selalu menyempatkan waktu di hari baik itu untuk berbagi. Entah itu berbagi makanan gratis pada orang-orang tidak mampu, mengundang beberapa anak yatim untuk makan siang, memberikan bantuan ke rumah singgah khusus anak pengidap kanker, dan menyantuni panti asuhan. Kebiasaan yang diwariskan dari Nyonya Lola. Calvin terinspirasi oleh kebaikan hati Nyonya Lola.

"Betul...ini Hari Jumat. Apa yang perlu kusiapkan, Calvin? Memasak atau membeli makanan? Membelikan pakaian?" Nyonya Calisa bertanya sigap.

"Tidak usah, Calisa. Aku sudah menyiapkannya. Hari ini aku mau ke panti asuhan. Memberikan uang untuk mereka. Kamu ikut saja." Tuan Calvin tersenyum kecil melihat semangat istri cantiknya.

Sesaat Nyonya Calisa melirik suaminya. Mata Tuan Calvin terlihat merah. Masih membekas gurat keletihan di wajah tampannya. Jelas saja, efek tak tidur semalam. Akan tetapi pancaran antusias tak pernah pudar dari wajah Tuan Calvin.

**     

Calvin Wan dan Dinda Calisa. Pria oriental yang tampan dan wanita blasteran Sunda-Belanda yang cantik. Pasangan serasi. Para pengurus panti dan anak-anak yang tinggal di sana sepakat.

"Aduh...maaf merepotkan. Kalian baik sekali," sambut dua orang pengurus panti.

"Terima kasih. Jazakumullah khairan katsiran." kata sang kepala panti.

Satu jam mereka di panti asuhan. Memberikan bantuan dalam bentuk uang. Nominalnya cukup besar. Tuan Calvin dikenal royal dalam bersedekah dan beramal. Hal yang menimbulkan tanda tanya dan kekaguman di hati banyak orang. Termasuk sang kepala panti.

"Tuan Calvin, sering saya bertanya-tanya. Masih ada ya, pria muda, tampan, dan kaya seperti Tuan yang mau menyumbang buat panti asuhan kami yang sederhana. Sekarang ini, jarang ada orang yang sudi memberikan sebagian hartanya untuk amal. Tapi Tuan Calvin melakukannya. Ada motivasi khususkah?"

"Saya ingin memelihara harta dan keluarga. Juga memberikan cinta kasih pada semua orang. Saya bantu tanpa pamrih." Tuan Calvin menjawab lembut, penuh ketulusan.

"Masya Allah...Anda tulus sekali. Coba saja semua pria di dunia ini berpikiran seperti Anda. Mungkin tak ada lagi kisah sedih panti asuhan kekurangan bahan makanan, anak-anak yatim-piatu kelaparan, dan sulitnya mendapatkan biaya operasional."

Mendengar komplimen itu, Tuan Calvin tersenyum. Tak enak hati bila dipuji. Ia takut jatuh dalam kesombongan.

"Makanya saya selalu memberi uang. Sebab hanya anak-anak dan pengurus panti yang paling mengerti kebutuhan di sini."

Sementara Tuan Calvin berbincang hangat dengan kepala panti dan bermain sebentar dengan anak-anak, Nyonya Calisa hanya menjadi pemerhati. Sesekali ikut bermain dengan beberapa anak kecil. Selebihnya ia melewatkan bermenit-menit untuk memperhatikan setiap gerakan, ekspresi, dan perkataan Tuan Calvin. Saat mereka kembali ke mobil, barulah wanita itu angkat bicara.

"Calvin, wanita mana pun yang melihatmu tadi pasti akan meleleh."

Tuan Calvin tertawa. "Tidak juga. Kalau mereka tahu aku mandul, mana mungkin dibuat meleleh?"

"Oh Calvin, jangan sebut-sebut itu lagi. Kamu sempurna dan kuat, Calvin." cegah Nyonya Calisa setengah panik.

"Kenyataannya aku memang mandul, Calisa. Apa lagi yang harus dibantah?"

Seketika Nyonya Calisa teringat pembicaraannya dengan Nyonya Lidya. Ia tak menceritakannya. Berbahaya bagi kondisi psikologis Tuan Calvin. Pertemuan rutin keluarga pun berbahaya.

**     

Di antara para menantu dalam keluarga besar itu, Tuan Calvin yang paling tampan. Berbanding lurus dengan Nyonya Calisa di antara saudara-saudaranya. Sayangnya, sambutan Nyonya Lidya berubah dingin saat berhadapan dengan menantunya yang paling tampan itu.

"Hmm...kamu datang juga." tukas Nyonya Lidya. Menolak saat Tuan Calvin ingin menjabat tangannya.

Sedih dan menyesal, Tuan Calvin menarik kembali tangannya. Tak menduga sikap Nyonya Lidya seperti itu. Nyonya Calisa memandang masygul ibu kandungnya.

Sikap anggota keluarga lainnya tak jauh berbeda. Tuan Calvin tak lagi dipuji dan disambut hangat. Tatapan-tatapan tajam kini tertuju ke arahnya. Menuntut tanpa kata: masih pantaskah pria infertil sepertinya berjalan di samping Nyonya Calisa?

"Maafkan mereka ya...?" bisik Nyonya Calisa.

"Tidak apa-apa." Tuan Calvin menenangkan. Berusaha mengabaikan sikap sinis dari keluarga istrinya.

"Kamu kuat ya? Semuanya akan baik-baik saja."

Sakit fisik dan sakit psikis bukan hal baru lagi untuk Tuan Calvin. Ia terbiasa merasakannya.

"Hei Calisa...yah, kamu datang lagi sama pria tak berguna ini. Kapan sidang cerainya? Nanti aku datang..." sapa salah seorang sepupu. Menepuk pundak Nyonya Calisa, tersenyum sinis pada Tuan Calvin.

"Jaga bicaramu. Sampai kapan pun, aku akan tetap bersama Calvin." Nyonya Calisa menautkan kedua alisnya. Marah lantaran suaminya dihina.

"Calvin kan mandul. Sakit-sakitan lagi. Kapan sembuhnya?" timpal sang sepupu sadis.

Gelas berisi jus apel di tangan Nyonya Calisa bergetar. Ia menatap sepupunya penuh kebencian. Pedih hatinya mendengar hinaan yang dilayangkan untuk Tuan Calvin.

"Dengarkan aku. Bagaimana pun kondisi Calvin, aku akan selalu di sampingnya. Hanya maut yang bisa memisahkan kami."

"Oh, kalo gitu...tunggu sampai kamu mati ya, Calvin? Pasien kanker cepat mati kok. Umurnya paling lama juga lima tahun."

Tuan Calvin sangat terpukul. Hatinya hancur. Seburuk itukah dirinya di mata keluarga Nyonya Calisa? Bukankah dulu dirinya dibanggakan, disayangi, dan dipuji? Cepat sekali situasi berbalik.

"Calisa...ada tamu spesial untukmu." panggil Nyonya Lidya senang.

Sebuah sedan hitam meluncur mulus memasuki halaman rumah. Pintunya terbuka, dan turunlah seorang pria dari dalamnya. Nyonya Calisa dan Tuan Calvin terperangah. Pria itu adalah masa lalu. Wahyu, cinta pertama Nyonya Calisa.

**      

Kau yang selalu ada di setiap langkahku

Namun kini takkan lagi

Aku tak dimiliki

Tak berarti lagi untukmu

Dengan mudahnya kau menghilang dari sisiku

Masa lalu kini telah berlalu pergi

Engkau jauh

Jauh dariku

Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa dirimu

Engkau jauh

Jauh dariku

Semua telah berubah kini

Engkau berlalu

Engkau jauh

Namun bila ku harus memilih

Ku memilih tuk bahagia

Walau hidup tak bersamamu

Engkau jauh

Jauh dariku

Tak bisa kubayangkan

Hidupku tanpa dirimu

Engkau jauh

Jauh dariku

Semua telah berubah kini

Engkau berlalu

Engkau jauh

Jauh dariku

Haruskah kulewati hari tanpa dirimu (Afgan-Berlalu).

Kesepuluh jari Tuan Calvin bergerak lincah di atas tuts piano. Sambil memainkan piano, ia menyanyikan lagunya. Menghibur hatinya. Mengobati kepedihan dengan bernyanyi.

Tak satu pun anggota keluarga bisa mencegah. Grand piano yang berdiri anggun di rumah Nyonya Lidya berdenting lembut. Dimainkan dengan mahir oleh Tuan Calvin. Seakan menjadi backsound untuk mengiringi peristiwa yang sedang terjadi.

Wahyu, pria di masa lalu itu, datang kembali. Menuai kekagetan Nyonya Calisa. Langsung saja ia memprotes Mamanya.

"Buat apa mengundang Wahyu, Ma? Dia bukan anggota keluarga kita,"

"Mama harap dia akan menjadi bagian dari keluarga. Dengan menjadi suamimu..." balas Nyonya Lidya.

"Keterlaluan! Aku sudah punya Calvin! Dibandingkan Wahyu, Calvin lebih segala-galanya!" seru Nyonya Calisa.

Sementara Wahyu menyadari. Cinta pertamanya telah berubah. Rasa yang selama ini diberikan untuknya telah beralih. Hati Nyonya Calisa kini jadi milik Tuan Calvin.

"Apa yang kamu lihat dari Calvin?" tanya Wahyu perlahan. Melempar pandang meremehkan pada Tuan Calvin.

Sejurus kemudian Nyonya Calisa mendekati Tuan Calvin. Memegang tangannya, memintanya bangkit dari kursi depan piano. "Calvin memiliki hati yang baik dan tulus yang tidak kamu miliki."

"Aku tak percaya."

"Silakan saja kamu tak percaya. Sekarang, jawab pertanyaanku. Pernahkah kamu terpikir untuk mengadopsi anak berkebutuhan khusus dan merawatnya sampai ia tumbuh dewasa?"

Pertanyaan ini harga mati. Wahyu, Nyonya Lidya, dan anggota keluarga besar dibuat bungkam.

"Sudah, Calisa. Please...jangan sebut-sebut apa yang telah kulakukan." Tuan Calvin berusaha menghentikan istrinya. Khawatir bila dirinya menjadi sombong dan tidak ikhlas.

"Biarkan saja, Calvin. Biar mereka sadar dan tidak menghinamu terus."

"Tidak masalah mereka menghinaku. Sungguh Calisa...tidak masalah."

Jika biasanya pihak wanita yang disalahkan dalam hal keturunan, kali ini justru pihak pria yang disalahkan. Tuan Calvin disakiti dan dihina lantaran dirinya mandul. Berat sekali beban psikologis yang ditanggung Tuan Calvin. Kemandulan adalah masalah sensitif. Bagi mereka yang divonis mandul, beban psikologisnya sangatlah berat. Merasa diri tak berguna. Mendapat hinaan dari keluarga. Dianggap aib dan perusak kebahagiaan. Andai saja pihak keluarga berpikir luas, tujuan pernikahan tak sekedar untuk mendapatkan keturunan. Masih ada tujuan lain yang dicapai yaitu kebersamaan.

"Terpikirkah oleh kalian untuk membagikan makanan, uang, dan pakaian pada mereka yang membutuhkan tiap Hari Jumat?" lanjut Nyonya Calisa.

Sekali lagi, semuanya terdiam. Tak ada yang berpikir dan berniat sampai ke situ.

"Apakah kalian pernah berpikir untuk membantu dan mencarikan jalan bagi orang-orang sakit?"

Ruang konsultasi dan grup untuk saling berbagi. Tuan Calvin menyadari kondisinya yang sakit. Ia tak hanya memikirkan diri sendiri. Sebagai bentuk solidaritas, Tuan Calvin mendekati dan merangkul teman-teman yang senasib dengannya: pria infertil. Cukup sulit melakukannya di awal, mengingat sangat sedikit pria yang mau terbuka soal kesuburan. Niat baik dan kesabaran Tuan Calvin akhirnya membuahkan hasil di tahun kedua. Tuan Calvin membentuk grup untuk sharing seputar infertilitas dan solusinya. Ia membuka ruang diskusi bagi setiap pria yang memiliki masalah serupa. Tak hanya berdiskusi, solusi nyata pun ikut dicarikan. Sejauh ini, usaha Tuan Calvin berhasil. Beberapa anggota grup menemukan penyembuhan dan dapat meneruskan keturunan.

"Di antara kalian, adakah yang terpikir untuk mencintai tanpa syarat, menolong tanpa mengharap balasan, dan bersikap rendah hati?"

Ruangan berbentuk oval itu senyap. Pertanyaan-pertanyaan Nyonya Calisa mematikan langkah mereka.

"Calvin melakukan semua itu! Okey, bisa saja kalian menyebut kelemahan Calvin! Tapi mata kalian tertutup untuk melihat kelebihan-kelebihannya!"

Nada suara Nyonya Calisa meninggi. Hatinya terlanjur sakit mendengar semua penghinaan yang ditujukan untuk Tuan Calvin.

"Aku tidak akan berpisah dengan Calvin! Dia suamiku, dan bila pun dia ditakdirkan pergi lebih dulu, aku tidak akan menikah lagi! Itu janjiku! Janji harus ditepati! Dan kamu Wahyu..." Nyonya Calisa berbalik. Menatap pria di masa lalunya itu penuh kebencian.

"Kamu adalah masa lalu. Masa lalu tidak akan membunuh masa depan. Calvin adalah masa depanku. So...takkan kubiarkan masa lalu membunuh masa depanku."

Hati Tuan Calvin tersentuh. Bahagia karena Nyonya Calisa lebih memilih dirinya. Masa lalu takkan membunuh masa depan.

**    

"Infertilitas adalah problem yang kompleks..."

Sebaris kalimat itu menjadi pembukaan tulisan Tuan Calvin. One day one article masih berjalan. Apa yang dialaminya tadi membuka ruang inspirasi.

Nyonya Calisa duduk di sampingnya. Tersenyum, membaca paragraf demi paragraf yang dituliskan suaminya. Begini rasanya mempunyai pasangan hidup yang memiliki kesamaan passion.

"Kata-kata terakhir Mama jangan dipikirkan ya?" pinta Nyonya Calisa halus.

"Iya, Calisa."

Masih terekam jelas ucapan terakhir Nyonya Calisa saat Tuan Calvin akan berpamitan dengannya.

"Boleh saja kamu berpuas diri karena dicintai wanita sebaik Calisa. Tapi ingatlah kondisimu. Kamu hanyalah pria mandul yang tidak berguna."


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun