Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lupakah Kamu?

15 Mei 2017   06:47 Diperbarui: 15 Mei 2017   07:51 1277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terindah, terindah

Masa bersamamu

Meski hanya sekejap oh juwita

Kurasa kurasa

Kau istimewa

Buatku merasa

Tak cukup sanggup lagi aku berkata

Sunguh kaulah seorang

Bidadari yang kan selalu kukenang (Calvin Jeremy-Terindah).

**    

Chelsea adalah bidadari kecilnya. Memanjakan sang bidadari kecil, itulah yang sedang dilakukan Albert siang ini. Sejenak rehat dari rutinitas pekerjaan di kantor, mengajak Chelsea jalan-jalan, lalu membelikannya boneka yang ia sukai. Tak tanggung-tanggung, boneka Teddy Bear raksasa berwarna pink itu dibandrol dengan harga empat ratus ribu. Nominal yang kecil bagi ayah gadis kecil itu.

“Terima kasih, Ayah. Chelsea suka boneka ini.” ujar Chelsea, tersenyum cerah. Menampakkan lesung pipinya. Menggemaskan. Cute.

“Sama-sama, Sayang.”

Banyak orang tua lain mungkin bertanya-tanya, apakah tindakan Albert membelikan Chelsea barang-barang mahal berlebihan? Albert punya rasionalisasi atas tindakannya. Pertama, Chelsea adalah putri satu-satunya. Putri yang sangat ia harapkan meski bukan darah dagingnya. Kedua, Albert tak ingin menyia-nyiakan sedetik pun waktu yang dimilikinya untuk menyenangkan Chelsea. Umur manusia siapa yang tahu? Terlebih dengan kondisinya yang jauh dari kata sehat. Penyakit Celiac dengan beberapa komplikasinya membuat Albert tak yakin ia bisa hidup lebih lama. Umurnya mungkin tinggal sedikit lagi. Selama masih ada waktu, ia akan melakukan apa saja demi kebahagiaan putri cantiknya. Ketiga, Albert memang mampu membelikan semua barang mahal itu. Apa salahnya ia memanjakan Chelsea jika ia memang mampu? Toh bukan sebuah dosa ketika seorang ayah membelikan sesuatu untuk anaknya.

“Koleksi boneka Chelsea tambah lagi,” kata Chelsea seraya menatapi boneka berukuran ekstra besar barunya.

“Iya, Sayang. Coba Chelsea tunjukkan sama Bunda. Bunda pasti suka.” Albert menimpali. Tak puas-puas memandangi wajah imut anak perempuannya. Bukankah Albert selama ini ingin memiliki anak perempuan? Allah menjawab keinginannya.

“Bunda dimana, Ayah?”

“Di food court, Sayang.”

Menggandeng tangan Chelsea, Albert mengajaknya ke food court. Menaiki eskalator, sesekali berpapasan dengan para pengunjung pusat perbelanjaan lainnya. Entah mereka sekedar window shopping atau berniat membeli sesuatu.

“Hei...anak Bunda keliatannya senang ya? Ooooh...itukah bonekanya? Cantik sekali, Sayang.” sambut Renna. Menunjuk Teddy Bear dalam pelukan Chelsea.

“Chelsea sendiri yang pilih,” jelas Albert. Renna mengangguk, tersenyum kecil.

Waktu makan siang telah tiba. Mereka memesan ice matcha, Earl Grey,  dan melted salami chicken. Terlihat Chelsea sangat menikmati kebersamaannya dengan Albert dan Renna. Ia bisa bermanja-manja tanpa intervensi siapa pun. Entah sengaja atau tidak, Chelsea kesulitan memotong fillet ayamnya. Albert dan Renna rupanya tak bisa melihat putri mereka kesulitan melakukan sesuatu. Mereka pun membantu Chelsea. Mengajarinya menggunakan pisau dan garpu dengan benar. Sekali-dua kali menyuapinya.

“Bagaimana perasaanmu, Renna?” tanya Albert di sela membantu Chelsea.

Wanita keturunan Sunda-Belanda itu paham arah pertanyaan Albert. Hari ini adalah hari pertama cutinya. Ia mesti menganalisis perasaannya sendiri. Dan mempertimbangkan ulang pilihannya.

“Aku merasa bahagia, Albert.” jawab Renna.

“Are you sure?”

“Yes.”

“Kini aku semakin mantap pada pilihanku. Aku ingin berhenti sebagai psikolog dan hypnotherapyst.”

Sepasang mata teduh milik pria tampan itu melebar tak percaya. Telah yakinkah Renna dengan pilihannya? Diulurkannya tangan. Lembut digenggamnya tangan Renna.

“Sebaiknya kamu pikirkan baik-baik, Sayang. Aku tak ingin kamu salah langkah. Pikirkan lagi...ya?” bujuk Albert lembut.

Renna bergumam mengiyakan. Ada baiknya saran Albert dituruti. Karier dan cinta sama-sama penting. Pada akhirnya, Renna tetap harus memilih. Untuk menentukan pilihannya, perlu pertimbangan matang.

Tepat ketika mereka selesai makan, ponsel Albert berdering. Dalam hati Albert menyesali kealpaannya mematikan ponsel. Seharusnya ia menonaktifkan benda canggih itu saat tengah quality time bersama keluarga kecilnya. Terpaksa ia menjawab telepon itu. Ternyata dari Chika.

“Al, ada anak kecil datang ke kantor. Dia mencarimu.” kata Chika di seberang sana.

“Anak kecil? Siapa, Chika?”

“David. Dia terus menangis sejak tadi, Al. Kasihan sekali.”

David? Sekejap saja Albert langsung paham. Sesuatu yang buruk telah terjadi. Seorang anak membutuhkan pertolongannya.

“Okey, Chika. Aku ke kantor sekarang ya? Bye.”

Sejurus kemudian Albert menggamit lengan Renna. Sebentar menjauhi Chelsea. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Renna pun mengerti. Albert cukup adil. Ia akan membantu David tanpa menyakiti perasaan Chelsea. Biar bagaimana pun, Chelsea masih merasa cemburu dan tidak aman tiap kali nama David disebut-sebut. Di mata Chelsea, David berpotensi merebut kasih sayang Ayah-Bundanya.

“Kamu bisa ajak dia ke rumah Muti atau Andini.” Albert mengakhiri dengan sebuah solusi.

Renna menggelengkan kepalanya. “Tidak untuk Muti. Dia dan Rafly sedang pergi ke Bali. Mengambil anak yang akan mereka adopsi.”

“Oh iya, benar. So, alternatif satu-satunya adalah Andini. Setelahnya, kamu bisa bantu aku, kan?”

“Of course.”

Usai berdiskusi singkat, keduanya kembali ke meja. Albert menjelaskan sesuatu pada Chelsea. Mengecup keningnya, lalu bergegas pergi. Sejenak Chelsea menatap sedih kepergian ayahnya. Pelan menyentuh keningnya. Beberapa detik lalu, Albert menyentuh kening mulus itu dengan bibirnya. Chelsea masih bisa merasakan wangi susu, Earl Grey, dan Calvin Klein. Wangi Albert yang sangat khas. Satu detail yang selalu melekat dalam ingatannya.

**     

Akhirnya kini aku mengerti

Apa yang ada di pikiranmu selama ini

Kau hanya ingin permainkan perasaanku

Tak ada hati

Tak ada cinta (D`Masiv-Apa Salahku).

**    

Lagi-lagi terdengar bunyi piring pecah. Disusul teriakan bernada tinggi penuh amarah. Tubuh David gemetar hebat. Batinnya dipenuhi tanda tanya. Seperti inikah hidup yang diharapkannya? Inikah sosok ayah kandungnya yang sebenarnya? Apakah ayah yang baik tega membuat anak dan istrinya menangis serta ketakutan?

“Jangan protes lagi! Aku punya maksud tersendiri untuk menjual buku-bukunya David!” hardik Emilianus. Melempar pandang penuh ancaman ke arah Tesa.

Tesa tersenyum sinis. “Maksud tersendiri? Pasti kamu hanya ingin memuaskan kecanduanmu pada benda-benda tidak berguna itu? Kaubilang maksud tersendiri? Pikiranmu sangat dangkal, Emilianus!”

“Kamu tidak mengerti, Tesa! Aku merasa kuat setelah mengonsumsinya.”

“Okey, sekarang aku tanya lagi. Kemana semua baju pemberian Albert? Apa kamu menjualnya juga?”

Dengan ekspresi wajah tanpa dosa, Emilianus mengangguk. Menunduk menatapi pakaian lusuhnya. Ya, penampilannya kembali seperti dulu. Sia-sia semua usaha dan pemberian Albert.

“Aku menyesal memilihmu, Emilianus. Kukira aku akan bahagia hidup bersamamu. Ternyata, menjalani hidup bersama seseorang yang pernah menjalani hidup bakti sebagai pelayan Kristus belum tentu menjamin kebahagiaan.”

Kali ini, Emilianus yang menampakkan senyum paling sadisnya. “Lalu kamu ingin bersama siapa? Albert? Yah...dia memang tampan, kaya, dan baik. Tapi dia...mandul. Sebentar lagi dia akan mati. Toh dia sudah punya Renna. Dibandingkan kamu, Renna lebih segala-galanya. Sekarang aku tahu apa yang ada di pikiranmu. Kamu sama sekali tidak mencintaiku. Kamu masih mencintai Albert.”

“Teganya kamu, Emilianus! Beginikah output seorang mantan biarawan Montfort?!”

Brak!

David tak tahan lagi. Baginya, Arif Albert seratus kali lipat lebih baik dibandingkan Emilianus Tuto Hurek. Terpendam sepercik rasa iri pada Chelsea. Bagaimana tidak, anak mana pun akan senang bertukar posisi dengan Chelsea. Bukankah mempunyai ayah yang penyabar, penyayang, lembut, pengertian, dan royal adalah dambaan setiap anak? Diiringi bantingan pintu, David melangkah keluar dari kamarnya. Menatap Emilianus penuh kebencian.

“Bapak jahat!” teriak anak laki-laki tujuh tahun itu.

“Bapak buang buku-bukunya David! Bapak bikin Ibu sedih! Bapak nggak pernah sayang sama Ibu dan David!  David benci sama Bapak!”

“David, siapa yang mengajarimu berkata begitu?! Apa laki-laki mandul dan penyakitan  itu?!” geram Emilianus.

“David mau sama Om Albert aja!”

Dengan kata-kata itu, David berlari meninggalkan rumah. Kenekatan mengalahkan perih di kakinya saat menyentuh panasnya jalan beraspal. David terburu-buru hingga lupa memakai sepatu. Seruan Tesa dan Emilianus tak dipedulikannya. Ia sudah terlalu letih menyaksikan pertengkaran demi pertengkaran di rumahnya. Jiwanya yang masih polos itu sempurna terguncang. Mengapa kedua orang tuanya harus bertengkar? Mengapa mereka tidak bisa seperti Ayah-Bundanya Chelsea yang selalu hangat dan bahagia? Mengapa Emilianus tidak bisa bersikap lembut  seperti Albert? Dan mengapa Tesa tidak keibuan dan penuh kasih seperti Renna?

Air mata David berjatuhan seiring langkah kakinya. Hanya satu tujuannya. Ia ingin menemui ayah keduanya. Ingin menemui figur pria berparas lembut, menenangkan, dan lovable itu. David rindu belaian hangat dan penuh kasihnya. Rindu pula pada suara barithon yang begitu dalam dan menenangkan. Rindu tatapan mata teduh dan wangi Calvin Klein bercampur susu dan Earl Grey yang sangat khas itu. Rupanya detail ingatan David sama dengan Chelsea.

**     

“Lihat, Al. Kasihan sekali...” desah Chika.

Albert berlutut. Menyamakan tinggi tubuhnya dengan anak lelaki berpakaian kotor di depannya. Lembut mengelus kepala anak itu.

“David kenapa? Coba cerita...” tanyanya penuh simpati.

Suara David teramat lirih sewaktu ia menceritakan segalanya. Albert mendengarkan dengan sabar. Hatinya tersentuh. Salahkah penilaiannya terhadap Emilianus? Mengapa ia berubah menjadi pribadi yang egois, bahkan pada keluarganya sendiri? Albert selalu berpikiran positif. Ia yakin, semua orang terlahir dengan hati yang baik. Sayangnya, Albert melupakan satu hal. Hati yang baik bisa terkontaminasi dengan mudah oleh lingkungan, gaya hidup, nafsu, obsesi, dan pengaruh buruk lainnya.

“Sayang, jangan sedih ya? David doakan Bapak. Minta sama Tuhan, supaya Bapak diberi petunjuk dan ampunan. David mau berdoa untuk Bapak?”

Perlahan David mengangguk. Albert tersenyum melihatnya. Mengusap sisa air mata di wajah anak itu.

“Sekarang David mau kemana?”

“David mau ke gereja.”

“Okey.”

Dengan lembut, Albert meraih tubuh kurus David ke dalam pelukannya. Menggendongnya, mengundang tatapan heran dari sejumlah pegawai yang melewati lobi kantor itu. Sebenarnya mereka sudah biasa melihat aksi sosial atasan mereka. Namun, anak kecil berkulit hitam dan bermata sayu itu sangat tak cocok bersama atasan mereka yang tampan dan modis.

Albert mengantar David ke gereja. Sesampai di sana, hatinya makin terenyuh melihat David berlutut di depan patung Bunda Maria. Berdoa dengan khusyuk. Terisak-isak di sela doanya. Anak sekecil itu tak seharusnya merasakan penderitaan. Di saat anak-anak seusianya asyik bermain dan belajar, David justru merasakan pukulan jiwa yang sangat kuat. Saatnya menyadarkan mantan Frater itu, pikir Albert. Susah payah menahan kekecewaan dan kemarahannya.

**     

Sejak kecil, riwayat kesehatan Albert tak pernah baik. Akan tetapi ia mendapat banyak kompensasi atas kekurangannya ini. IQ di atas rata-rata, suara bagus, wajah rupawan, hati yang baik, dan ingatan yang kuat. Bukankah Allah Maha Adil?

David mengagumi semua kelebihan itu. Penilaian anak kecil jauh lebih jujur dan objektif. Dalam pandangan David, Albert figur ayah yang sempurna. Terlebih saat ia bersama Renna seperti saat ini. Mereka sungguh serasi.

“Kamu sudah beri tahu Emilianus?” tanya Albert. Melirik sekilas Tag Heuer yang melingkari pergelangan tangan kanannya.

“Sudah. Kuharap dia segera datang.” sahut Renna.

Mereka kembali berada di food court yang sama. Hanya saja, kali ini tanpa Chelsea. Bukan lagi Chelsea yang sedang mereka manjakan dengan makanan-makanan lezat, melainkan David. Albert dan Renna sangat berhati-hati. Jangan sampai Chelsea tahu soal ini.

“David mau pop corn?” Albert menawarkan.

“Nggak. David udah kenyang. Steaknya enak banget.”

Jawaban David sangat polos. Sajian fillet ayam berlapis keju ditambah mash potato dikiranya steak.

“Itu bukan steak, Sayang. Namanya melted salami chicken.” Renna lembut menjelaskan.

“Oh...David kirain itu steak.”

Meski David menolak, Albert tetap membelikannya Jolly Time Pop Corn dengan varian rasa karamel. Tak hanya itu. Ia pun membelikan Oreo Cream Mille Crepes. David senang sekali menerimanya. Tepat pada saat itu, Emilianus datang. Wajah datarnya seketika berubah tegang melihat David bersama Albert dan Renna.

“Apa yang kalian lakukan pada anakku?” tanyanya dingin.

“Hanya menggantikan peranmu untuk sementara. Menyenangkan hatinya dan memanjakannya.” Di luar dugaan, jawaban Albert tak kalah dinginnya.

Emilianus terdiam. Tak disangka, Albert yang dikenalnya berpembawaan hangat dan ramah bisa bersikap sedingin itu.

Albert bangkit dari kursinya. Berdiri berhadapan dengan Emilianus. Terlihat perbedaan mereka sangat mencolok. Tinggi Emilianus hanya berkisar 153 senti, sedangkan Albert dua puluh senti lebih tinggi darinya. Tipikal wajah dan penampilan mereka pun jauh berbeda. Dalam kemarahannya, Albert seakan terlihat lebih tinggi. Sebaliknya, sosok Emilianus seolah makin mengecil. Mengerikan, apa yang akan terjadi?

Renna mencengkeram erat lengan David. Siap menjauhkannya dari meja ini. Ia tahu seperti apa Albert luar-dalam. Jangan salah, orang berhati lembut justru menyeramkan saat ia marah. Albert jarang sekali memperlihatkan kemarahan. Sekali menampakkan amarah, akibatnya fatal.

“Emilianus...kamu membuatku kecewa.”

Suara barithon itu tak lebih dari bisikan. Akan tetapi, Emilianus dapat mendengar jelas kata-katanya.

“Lupakah kamu, Emilianus? Lupakah kamu tentang amanah itu? Lupakah kamu tentang arti dari tanggung jawab? Kamu ingin lari dari tanggung jawab? Kamu ingin menyia-nyiakan David untuk kedua kalinya?”

Tanggung jawab. Dua kata itu merobek hati Emilianus. Merobohkan tembok tinggi keegoisannya. Mendobrak pintu kepicikannya. Emilianus ternganga, menatap Albert tak percaya. Ia telah lari dari tanggung jawab.

“Bukankah hidup membiara selama bertahun-tahun telah mengajarimu arti tanggung jawab? Ternyata kamu belum bisa mengaplikasikannya. Ajaran itu sebatas kamu praktikkan saat hidup berkomunitas dan menjalani tiga kaul kebiaraan. Tapi kamu lari dari tanggung jawab saat kamu sudah memiliki anak.”

Sepasang mata sayu milik Emilianus membelalak. Sementara itu, kelembutan dan keteduhan di mata Albert tertutupi oleh dalamnya kekecewaan. Sungguh, ia kecewa pada sikap Emilianus.

“Anak adalah titipan Tuhan, Emilianus.” ucap Albert lirih. “Kamu beruntung dititipi Tuhan seorang anak. Anak kandungmu sendiri, darah dagingmu. Tidak semua orang bisa memiliki anak.”

Wajah Albert berubah sendu. Pria berdarah campuran itu merasakan efek kepedihan dari kata-katanya sendiri. Anak kandung adalah sesuatu yang mustahil dimilikinya. Albert mungkin bisa memiliki segalanya, kecuali satu: keturunan. Ironi menghantam tepat di sudut terdalam hatinya. Emilianus, sosok pria egois, keras, kasar, dan tidak memiliki masa depan yang jelas, dikaruniai seorang anak. Sedangkan Albert dengan kebaikan hati dan kemapanan finansialnya justru tidak bisa memiliki anak. Mengapa hidup ini begitu ironis?

“Seharusnya kamu bersyukur, Emilianus. Kamu punya anak yang baik dan pintar seperti David. Dia darah dagingmu sendiri. Darahmu mengalir dalam darahnya. Lihat aku, lihat Renna.” Kedua tangan Albert bergetar saat menunjuk dirinya sendiri dan wanita pendamping hidupnya. Pandangan matanya bergulir ke arah Renna. Saat itulah Renna melihat luka lama kembali terbuka. Bayangan masa lalu yang begitu kelam terlintas di wajah Albert.

“Dalam rahim Renna, tak pernah ada anakku. Garis keturunan kami telah terhenti. Segala pengobatan telah dicoba, sampai akhirnya aku lelah dan berhenti berobat. Enam tahun aku dan Renna hidup tanpa anak. Kami bahkan tak tahu kemana harus menghabiskan uang kami. Kami lelah jiwa-raga. Demi beramal dan mencurahkan rasa cinta pada anak-anak, kami alokasikan setengah harta kekayaan kami untuk membiayai pengobatan anak pengidap kanker. Kami juga menjadi donatur tetap untuk beberapa yayasan dan panti asuhan. Sering kulihat Renna menangis secara sembunyi-sembunyi tiap kali melihat teman-temannya mempunyai anak. Karena apa? Karena dia tidak akan pernah merasakan apa yang dirasakan teman-temannya.”

Mendengar itu, air mata Renna terjatuh. Dipeluknya David, disembunyikannya air matanya. Ia tak ingin menambah beban dan rasa bersalah di hati Albert.

Albert menghela nafas, lalu melanjutkan. “Tiap Lebaran dan acara keluarga, kami selalu mengajak anak yang berbeda-beda untuk pergi bersama kami. Padahal kami tahu pasti, jika sepanjang hidup kami takkan pernah punya keturunan. Keluarga besar menyebut kami hanya berpura-pura dan senang pencitraan. Semua itu kami lakukan semata ingin menghibur diri kami sendiri. Rumah kami serasa terlalu besar tanpa kehadiran seorang anak. Di tahun kelima, Renna sering membeli mainan anak-anak dan memenuhi rumah kami dengan semua mainan itu. Berharap datangnya keajaiban. Sementara penyakitku semakin parah. Rasa takutku pada kematian terus membesar. Penyebab infertilitas yang kualami bukan hanya karena Celiac, melainkan juga akibat kemoterapi. Waktu kecil aku pernah sakit kanker darah dan harus menjalani kemoterapi. Seseorang yang pernah menjalani kemoterapi berisiko tinggi untuk mandul. Obat-obatan kemoterapi sangat keras. Efek sampingnya berat. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya. Kamu tidak perlu merasakan itu sebelum memiliki anak, Emilianus. Setelah memilikinya, kamu justru menyia-nyiakannya.”

Kekecewaan berpadu dengan kesedihan. Albert tak mengerti dengan jalan pikiran Emilianus. Bagaimana mungkin seorang ayah tega menyia-nyiakan anaknya sendiri? Mengapa seorang ayah mengorbankan kebahagiaan anaknya demi memuaskan kebutuhan dirinya sendiri?

“Jawab pertanyaanku. Apa pekerjaanmu yang sebenarnya?” tanya Albert tegas.

“Aku dipecat.” jawab Emilianus, menghindari tatapan Albert.

“Setelah dipecat, aku bekerja untuk Romo.”

Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Albert terdiam. Ia tahu pekerjaan semacam itu. Baginya, pekerjaan itu sangat positif. Positif untuk menguatkan spiritualitas dan jiwa sosial seseorang. Namun, positifkah pekerjaan semacam itu untuk kemajuan sebuah keluarga?

“Emilianus,” ujar Albert berhati-hati.

“Pekerjaanmu sangat baik. Kamu pasti lebih tahu, apa lagi kamu mantan Frater. Tapi...cobalah berpikir lebih luas. Apa pekerjaanmu ini mampu membahagiakan keluargamu?”

Pertanyaan yang tak perlu dijawab. Secara finansial, Emilianus akan tetap kekurangan jika terus melakukan pekerjaan semacam itu. Albert kembali menatap Emilianus. Sikapnya mulai melunak.

“Semua pekerjaan baik, Emilianus. Tapi kamu harus tahu, segala sesuatu ada tempat dan waktunya. Ada waktunya kamu bekerja untuk agamamu, ada waktunya kamu membahagiakan keluargamu. Semuanya harus seimbang. Kamu boleh bekerja demi gereja, yayasan, Paroki, Keuskupan, dan semacamnya. Jangan lupakan tugas utamamu sebagai seorang ayah. Dalam Islam, kami punya contoh ayah teladan yaitu Nabi Muhammad. Aku tidak tahu siapa ayah teladan dalam agamamu...”

“Mudah bagimu bicara begitu! Itu karena kamu kaya!”

Tanpa diduga, Emilianus memotong perkataan Albert. Memukul meja di depannya dengan frustasi. Albert, Renna, dan David menatapnya tak percaya.

“Itu semua tak ada hubungannya dengan kaya dan miskin, Emilianus. Siapa pun bisa menjadi ayah yang baik, entah dia kaya atau miskin.” Renna mencoba menyabarkan.

“Kamu tidak akan paham, Albert. Bagaimana rasanya jadi aku. Betapa sulitnya mantan Frater mencari pekerjaan. Kurangnya soft skill, tidak ada bakat dan modal bisnis, merasa diri selalu gagal, dan banyak konsekuensi menyakitkan lainnya. Kamu kaya dan punya banyak peluang bagus, kamu takkan pernah merasakannya. Orang-orang sepertiku selalu frustasi dan kebingungan menghadapi kerasnya hidup di luar biara. Pelarianku adalah ini...”

Dikeluarkannya sebuah kotak kecil dan sebotol anggur yang isinya tinggal setengah. Melihat dua benda itu, Albert menahan nafas. Renna terlihat jijik. Dalam jarak jauh saja, mereka berdua langsung tahu apa jenis benda-benda itu. Dua hal yang pasti: seumur hidupnya Albert tak pernah bersentuhan dengan benda-benda perusak itu. Dan Renna sangat membenci pria perokok serta pecandu alkohol.

“Kamu pernah merasakan nikotin dan alkohol di dalam darahmu, Albert?” Emilianus bertanya tajam.

“Tidak. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu bagaimana rasanya.”

Sesaat Emilianus nampak terkesan. Benarkah pria sekaya Albert sama sekali tidak berminat dengan benda-benda semacam ini? Mereka yang tidak begitu kaya saja menyukainya, mengapa Albert justru sebaliknya? Seakan bisa membaca pikiran Emilianus, Albert mengingatkan.

“Memakai barang semacam itu hanya akan merugikanmu, Emilianus. Hentikan kebiasaan burukmu. Jangan pikirkan dirimu sendiri, pikirkan juga orang lain. Kamu mau berubah, kan?”

Sekali lagi, Albert berhasil membuka mata hati Emilianus. Mengajaknya melihat arti tanggung jawab. Albert melakukan semua itu bukan tanpa alasan. Vonis mandul itu membuatnya belajar banyak hal. Belajar ikhlas, belajar memahami, bahkan belajar menjadi ayah yang baik. Albert berharap, apa yang terjadi padanya tidak terjadi pada orang lain. Cukup dirinya saja yang mengalami semua kepedihan itu.

Dalam gerakan slow motion, Emilianus bergerak mendekati David. Perlahan Renna melepas pelukannya dari tubuh David. Memberi kesempatan bagi sang ayah untuk mengambil kembali anaknya. Menit berikutnya, Renna dan Albert melihat sisi lembut dalam diri Emilianus. Sisi kelembutan itu muncul ketika Emilianus merengkuh David ke dalam dekapannya. Ketika Emilianus meminta maaf berulang kali dengan suara lirih bercampur isakan. Dan ketika Emilianus memberikan kecupan pertamanya di kening David. Kecupan pertama yang diterima David dari ayahnya.

**     

“Carissa Listeners, jangan pernah lari dari tanggung jawab. Jika kita berani berbuat sesuatu, maka kita harus berani mempertanggungjawabkannya.”

Nasihat yang simple. Namun memberikan makna mendalam bagi Carissa Listeners malam ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun