“Aku dipecat.” jawab Emilianus, menghindari tatapan Albert.
“Setelah dipecat, aku bekerja untuk Romo.”
Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Albert terdiam. Ia tahu pekerjaan semacam itu. Baginya, pekerjaan itu sangat positif. Positif untuk menguatkan spiritualitas dan jiwa sosial seseorang. Namun, positifkah pekerjaan semacam itu untuk kemajuan sebuah keluarga?
“Emilianus,” ujar Albert berhati-hati.
“Pekerjaanmu sangat baik. Kamu pasti lebih tahu, apa lagi kamu mantan Frater. Tapi...cobalah berpikir lebih luas. Apa pekerjaanmu ini mampu membahagiakan keluargamu?”
Pertanyaan yang tak perlu dijawab. Secara finansial, Emilianus akan tetap kekurangan jika terus melakukan pekerjaan semacam itu. Albert kembali menatap Emilianus. Sikapnya mulai melunak.
“Semua pekerjaan baik, Emilianus. Tapi kamu harus tahu, segala sesuatu ada tempat dan waktunya. Ada waktunya kamu bekerja untuk agamamu, ada waktunya kamu membahagiakan keluargamu. Semuanya harus seimbang. Kamu boleh bekerja demi gereja, yayasan, Paroki, Keuskupan, dan semacamnya. Jangan lupakan tugas utamamu sebagai seorang ayah. Dalam Islam, kami punya contoh ayah teladan yaitu Nabi Muhammad. Aku tidak tahu siapa ayah teladan dalam agamamu...”
“Mudah bagimu bicara begitu! Itu karena kamu kaya!”
Tanpa diduga, Emilianus memotong perkataan Albert. Memukul meja di depannya dengan frustasi. Albert, Renna, dan David menatapnya tak percaya.
“Itu semua tak ada hubungannya dengan kaya dan miskin, Emilianus. Siapa pun bisa menjadi ayah yang baik, entah dia kaya atau miskin.” Renna mencoba menyabarkan.
“Kamu tidak akan paham, Albert. Bagaimana rasanya jadi aku. Betapa sulitnya mantan Frater mencari pekerjaan. Kurangnya soft skill, tidak ada bakat dan modal bisnis, merasa diri selalu gagal, dan banyak konsekuensi menyakitkan lainnya. Kamu kaya dan punya banyak peluang bagus, kamu takkan pernah merasakannya. Orang-orang sepertiku selalu frustasi dan kebingungan menghadapi kerasnya hidup di luar biara. Pelarianku adalah ini...”