“Kamu hebat, Renna. Bisa bertahan dengan Albert sampai sejauh ini. Kamu perhatikan dia ya? Jangan sampai dia bernasib sama seperti Fikri.” Akila berucap perlahan.
“Setahuku, Albert tidak punya musuh bisnis. Dia selalu rendah hati. Menurut pengakuannya sendiri, dia hanyalah pengusaha kecil. Wiraswasta biasa, bukan pengusaha sukses seperti Fikri.” balas Renna.
Akila menggelengkan kepala. Menggigit bibirnya.
“Jangan seyakin itu, Renna. Musuh dalam selimut bisa saja. Musuh yang pura-pura jadi sahabat. Apa lagi Albert sangat baik. Dia mudah dimanfaatkan dan dijebak orang lain.”
Ternyata Akila belum bisa lepas dari sifat paranoid. Meski begitu, ucapannya ada benarnya juga. Renna berjanji akan lebih memperhatikan Albert dan rekan-rekan bisnisnya.
Tiga puluh menit yang nikmat telah selesai. Renna melepaskan handuk dari tubuhnya. Akila bangkit, hendak keluar.
“Tunggu sebentar di sini.” katanya, lalu bergegas keluar kamar spa.
Sepuluh menit kemudian, Akila kembali. Di tangannya tergenggam sebuah kotak terbungkus kertas coklat.
“Kemarin aku baru pulang Umrah. Aku bawakan sesuatu untuk Albert. Niatnya mau kukirim ke rumahmu dengan paket, tapi ternyata kamu ke sini. Jadi...”
“Oleh-oleh dari Tanah Suci untuk Albert? Apa itu?” sela Renna penasaran. Akila pergi Umrah sudah biasa, membawakan buah tangan dari negeri kelahiran Nabi Muhammad pun sudah biasa. Tapi tak biasanya Akila mengkhususkan barang yang dibawanya untuk Albert. Wajar saja Renna ingin tahu.
“Ini Ruhtob, kurma muda. Suruhlah Albert memakannya. Khasiatnya bagus sekali, untuk mengobati kemandulan.”