“Sejak Fikri meninggal, Hassan tak mau shalat dan membaca Al-qur’an. Dia selalu merasa sedih dan kesepian. Dia tak rela Fikri meninggal dengan cara yang sadis. Dia selalu menangis tiap kali melihat teman-temannya diantar ayah mereka ke sekolah.”
“Coba kamu ingatkan dia, Akila. Ingatkan Hassan kalau dia masih punya Allah. Allah yang selalu mengasihinya, menemaninya saat dia sedih, mendengarkan keluh kesahnya...”
Hening. Akila menyeka matanya. Mencermati kata-kata Renna membuatnya tersadar.
“Mungkin ini salahku, Renna.” bisiknya.
“Ini bukan salahmu, Akila.” Renna mengulurkan tangan, membelai lengan kawan lamanya penuh simpati.
“Aku terlalu sibuk mengurus bisnis, sampai-sampai aku melupakan kewajibanku sebagai seorang ibu. Secara materi, aku dan Hassan lebih dari cukup. Tapi ia kekurangan asupan rohani dan makanan jiwa. Aku belum mengingatkannya, aku belum menyentuh hatinya. Seharusnya kulakukan itu sejak awal.” sesal Akila.
“Tidak ada kata terlambat. Cobalah mengingatkan Hassan. Pelan-pelan saja, biarkan kesadaran itu berproses. Segala sesuatu harus berproses, Akila.”
Akila mengangguk. Memantapkan hati untuk menyadarkan buah hatinya. Renna menepuk lembut bahu wanita tegar itu. Ia akui, Akila sangat tegar. Berhasil lepas dari kepedihan pasca kematian Fikri. Lalu ia menata hidupnya. Memperbaiki kehancurannya. Mengikhlaskan masa lalu yang telah lewat.
“Terima kasih pencerahannya, Renna.” gumam Akila.
“Sama-sama. Kamu pasti bisa.”
“Oh, entahlah. Aku bukan ibu yang baik. Kamu sendiri bagaimana?” Kini Akila balik bertanya.