Pukul sembilan lewat empat puluh. Sembilan lima puluh. Sembilan lewat lima puluh sembilan. Pukul sepuluh tepat. Baiklah, ia harus mencari Chika.
Setengah bangkit dari sofa dengan kunci mobil di tangan, terdengar derit pintu pagar. Chika tiba di rumah. Seluruh pakaiannya basah. Begitu juga rambutnya. Wajahnya pucat pasi. Tubuhnya gemetar kedinginan, bibirnya membiru.
“Chika!” seru Albert lega. Berlari menghampiri gadis itu. Bersiap memeluknya.
Akan tetapi, Chika mundur jauh-jauh. Menatap Albert tanpa kedip. Albert terpana, belum pernah Chika menatapnya seperti itu.
“Ada apa, Chika?” tanyanya.
Suara barithon itu, sepasang mata teduh itu, Chika tak tahan. Ia tak bisa menyakiti Albert. Apa lagi membencinya. Namun ia harus melakukannya.
“Albert, mulai sekarang jauhi aku. Jangan ganggu aku lagi.” Desisnya, suaranya bergetar hebat.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Albert tahu, ada sesuatu yang tidak beres. Ini bukan Chika. Chika yang cantik dan berhati lembut tidak akan berkata sekeras ini.
“Chika, kamu kenapa? Cerita sama aku...” bujuk Albert.
Mengusap matanya, Chika berkata. “Semoga kamu bahagia dengan orang lain. Kamu pasti menemukan penggantiku. Kamu akan baik-baik saja tanpaku.”
Sungguh, Albert teramat sedih dan bingung. Mengapa Chika bersikap seperti ini? Tidak, ia tak mungkin mencari pengganti Chika. Chika, dengan segala ketulusannya, memberi warna baru dalam hidupnya. Mengisi kehampaan jiwanya.