Mengundurkan diri sebagai wanita karier menimbulkan beberapa perubahan dalam diri Renna. Kini ia lebih banyak di rumah. Tak lagi disibukkan dengan jadwal konseling dan hypnotherapy dengan klien. Seperti ekspektasinya, Renna seratus persen menjadi istri Albert dan Bundanya Chelsea.
“Nanti kamu menyusul kan, Sayang?” tanya Albert memastikan, mengawasi Renna yang tengah memakaikan headband di kepala Chelsea.
“Iya. Tapi setelah aku facial.” jawab Renna.
Mereka bertiga beranjak ke halaman depan. Sebelum masuk ke mobil, Chelsea mencium pipi Renna.
“Bye, Bunda.”
“Bye, Chelsea. Hati-hati ya, Sayang.”
Albert mendekat. Memeluk pinggang Renna, mengecup keningnya, lalu berkata.
“I will miss you, Dear.”
Renna tertawa kecil. Kedua pipinya merona merah.
“Kamu ini...nanti kita ketemu lagi kok pas buka puasa. Tapi, benar juga. Sebentar saja berpisah denganmu, aku pun akan rindu.”
Melempar senyum menawan pada istrinya, Albert membuka pintu pengemudi. Honda Mobilio itu melaju meninggalkan rumah.
Beruntungnya menikahi pasangan romantis. Setiap hari selalu diwarnai kehangatan dan cinta. Renna bahagia sekali bisa menikah dengan Albert. Begitu pun sebaliknya.
Karpet di ruang tamu ia bersihkan. Vacum cleaner mempercepat pekerjaannya. Setelah itu, Renna membetulkan pigura-pigura foto yang miring posisinya. Tersenyum menatapi foto-foto di dalamnya. Memandangi wajah Albert dan Chelsea, dua permata hidupnya. Demi mereka, Renna rela melepas karier. Memberikan seluruh waktu dan cintanya untuk mereka.
**
Mengapa kau berpaling
Seolah tak rela hatimu menerima
Apa yang kini tak terberikan padamu dariNya
Mungkin kan memang menggoreskan luka hati yang teramat sangat dalam
Jangan kau jadi hancur
Karena kau merasa sendiri
Lupakah engkau ada Dia yang mengasihi dirimu
Lupakah engkau ada Dia yang setia menemanimu
Di saat engkau terjatuh terhempas tenggelam
Dalam pahitnya kenyataan yang menimpa hidupmu
Jangan kau jadi hancur
Karena kau merasa sendiri
Lupakah engkau ada Dia yang mengasihi dirimu
Lupakah engkau ada Dia yang setia menemanimu
Di saat engkau terjatuh terhempas tenggelam
Dalam pahitnya kenyataan yang menimpa hidupmu
Lupakah engkau ada Dia yang mengasihi dirimu
Lupakah engkau ada Dia yang setia menemanimu
Di saat engkau terjatuh terhempas tenggelam
Dalam pahitnya kenyataan yang menimpa hidupmu
Lupakah engkau ada Dia yang mengasihi dirimu
Lupakah engkau ada Dia yang setia menemanimu
Di saat engkau terjatuh terhempas tenggelam
Dalam pahitnya kenyataan yang menimpa hidupmu (Audy-Lupakah Engkau).
**
Berhenti sebagai wanita karier bukan berarti melupakan penampilan. Renna tetap melakukan sesi-sesi perawatan di salon. Seperti siang ini, ia pergi ke salon yang biasa didatanginya.
Pintu kaca berdenting terbuka. Wangi yang sudah familiar menyergap indera penciuman Renna. Pandangan mata dimanjakan dengan nuansa batu dan kayu dengan ambience perpaduan Jawa dan Bali yang menyenangkan. Salon ini memang cocok untuk wanita-wanita sibuk yang ingin mencari spa. Sejak masih menjadi psikolog, Renna sering mendatanginya tiap kali ia ingin spa, creambath, refleksology tangan dan kaki, meni pedi, atau perawatan lainnya.
“Renna...! Oh my Allah, aku senang kamu ke sini lagi!”
Tengah asyik melihat-lihat berbagai jenis perawatan yang ditawarkan di bagian resepsionist, perhatiaan Renna teralih. Ia membalikkan tubuh. Seorang wanita cantik berhijab biru muda berdiri di belakangnya. Tersenyum lebar memperhatikannya.
“Akila!” seru Renna girang, memeluk wanita berhijab itu.
Akila Candani, teman lama Renna. Muslimah cantik pemilik salon bergaya Jawa-Bali itu. Segera saja Akila menggandeng tangan Renna.
“Ayo, aku yang layani kamu. Kamu mau apa? Spa komplet? Creambath? Hair spa? Atau...”
“Cukup cukup, Akila. Aku tak mau merepotkanmu.” tolak Renna, tertawa melihat antusiasme Akila yang kelewat berlebihan.
“Oh, jangan begitu. Kamu harus dapat service terbaik di tempatku. Kita ke kamar single spa ya? Kamu pasti akan tampil segar dan cantik setelah ini.”
Renna menurut saja saat Akila mengajaknya ke kamar single spa. Toh ia rindu Akila dan ingin mengobrol panjang dengannya. Sudah lama mereka tak bertemu.
**
Apa sebenarnya arti spa? Menurut Martha Tilaar, spa dapat berarti Shui Pani Amarta atau air kehidupan. Shui dari Bahasa Cina, Pani Bahasa India, dan Amarta Bahasa Indonesia. Ketiga kata itu mempunyai arti yang identik: air. Air merupakan bagian penting dalam tubuh dan kehidupan. Selain itu, spa dapat diartikan pula sebagai penyembuhan.
Apa pun artinya, Renna sangat menikmati spa. Tubuh dan pikirannya rileks seketika. Seluruh beban terangkat sempurna. Kamar spa yang ditempatinya sangat nyaman. Dilengkapi dengan tempat sauna mini, bathtub, kimono, bantal, handuk, dan kaca rias.
Mula-mula Akila memberikan pijatan dengan teknik urut dan massage oil. Satu jam lamanya proses itu berlangsung. Renna sangat menikmatinya.
“Kamu memang berbakat, Akila.” puji Renna.
Akila hanya tersenyum. Menyuruh Renna berganti posisi dari tengkurap menjadi terlentang.
“Aku masih belajar kok. Aku juga tak menyangka salon yang mulanya amatir jadi seperti ini. Alhamdulillah...” kata Akila penuh syukur.
“Allah Maha Baik, Akila. Oh ya, bagaimana kabar Hassan?”
Sedetik kemudian Renna menyesal menanyakan hal itu. Senyum Akila memudar. Tergantikan ekspresi sedih yang tergambar jelas.
“Kenapa, Akila? Aku salah ya? Maaf...kamu tak perlu menjawabnya.”
“Bukan begitu. Hassan masih tertekan jiwanya. Sejak ayahnya meninggal, dia berubah. Dia jadi pemurung, pendiam, dan penyendiri. Dia terus menyalahkan diri sendiri.”
“Oh...I’m sorry to hear that.”
Sebagai sesama ibu, Renna dapat merasakan apa yang Akila rasakan. Ibu mana yang tidak bersedih melihat anaknya terpuruk meratapi kepergian ayahnya? Hassan sangat dekat dengan ayahnya. Kepergian sang ayah otomatis membuat jiwanya terguncang.
Proses massage selesai. Akila meracik lulur yang digunakan dalam service spa itu, lalu mengoleskannya ke tubuh Renna. Lulur dibiarkan mengering selama tiga puluh menit, sementara tubuh Renna diselimuti handuk. Tiga puluh menit yang menyenangkan. Khasiat lulur mulai terasa.
“Apa yang bisa kubantu, Akila?” tanya Renna lembut.
“Tidak usah, Renna. Insya Allah aku bisa mengatasinya sendiri. Hassan adalah putraku, satu-satunya putraku. Aku ingin Hassan tumbuh normal.” sahut Akila penuh harap.
“Dia akan tumbuh normal. Kematian Fikri pasti meninggalkan jejak trauma yang dalam. Seiring berjalannya waktu, dia akan bangkit dari kesedihan. Bantu dia berdamai dengan masa lalu.” Renna berkata membesarkan hati. Disambuti anggukan Akila.
“Sekarang Fikri sudah meninggal. Aku harus merawat Hassan. Mendampinginya sampai ia mandiri dan dewasa.”
Mendengar nama Fikri, hati Renna dibayangi kengerian. Fikri Tsaqif, suami Akila, seorang pengusaha sukses. Kejamnya dunia bisnis membuat Fikri punya banyak musuh. Pesaing bisnisnya iri pada kesuksesannya. Alhasil, mereka melakukan perampokan dan pembunuhan berencana. Fikri meninggal secara tragis dalam peristiwa itu. Nyawanya melayang di tangan seorang perampok ulung. Seluruh harta kekayaannya habis.
Setahun berlalu sejak tragedi itu. Perlahan Akila dapat bangkit dari keterpurukannya. Ia dapat bertahan hidup dengan bisnis yang dijalankannya sendiri. Ironis, Hassan belum bisa berdamai dengan masa lalu.
“Kamu sudah bawa Hassan ke psikolog?” Renna menanyai Akila.
“Sudah. Dia sedang melewati proses terapi untuk menyembuhkan traumanya. Tapi sampai saat ini belum ada progres.” Akila menjawab letih.
Sejenak Renna berpikir. Mencoba memberikan saran yang tepat.
“Akila, apa Hassan masih melakukan shalat dan membaca Al-qur’an?”
“Sejak Fikri meninggal, Hassan tak mau shalat dan membaca Al-qur’an. Dia selalu merasa sedih dan kesepian. Dia tak rela Fikri meninggal dengan cara yang sadis. Dia selalu menangis tiap kali melihat teman-temannya diantar ayah mereka ke sekolah.”
“Coba kamu ingatkan dia, Akila. Ingatkan Hassan kalau dia masih punya Allah. Allah yang selalu mengasihinya, menemaninya saat dia sedih, mendengarkan keluh kesahnya...”
Hening. Akila menyeka matanya. Mencermati kata-kata Renna membuatnya tersadar.
“Mungkin ini salahku, Renna.” bisiknya.
“Ini bukan salahmu, Akila.” Renna mengulurkan tangan, membelai lengan kawan lamanya penuh simpati.
“Aku terlalu sibuk mengurus bisnis, sampai-sampai aku melupakan kewajibanku sebagai seorang ibu. Secara materi, aku dan Hassan lebih dari cukup. Tapi ia kekurangan asupan rohani dan makanan jiwa. Aku belum mengingatkannya, aku belum menyentuh hatinya. Seharusnya kulakukan itu sejak awal.” sesal Akila.
“Tidak ada kata terlambat. Cobalah mengingatkan Hassan. Pelan-pelan saja, biarkan kesadaran itu berproses. Segala sesuatu harus berproses, Akila.”
Akila mengangguk. Memantapkan hati untuk menyadarkan buah hatinya. Renna menepuk lembut bahu wanita tegar itu. Ia akui, Akila sangat tegar. Berhasil lepas dari kepedihan pasca kematian Fikri. Lalu ia menata hidupnya. Memperbaiki kehancurannya. Mengikhlaskan masa lalu yang telah lewat.
“Terima kasih pencerahannya, Renna.” gumam Akila.
“Sama-sama. Kamu pasti bisa.”
“Oh, entahlah. Aku bukan ibu yang baik. Kamu sendiri bagaimana?” Kini Akila balik bertanya.
Senyum tipis menghiasi bibir Renna. “Aku? So far, aku bahagia bersama Albert dan Chelsea. Putri kami yang sangat cantik.”
“Putri angkat, kan?” koreksi Akila.
“Jangan sampai kamu katakan itu di depan Albert. Dijamin dia akan tersinggung. Chelsea sudah seperti anak kandung kami, darah daging kami.”
Alis Akila terangkat. “Oh ya? Pasti kalian sayang sekali sama Chelsea.”
“Of course. Dia milik kami yang paling berharga.” ujar Renna yakin.
“Tidakkah kalian ingin punya anak kandung?”
Disodori pertanyaan seperti itu, Renna terenyak. Keinginan memiliki anak biologis sudah lama pudar. Sebab Renna sadar, keinginan itu tidak realistis. Tidak mungkin dipenuhi dengan kondisi Albert yang jauh dari kata sehat.
“Kami sudah menyerah.” Hanya itu yang bisa Renna katakan.
“Secepat itu?” Akila nampak ragu-ragu.
“Akila, kehadiran Chelsea sudah lebih dari cukup. Kami bersyukur. Dan tak ingin mengharapkan lebih dari itu.”
Renna sungguh telah bahagia dengan hidupnya. Wanita Sunda-Belanda itu mensyukuri apa yang dimilikinya. Dalam hati, Akila salut akan kekuatan dan keikhlasan Renna.
“Kamu hebat, Renna. Bisa bertahan dengan Albert sampai sejauh ini. Kamu perhatikan dia ya? Jangan sampai dia bernasib sama seperti Fikri.” Akila berucap perlahan.
“Setahuku, Albert tidak punya musuh bisnis. Dia selalu rendah hati. Menurut pengakuannya sendiri, dia hanyalah pengusaha kecil. Wiraswasta biasa, bukan pengusaha sukses seperti Fikri.” balas Renna.
Akila menggelengkan kepala. Menggigit bibirnya.
“Jangan seyakin itu, Renna. Musuh dalam selimut bisa saja. Musuh yang pura-pura jadi sahabat. Apa lagi Albert sangat baik. Dia mudah dimanfaatkan dan dijebak orang lain.”
Ternyata Akila belum bisa lepas dari sifat paranoid. Meski begitu, ucapannya ada benarnya juga. Renna berjanji akan lebih memperhatikan Albert dan rekan-rekan bisnisnya.
Tiga puluh menit yang nikmat telah selesai. Renna melepaskan handuk dari tubuhnya. Akila bangkit, hendak keluar.
“Tunggu sebentar di sini.” katanya, lalu bergegas keluar kamar spa.
Sepuluh menit kemudian, Akila kembali. Di tangannya tergenggam sebuah kotak terbungkus kertas coklat.
“Kemarin aku baru pulang Umrah. Aku bawakan sesuatu untuk Albert. Niatnya mau kukirim ke rumahmu dengan paket, tapi ternyata kamu ke sini. Jadi...”
“Oleh-oleh dari Tanah Suci untuk Albert? Apa itu?” sela Renna penasaran. Akila pergi Umrah sudah biasa, membawakan buah tangan dari negeri kelahiran Nabi Muhammad pun sudah biasa. Tapi tak biasanya Akila mengkhususkan barang yang dibawanya untuk Albert. Wajar saja Renna ingin tahu.
“Ini Ruhtob, kurma muda. Suruhlah Albert memakannya. Khasiatnya bagus sekali, untuk mengobati kemandulan.”
“Oh...thanks a lot, Akila. Kamu sangat perhatian.”
Tak disangkanya Akila akan membawakan Ruhtob. Jenis kurma satu ini sangat sulit didapatkan. Renna menerima sekotak kurma muda pemberian Akila.
Selesai spa, keduanya berpisah. Sebelum berpisah, Renna merangkul Akila. Mengucap terima kasih, lalu melanjutkan.
“Kuatkan hatimu, Akila. Kamu Muslimah luar biasa. Muslimah tegar dan istiqamah.”
Akila tersenyum. “Kamu juga. Kita saling menguatkan. Kamu wanita paling hebat dan tulus yang pernah kukenal.”
**
Mundur dari Biro Psikologi membuat Renna tak bisa lagi mengikuti acara buka puasa bersama yang diadakan di kantornya. Meski demikian, bukan berarti ia tak punya kesempatan menghadiri acara semacam itu. Buktinya, hari ini ia menemani Albert dalam acara buka puasa bersama di perusahaannya.
Para karyawan perusahaan berbaur. Mulai dari office boy sampai manager, dari karyawan rendah sampai pejabat tinggi. Tak ada diskriminasi. Semuanya menyantap menu yang sama, duduk di satu meja dalam keramahan dan kehangatan. Di mata semua karyawannya, Albert tipe pemimpin sejati yang baik dan rendah hati. Seorang eksekutif muda yang tak segan berbaur dengan office boy dan juru parkir. Eksmud yang pandai membawa diri di antara rekan-rekan bisnisnya. Pemimpin perusahaan yang sabar, toleran, dan baik hati.
Renna dan Chelsea pun tak kalah istimewa dalam pandangan para pegawai perusahaan. Mereka tahu, Renna dan Chelsea adalah dua wanita paling berarti dalam hidup Albert. Tanpa mereka, seorang Arif Albert takkan bisa mengelola bisnis keluarga sampai sesukses ini. Di balik kesuksesan seorang pria, selalu ada wanita hebat yang mendampinginya.
Tak sedikit pegawai yang iri melihat kehangatan Albert, Renna, dan Chelsea. Keluarga kecil itu bukan hanya rupawan dan punya pesona yang memikat, melainkan juga selalu romantis. Albert yang tampan bersama Renna yang cantik. Kehadiran Chelsea menyempurnakan hidup mereka.
“Albert, boleh aku tanya sesuatu?” Renna memulai setelah makanan di piringnya habis.
“Kamu mau tanya apa?” Albert menunggu, menatap wajah istrinya penuh perhatian.
“Apa kamu punya musuh atau saingan bisnis?”
Pertanyaan itu meluncur cepat dari bibir Renna. Waswas menyekap perasaannya. Semoga saja apa yang ia takutkan tidak benar.
“Tidak, Renna.” Albert menjawab dengan tenang.
“Kamu yakin?”
“Ya. Aku mencoba membangun hubungan yang baik dengan semua rekan bisnis. Aku sadar, tidak semua orang menyukaiku. Yang penting aku sudah berusaha membina hubungan bisnis yang baik. Terserah apa pun persepsi mereka.”
Albert terus menatapinya. Kali ini tatapannya terarah tepat ke dalam mata biru kobalt milik Renna. Desiran di hati Renna semakin kencang. Mengapa tatapan Albert selalu teduh dan menenangkan? Hidup bersama Albert tak pernah membuat Renna jenuh. Pria berdarah campuran Jawa-Jerman-Skotlandia itu selalu membuatnya jatuh cinta.
“Tadi aku bertemu Akila...”
“Dan kamu takut aku bernasib sama seperti Fikri?” Albert menyelesaikan kalimat Renna, tahu betul isi hati wanita kelahiran 23 Januari itu.
“Albert...” desah Renna gemas.
“Kamu memang berbakat jadi paranormal. Selalu memahami isi hati orang lain.”
Mendengar itu, Albert tertawa. Mengacak pelan rambut Renna. Merapatkan tubuhnya ke tubuh Renna. Jantung Renna serasa berhenti berdetak. Kini Albert begitu dekat dengannya. Dapat ia hirup wangi Calvin Klein yang sangat khas dari tubuh pria itu.
“My Dear Renna, aku akan baik-baik saja. Percayalah,” ujar Albert lembut.
Renna mengangguk pelan. Memegang halus tangan kanan Albert. “Aku percaya padamu.”
Ketika mereka tiba kembali di rumah dua jam kemudian, Renna mengajak Albert bicara berdua. Chelsea tertidur di kamarnya karena kelelahan. Praktis keduanya memilih menghabiskan waktu sejenak di ruang tengah.
“Ada lagi yang ingin kamu bicarakan padaku?” Albert bertanya, walau jawabannya sudah jelas.
“Ya. Akila menitipkan sesuatu. Dia bilang, kamu harus memakannya.” tukas Renna seraya menyodorkan sekotak kurma muda.
“Akila memintaku memakannya?” ulang Albert.
“Memangnya ini apa?”
“Buka saja.”
Dengan hati-hati, Albert membuka tutup kotak. Ia terperangah melihat sekumpulan Ruhtob di dalamnya.
“Wow, ini kan Ruhtob. Kenapa Akila memberikannya untukku? Mungkin kamu salah persepsi, Renna. Ruhtob ini untukmu.” Albert tak bisa menyembunyikan keheranannya.
“Tidak, itu memang untukmu. Akila baru pulang Umrah. Dia ingin kamu memakannya, karena...”
Kalimatnya menggantung di udara. Masalah infertilitas sensitif sekali bagi Albert. Tak mudah menanggung vonis mandul itu. Terpaksa Renna mengungkapkannya.
“Ruhtob berkhasiat mengobati kemandulan.”
“Iya, aku paham. Sampaikan terima kasihku pada Akila.”
Di luar dugaan, Albert tetap tenang. Tidak menampakkan emosi sedikit pun.
“Nanti kusampaikan. Cobalah Ruhtobnya,” pinta Renna.
Albert mengambil satu, lalu memakannya. Renna mengamati ekspresi wajahnya, waswas menanti reaksi pertama. Ekspresi wajah Albert sama tenang dan kalemnya seperti tadi. Entah karena Albert terlalu pandai jaga image hingga raut wajah dan sikapnya tetap sempurna. Atau karena tak ada yang perlu ditakutkan dari mengkonsumsi Ruhtob. Andai saja Renna tahu, Albert susah payah menelan buah kurma muda itu. Rasanya tak semanis kurma yang biasa ia makan, bahkan terkesan agak pahit. Pastilah Albert belum terbiasa.
“Bagaimana rasanya?” kejar Renna, tergugah rasa ingin tahu.
“Enak,” jawab Albert.
“Setidaknya jauh lebih enak dari obat kanker, obat penyakit Celiac, atau antibiotik dari dokter Urologi yang pernah kuminum. Ruhtob ini sehat dan berkhasiat, Renna.”
Meski tak begitu menyukai rasanya, tetap saja Albert menghabiskan kurma muda itu. Ia menghargai Akila. Lebih dari itu, Albert ingin menyenangkan hati Renna. Soal berhasil-tidaknya khasiat itu mematahkan vonis mandul yang menimpanya, itu bukan prioritas. Bukankah Albert sudah merasa cukup dengan kehadiran Chelsea tanpa perlu lagi mengharap kelahiran anak biologis? Bukankah anak angkat dan anak biologis punya rasa kasih sayang yang sama?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H