Dengan lembut, Albert meraih tubuh kurus David ke dalam pelukannya. Menggendongnya, mengundang tatapan heran dari sejumlah pegawai yang melewati lobi kantor itu. Sebenarnya mereka sudah biasa melihat aksi sosial atasan mereka. Namun, anak kecil berkulit hitam dan bermata sayu itu sangat tak cocok bersama atasan mereka yang tampan dan modis.
Albert mengantar David ke gereja. Sesampai di sana, hatinya makin terenyuh melihat David berlutut di depan patung Bunda Maria. Berdoa dengan khusyuk. Terisak-isak di sela doanya. Anak sekecil itu tak seharusnya merasakan penderitaan. Di saat anak-anak seusianya asyik bermain dan belajar, David justru merasakan pukulan jiwa yang sangat kuat. Saatnya menyadarkan mantan Frater itu, pikir Albert. Susah payah menahan kekecewaan dan kemarahannya.
**
Sejak kecil, riwayat kesehatan Albert tak pernah baik. Akan tetapi ia mendapat banyak kompensasi atas kekurangannya ini. IQ di atas rata-rata, suara bagus, wajah rupawan, hati yang baik, dan ingatan yang kuat. Bukankah Allah Maha Adil?
David mengagumi semua kelebihan itu. Penilaian anak kecil jauh lebih jujur dan objektif. Dalam pandangan David, Albert figur ayah yang sempurna. Terlebih saat ia bersama Renna seperti saat ini. Mereka sungguh serasi.
“Kamu sudah beri tahu Emilianus?” tanya Albert. Melirik sekilas Tag Heuer yang melingkari pergelangan tangan kanannya.
“Sudah. Kuharap dia segera datang.” sahut Renna.
Mereka kembali berada di food court yang sama. Hanya saja, kali ini tanpa Chelsea. Bukan lagi Chelsea yang sedang mereka manjakan dengan makanan-makanan lezat, melainkan David. Albert dan Renna sangat berhati-hati. Jangan sampai Chelsea tahu soal ini.
“David mau pop corn?” Albert menawarkan.
“Nggak. David udah kenyang. Steaknya enak banget.”
Jawaban David sangat polos. Sajian fillet ayam berlapis keju ditambah mash potato dikiranya steak.