“Tidak, itu memang untukmu. Akila baru pulang Umrah. Dia ingin kamu memakannya, karena...”
Kalimatnya menggantung di udara. Masalah infertilitas sensitif sekali bagi Albert. Tak mudah menanggung vonis mandul itu. Terpaksa Renna mengungkapkannya.
“Ruhtob berkhasiat mengobati kemandulan.”
“Iya, aku paham. Sampaikan terima kasihku pada Akila.”
Di luar dugaan, Albert tetap tenang. Tidak menampakkan emosi sedikit pun.
“Nanti kusampaikan. Cobalah Ruhtobnya,” pinta Renna.
Albert mengambil satu, lalu memakannya. Renna mengamati ekspresi wajahnya, waswas menanti reaksi pertama. Ekspresi wajah Albert sama tenang dan kalemnya seperti tadi. Entah karena Albert terlalu pandai jaga image hingga raut wajah dan sikapnya tetap sempurna. Atau karena tak ada yang perlu ditakutkan dari mengkonsumsi Ruhtob. Andai saja Renna tahu, Albert susah payah menelan buah kurma muda itu. Rasanya tak semanis kurma yang biasa ia makan, bahkan terkesan agak pahit. Pastilah Albert belum terbiasa.
“Bagaimana rasanya?” kejar Renna, tergugah rasa ingin tahu.
“Enak,” jawab Albert.
“Setidaknya jauh lebih enak dari obat kanker, obat penyakit Celiac, atau antibiotik dari dokter Urologi yang pernah kuminum. Ruhtob ini sehat dan berkhasiat, Renna.”
Meski tak begitu menyukai rasanya, tetap saja Albert menghabiskan kurma muda itu. Ia menghargai Akila. Lebih dari itu, Albert ingin menyenangkan hati Renna. Soal berhasil-tidaknya khasiat itu mematahkan vonis mandul yang menimpanya, itu bukan prioritas. Bukankah Albert sudah merasa cukup dengan kehadiran Chelsea tanpa perlu lagi mengharap kelahiran anak biologis? Bukankah anak angkat dan anak biologis punya rasa kasih sayang yang sama?