Air mata David berjatuhan seiring langkah kakinya. Hanya satu tujuannya. Ia ingin menemui ayah keduanya. Ingin menemui figur pria berparas lembut, menenangkan, dan lovable itu. David rindu belaian hangat dan penuh kasihnya. Rindu pula pada suara barithon yang begitu dalam dan menenangkan. Rindu tatapan mata teduh dan wangi Calvin Klein bercampur susu dan Earl Grey yang sangat khas itu. Rupanya detail ingatan David sama dengan Chelsea.
**
“Lihat, Al. Kasihan sekali...” desah Chika.
Albert berlutut. Menyamakan tinggi tubuhnya dengan anak lelaki berpakaian kotor di depannya. Lembut mengelus kepala anak itu.
“David kenapa? Coba cerita...” tanyanya penuh simpati.
Suara David teramat lirih sewaktu ia menceritakan segalanya. Albert mendengarkan dengan sabar. Hatinya tersentuh. Salahkah penilaiannya terhadap Emilianus? Mengapa ia berubah menjadi pribadi yang egois, bahkan pada keluarganya sendiri? Albert selalu berpikiran positif. Ia yakin, semua orang terlahir dengan hati yang baik. Sayangnya, Albert melupakan satu hal. Hati yang baik bisa terkontaminasi dengan mudah oleh lingkungan, gaya hidup, nafsu, obsesi, dan pengaruh buruk lainnya.
“Sayang, jangan sedih ya? David doakan Bapak. Minta sama Tuhan, supaya Bapak diberi petunjuk dan ampunan. David mau berdoa untuk Bapak?”
Perlahan David mengangguk. Albert tersenyum melihatnya. Mengusap sisa air mata di wajah anak itu.
“Sekarang David mau kemana?”
“David mau ke gereja.”
“Okey.”