Atmosfer ketegangan menebar di depan butik. Tiga orang itu berdiri kaku, ekspresi wajah mereka berlainan. Pria berpostur tinggi semampai berkemeja abu-abu dan berwajah Indo menunduk dalam. Memasang ekspresi sedih. Sedangkan pria berkemeja coklat dengan bentuk tubuh dan wajah identik dengan pria berkemeja abu-abu berlagak marah. Mata di balik kacamata minusnya menyorot tajam. Gadis bermata sipit dan berlesung pipi dengan slip dress merah hati tak kalah kesalnya. Ditatapnya si pria berkemeja abu-abu dengan geram.
“Ricky! Kenapa kamu bawa mobil saya tanpa izin?!” hardik pria berkacamata gusar.
Ricky, yang tak lain Albert dalam penyamaran, makin menundukkan wajah. Sebagai supir dari seorang eksekutif muda, ia harus sangat meyakinkan.
“Maaf Tuan...saya nggak bermaksud bawa mobil Tuan gitu aja. Tadi saya mau telepon Tuan, tapi handphone saya lowbat.” Gumamnya.
“Alasan! Buat apa kamu bawa mobil saya tanpa izin?!” Si pria berkacamata makin ganas membentak.
“Buat antar pacar saya, Tuan. Dia hampir terlambat ke tempat kerjanya,” sahut Albert lirih.
“Nah, benar kan! Pasti buat kepentingan pribadi! Supir nggak becus! Ganteng tapi teledor! Wajah bule tapi mental pribumi!” maki Andini marah seraya menunjuk-nunjuk Albert dengan tangannya.
“Saya potong gaji kamu! Kalo sampai kejadian lagi, kamu saya pecat!”
Pria berkacamata itu mengakhiri dengan ultimatum. Sementara Albert sekali lagi meminta maaf. Andini tersenyum sinis. Menggamit lengan si pria berkacamata dengan manja.
“Gitu dong, Sayang. Jadi majikan harus tegas. Supir nggak tahu diri kayak gini harus dikasih pelajaran.” Katanya puas. “Iya, Sayang. Sekali-sekali dia harus dikasih pelajaran.”
Albert masih saja memasang ekspresi sedih dan terluka. Akting yang sempurna. Dengan begitu, kedok penyamaran mereka tak terbongkar.
Bermula saat Albert tak sengaja melewati butik milik Andini. Andini melihatnya, lalu marah-marah. Mengira Albert telah membawa mobil milik majikannya tanpa izin. Lalu ia menelepon kekasihnya, kembar identiknya Albert yang memiliki nama serupa. Hanya nama belakang mereka yang berbeda. Si kembar identik datang ke butik. Terpaksa ia memarahi Albert agar penyamarannya meyakinkan.
**
“Keren banget akting kamu, Bro! Cocok jadi tokoh protagonis yang menderita!” kata si pria berkacamata, tertawa lebar.
Albert hanya tersenyum kalem seperti biasa. “Aku menyelamatkanmu, Albert Fast.”
“Oh iya, aku hutang budi sama kamu. Tapi serius lho, kenapa kamu nggak jadi aktor lagi? Iya kan, Chika?”
Chika mengangguk. Menyesap mocktailnya. Tersenyum menatapi sepasang kembar identik itu.
“Iya, Albert. Kenapa kamu vacum sebagai model dan aktor? Sayang sekali...Albert Arif yang terkenal dan berbakat mundur dari dunia showbiz.”
“Chika, bukannya aku tidak mau. Tapi aku belum bisa mengatur waktu.” Jelas Albert sabar. Pelan memotong sirloin steak-nya. Mematuhi tabble manner dengan sangat baik. Perfect.
“Katanya, kemarin manager dan orang dari production house datang ke rumahmu ya? Nawarin main film? Kamu terima nggak?” selidik si pria berkacamata.
“Maunya kuterima, tapi aku harus sesuaikan jadwal dulu.”
Restoran mewah di bilangan Jakarta Selatan menjadi saksi kedekatan mereka bertiga. Waktu makan siang dihabiskan bersama. Saling berbagi pengalaman dan cerita. Albert, Chika, dan pria berkacamata itu sangat menikmati kebersamaan mereka.
Dua meja dari depan, seorang wanita anggun dengan setelan Chanel berwarna hitam mendelik marah. Tatapannya terhujam ke arah Albert dan Chika. Tangannya terkepal kuat menahan emosi.
“Sekarang kamu bisa tertawa, Chika. Nanti? Jangan harap! Albert akan jadi milikku lagi!” desisnya penuh dendam.
**
Terbiasa hidup di pedesaan dan dilatih menjadi wanita rumahan membuat Chika mahir mengerjakan tugas-tugas rumah. Menyapu, mengepel, memasak, menyiram bunga, dan mencuci pakaian. Semuanya ia lakukan sendiri. Mandiri dan sederhana, itulah pribadi Chika Annasya. Yang berhasil membuat CEO Bratawijaya Corp, fotografer, model, dan aktor setenar Albert terpesona.
Pagi ini Chika libur. Alhasil, ia punya waktu bebas. Gadis cantik berambut panjang itu berniat mengantarkan makanan buatannya ke kantor Albert. Selama ini Albert sudah begitu baik padanya. Banyak menolong dan memperhatikannya. Chika ingin membalas semua itu.
Tengah sibuk mengiris sayuran, terdengar ketukan di pintu depan. Lama-lama, ketukan itu menyerupai gedoran. Chika meletakkan pisaunya. Tergesa melangkah ke ruang tamu.
“Maaf, cari siapa ya?” kata Chika gugup.
Di ambang pintu, seorang pria muda setinggi 176 senti, berkulit putih, dan berwajah oriental berdiri tegap. Dia hanya satu senti lebih tinggi dari Albert. Gaya rambutnya, penampilan modisnya, sepatu dan jam tangan bermerk yang dipakainya, mengingatkan Chika pada style Albert.
“Kamu Chika, kan?” tanya pria itu dingin.
“Iya. Ada apa ya?” Chika balik bertanya. Entah, firasatnya mulai tak enak.
“To the point aja ya. Saya Oliver. Model, host, dan pemilik Little Cherry Cafe. Saya satu management sama Albert. Mulai sekarang, kamu harus jauhi Albert.”
Chika mengerutkan dahi. Menatap Oliver penuh tanda tanya.
“Kenapa saya harus menjauhi Albert?”
“Karena dia milik saya! Jangan ganggu hubungan kami!”
Mendengar itu, Chika terpaku di tempatnya. Tak mungkin. Albert yang dikenalnya tidak seperti itu. Ia yakin seratus persen, Albert pria normal, sehat, dan religius. Pria yang mendekati sempurna, idaman semua wanita.
“Nggak mungkin! Albert nggak mungkin...” Chika tergeragap, wajahnya memucat.
“Siapa bilang nggak mungkin? Kamu baru kenal Albert, saya udah lama banget kenal dia.” Bantah Oliver angkuh.
“Tapi, Albert pernah menikah. Pernah punya istri!” Chika tak kalah berargumen.
Oliver tertawa hambar. Argumen yang lemah menurutnya.
“Banyak pria seperti itu yang menikah hanya untuk kamuflase. Istri hanya dijadikan sebagai formalitas. Selama ini kamu tertipu, Chika. So, jauhi Albert.”
Dengan kata-kata itu, Oliver membalikkan tubuh. Berjalan memasuki Chevrolet-nya. Melajukannya dengan kecepatan tinggi. Sementara itu, Chika diliputi dilema.
**
Berperang batin dengan dua kemungkinan, Chika memutuskan keluar rumah. Berjalan-jalan mengikuti kemana kakinya membawanya. Hatinya hancur. Frustasi, sedih, kecewa, dan bertanya-tanya menjajah perasaannya.
Ya Allah, benarkah Albert seperti itu? Pria baik hati dan charming yang telah menolongnya keluar dari kesulitan. Penolong dan pelindungnya yang paling berharga. Seseorang yang selalu peduli dan selalu ada untuknya.
Perlahan benaknya meraba berbagai kemungkinan. Dilihat dari penampilannya, Albert memiliki image pria sukses, terpelajar, populer, dan memesona. Kemana-mana selalu membawa mobil pribadi. Tampil fashionable dengan berbagai pakaian, sepatu, dan arloji bermerk. Belahan rambutnya, bajunya, dan penampilannya selalu rapi. Wangi Calvin Klein menunjukkan bahwa parfum favoritnya mahal dan berkelas. Wajah Indo yang tampan dan bentuk tubuh yang bagus menyempurnakan sosoknya.
Itu belum apa-apa. Chika merasakan kebaikan dan kelembutan hatinya. Albert sangat mengerti perasaan wanita. Ia bahkan tidak bisa melihat wanita menangis.
Namun, Chika sadar. Pria dengan orientasi seksual yang abnormal alias penyuka sesama jenis justru terlihat sempurna. Mereka biasanya lebih lembut dan pengertian pada perasaan wanita dibandingkan pria hetero. Ada kecacatan psikologis yang terbalut penampilan perfect. Masya Allah...
Lalu soal menikah. Bukankah Albert pernah menikahi Nada Nicola, model dan aktris cantik itu? Sayangnya pernikahan mereka berakhir. Chika pun tak tahu alasan Albert dan Nada bercerai.
Bermacam spekulasi timbul di benaknya. Benarkah semua yang dikatakan Oliver? Ataukah ini hanya permainan Nada? Oliver hanyalah pria pelaku penyimpangan itu yang diperalat Nada untuk memuluskan rencananya. Entahlah, semua ini terlalu rumit.
Chika terus melangkah. Langit berselimut awan Cumolonimbus. Angin dingin bertiup kencang. Memburaikan rambutnya. Menerbangkan ikat rambut berwarna biru awan itu. Rambut Chika terurai lepas, sama seperti kebahagiaan yang lepas dari hatinya. Terganti kesedihan dan kekecewaan.
Bagaimana jika hal itu benar? Apakah Chika bisa memaafkan Albert dan tetap mencintainya? Jauh di dalam hati, Chika menyimpan cinta terdalamnya untuk Albert. Ia akan tetap mencintai pria Indo itu sekali pun perkataan Oliver benar. Ia siap mencintai Albert apa adanya. Meski tak bisa memiliki Albert.
**
Slide presentasi tentang saham, capital gain, dan capital loss lama-lama memusingkan. Belum lagi soal pembagian dividen. Albert menutup laptopnya. Ingin rileks sejenak.
Sebagai ganti, ia mengambil kameranya. Dalam kamera ini, tersimpan foto-foto kenangannya dengan Chika. Ia sadar, Chika begitu cantik. Bukan hanya fotogenik, ia pun menawan. Mengapa ia tak merekrut Chika sebagai model di management-nya?
“Itu foto calon menantu Papa? Cantik sekali ya...”
Suara bass itu menegurnya hangat. Albert tersentak kaget. Buru-buru menurunkan kameranya. Pria Kaukasia bermata biru dengan tinggi sekitar 180 senti mendekat. Dialah Jonathan, ayah kandung Albert.
“Papa?” gumamnya kaget.
Jonathan tertawa. “Kamu sudah shalat?”
“Sudah, Pa.”
“Well, how about Chika?”
Pertanyaan itu membangkitkan kerinduan Albert pada Chika. Baru kemarin mereka bertemu. Sekarang ia merindu lagi.
“Kapan kamu melamarnya, Albert? Tunggu apa lagi?”
“Pa, apa sudah waktunya?” Albert justru balik bertanya.
“Agama kita menganjurkan bagi mereka yang sudah siap lahir batin untuk menikah. Papa rasa, kamu sudah siap. Kamu bisa jadi suami yang sempurna untuk Chika. Sebaliknya, Chika sangat cocok menjadi istri kamu.”
Inilah yang dibutuhkannya. Peneguhan, motivasi, dan keyakinan. Bahwa ia siap menikahi Chika. Mengakhiri lembaran hitam masa lalunya. Menggantinya dengan lembaran baru yang bersih dan bahagia bersama Chika.
“Kamu sudah tidak trauma lagi, kan?” tanya Jonathan lembut.
Refleks Albert menarik laci mejanya. Mengeluarkan tablet-tablet obat. Sejak mengenal Chika, ia tidak memerlukan lagi semua obat itu. Ia kembali sehat dan bahagia. Semangat hidupnya bertambah, kesehatannya kembali.
Ya Allah, jika ini saatnya, maka ia akan melakukannya. Tak boleh lagi menyia-nyiakan waktu.
**
Mal hajima.....
Mal hajima, jal sinaera hajima
nan neo eom-neun dan harugo ilbun ichodo
sara-gal jashin eopseunikka
Ireojima choheun saram mannal kkeora hajidoma
nan sarangi museowo du beon tashin hal su eopseul keot gateunikka
Imi al-go isseo ni-ga ha-go shipeun mal
tteollineun ni iptu-ri haryeohaneun mal
du nuneul kama cha-ga-un du soneuro nae kwiireul ma-ga
neoreul butjaba (chae-gakchae-gag heu-lleo-ganeun shi-ganeul)
idaero meomchwodumyeon modu kwaehn-chanheul-kka
pabo gateun saengga-geun heo~ kwaehn-chanha
ireohke bakke hal su eom-neun nal al-janha
Ireohke andweh eotteohke bonae
mal han-madie eotteohke da byeonhae(jebal kajima)
Neo eom-neun haru eotteohke sara
beol-sseo keobina nan an gwaehn-chanha
ireohke bakke hal su eom-neun nal al-janha
Nabodado choheun sarammannara-go haengbokha-ge haejul sarammannara-go
ulmeokulmeong neoneun nae-ge ma-reul ha-go mo-gimeyeowah amumal motha-go
neoneun jakku ni ane nal mi-reonae keureol-surong naeane neon gadeu-khae
beol-sseo keobina nan an gwaehn-chanha
ireohke bakke hal su eom-neun nal al-janha
Jebal meomchwo dwiido-rabwah nae-ga it-janha (nareul do-rabwah nareul do-rabwah)
bonaejin mothae na ul-janha (neo eobshi sara-gal jashini eop-seo nan, jebal, jebal)
Keureojima jebal neoye dwiinmoseubeul boijima (neomu keobina neomu keobina)
meo-reojineun neol bomyeon nae ma-eumdo neol ttara-gal-ke ppeonhajanha. (FIX-Please Don’t Say).
Tolong jangan katakan itu.......
Tolong jangan katakan, jangan bilang aku akan baik-baik saja.
Tanpamu, aku tidak punya tenaga untuk hidup.
Meski 1 hari, 1 menit, 1 detik.
Jangan lakukan itu, jangan bilang bahwa aku akan bertemu orang yang lebih baik.
Karena aku takut akan cinta, aku tidak berpikir bahwa aku bisa melakukannya lagi.
Aku sudah tahu kata apa yang ingin kau ucapkan.
Kata-kata yang coba bibirmu sampaikan.
Aku menutup mataku dengan kedua tanganku yang beku, kututup telingaku.
Aku terus memegangimu, waktu terus berdetik.
Jika waktu ini berhenti, semua akan baik-baik saja.
Tak masalah punya pikiran bodoh.
Kau tahu aku tidak punya pilihan selain melakukan ini.
Kumohon jangan kau katakan, jangan katakan itu)
Jangan lakukan ini padaku, jangan lakukan)
Ini tidak bisa terjadi, bagaimana mungkin aku melepasmu pergi?
Bagaimana bisa semuanya berubah hanya karena satu kata?
(tolong jangan pergi)
Bagaimana aku bisa hidup sehari saja tanpamu?
Aku takut, aku tidak mungkin baik-baik saja.
Kau tahu aku tidak punya pilihan selain melakukan ini.
Kau memberitahuku untuk bertemu orang yang lebih baik, yang bisa membuatku tertawa.
Kau memberitahuku di ambang air mata, tenggorokanmu terkunci sehingga tak bisa berkata-kata lagi.
Kau terus memaksaku pergi, tapi semakin kau melakukannya semakin kau masuk dalam diriku.
Aku takut, aku tidak mungkin baik-baik saja.
Kau tahu aku tidak punya pilihan selain melakukan ini.
Jangan lakukan ini, jangan pernah katakan kata-kata itu).
Jangan pergi, jangan tinggalkan aku.
(kumohon, kumohon).
Berhentilah dan lihat ke belakang, aku ada disini.
(Lihatlah aku, lihatlah aku).
Aku takkan bisa melepasmu pergi, aku menangis.
(Aku tidak punya tenaga untuk hidup tanpamu, kumohon, kumohon)
Jangan lakukan ini, jangan membelakangiku.
(Aku sangat takut, aku sangat takut)
Jika aku tahu kau semakin menjauh, sudah jelas hatiku akan mengikutimu
Jangan lakukan itu
**
Sepulang kantor, Albert merealisasikan niatnya. Sepasang cincin emas bertatahkan berlian dibelinya. Di dalam Mercy-nya, ia terus berdoa. Memohon ridha Allah atas rencananya melamar Chika.
Betapa herannya Albert mendapati rumah Chika kosong. Pintu tak terkunci. Bukankah hari ini Chika libur? Dicobanya berpikir positif. Mungkin Chika pergi sebentar untuk suatu keperluan. Dihempaskannya tubuh di sofa ruang tamu, menunggu.
Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Empat jam. Lima jam. Belum nampak tanda-tanda kepulangan Chika. Albert terus menunggu dengan sabar. Tak pernah jemu atau marah. Ia yakin Chika akan pulang.
Desis hujan dan gelegar petir membuatnya cemas. Albert takut Chika kenapa-napa. Tak hentinya ia berdoa. Berharap Allah selalu melindungi gadis yang dicintainya, permata hatinya, dimana pun ia berada.
Hujan semakin deras. Waktu menunjukkan tepat pukul sembilan malam. Albert tetap di tempatnya. Menghubungi ponsel Chika sia-sia saja. Hanya jawaban operator yang didengarnya.
Tekad mulai terbentuk. Jika sampai pukul sepuluh Chika tak muncul, ia akan mencarinya. Benaknya lagi-lagi dirasuki kekhawatiran. Apa telah terjadi sesuatu yang buruk?
“Ya Allah...lindungilah Chika. Jauhkan dia dari segala bahaya. Jagalah dia dari semua yang ingin berbuat jahat padanya.” Albert terus berdoa. Menetralisir kecemasannya.
Pukul sembilan lewat empat puluh. Sembilan lima puluh. Sembilan lewat lima puluh sembilan. Pukul sepuluh tepat. Baiklah, ia harus mencari Chika.
Setengah bangkit dari sofa dengan kunci mobil di tangan, terdengar derit pintu pagar. Chika tiba di rumah. Seluruh pakaiannya basah. Begitu juga rambutnya. Wajahnya pucat pasi. Tubuhnya gemetar kedinginan, bibirnya membiru.
“Chika!” seru Albert lega. Berlari menghampiri gadis itu. Bersiap memeluknya.
Akan tetapi, Chika mundur jauh-jauh. Menatap Albert tanpa kedip. Albert terpana, belum pernah Chika menatapnya seperti itu.
“Ada apa, Chika?” tanyanya.
Suara barithon itu, sepasang mata teduh itu, Chika tak tahan. Ia tak bisa menyakiti Albert. Apa lagi membencinya. Namun ia harus melakukannya.
“Albert, mulai sekarang jauhi aku. Jangan ganggu aku lagi.” Desisnya, suaranya bergetar hebat.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Albert tahu, ada sesuatu yang tidak beres. Ini bukan Chika. Chika yang cantik dan berhati lembut tidak akan berkata sekeras ini.
“Chika, kamu kenapa? Cerita sama aku...” bujuk Albert.
Mengusap matanya, Chika berkata. “Semoga kamu bahagia dengan orang lain. Kamu pasti menemukan penggantiku. Kamu akan baik-baik saja tanpaku.”
Sungguh, Albert teramat sedih dan bingung. Mengapa Chika bersikap seperti ini? Tidak, ia tak mungkin mencari pengganti Chika. Chika, dengan segala ketulusannya, memberi warna baru dalam hidupnya. Mengisi kehampaan jiwanya.
“Jangan katakan itu, Chika. Aku tidak akan baik-baik saja tanpamu. Kamu tidak akan terganti.”
Kristal bening terjatuh dari pelupuk mata Chika. Sebenarnya ia tak tega mengatakan itu semua pada Albert. Namun ia tak punya pilihan lain.
“Tidak, kamu harus pergi dari hidupku. Carilah penggantiku. Teruskan hidupmu tanpaku.”
Sedetik kemudian, Albert meraih lembut pergelangan tangan Chika. Menatap matanya dalam-dalam. Inilah yang melemahkan pertahanan hati Chika.
“Chika, lihat aku. Katakan apa yang sebenarnya terjadi. Kamu bisa ceritakan semuanya. Katakan sesuatu, Chika. Apa saja...asalkan jangan memintaku meninggalkanmu.”
Akhirnya, ia luluh. Ia tak kuasa lari dan ingkar di bawah tatapan mata itu. Chika menghela napas, lalu berujar.
“Tadi pagi Oliver datang...”
Mengalirlah cerita itu. Albert terperangah mendengarnya. Dugaannya benar. Pasti telah terjadi sesuatu. Perasaannya tak menentu. Antara sedih, marah, shock, dan tak percaya. Genggamannya di pergelangan tangan Chika semakin erat.
“Chika, semua itu tidak benar. Sekarang aku tanya. Kamu percaya aku atau Oliver?”
Hening sesaat. Sesungguhnya Chika tak perlu ragu mengenai siapa yang harus dipercayainya.
“Aku percaya kamu, Albert.”
“Okey. Kujelaskan satu hal. Kasus pria yang menyukai sesama jenis memang banyak di dunia modeling dan entertainment. Mereka berhasil menutupinya dengan baik. Mereka punya pacar atau istri hanya untuk formalitas. Tapi aku tidak seperti mereka, Chika. Allah membenci dan melarang itu. Beberapa tahun lalu, Oliver menyatakan cintanya padaku. Tapi aku menolaknya. Kujelaskan kalau aku punya prinsip yang berbeda dengannya. Akhirnya dia paham, lalu kami tetap berteman sampai sekarang. Banyak orang yang mengiraku seperti mereka, terlebih saat melihat penampilan dan sikapku. Tapi aku bukan mereka, Chika. Dan aku tidak akan berbuat dosa seperti itu. Kamu percaya, kan?”
Kata demi kata meresap tepat ke hati Chika. Ya, ia percaya. Hatinya mulai terbuka. Ia mulai menerima penjelasan Albert dan mempercayainya.
“Alasanku bercerai dari Nada bukan karena aku menyukai sesama jenis, Chika. Ada alasan lain. Aku salah menikah. Nada tidak tulus mencintaiku. Saat aku yakin dia sungguh-sungguh mencintaiku, ternyata aku tahu alasan sebenarnya menikah denganku hanyalah ingin mendapatkan semua harta Papa. Dia hanya menginginkan kekayaan keluargaku. Aku menceraikannya, lalu tidak percaya lagi pada cinta. Sejak kamu datang dalam kehidupanku, semuanya berubah. Aku menemukan kembali kepercayaanku pada cinta. Kamu buka mata hatiku, Chika.”
Bulir bening membasahi pipi Chika. Kali ini bukan air mata kesedihan, melainkan kebahagiaan. Dalam gerakan slow motion ia mempersempit jarak di antara dirinya dan Albert. Pria beraksen British itu paham. Ia merentangkan lengan, meraih tubuh Chika ke pelukannya.
Waktu seolah berhenti. Segalanya telah selesai. Kesalahpahaman itu diluruskan. Kini, tak ada lagi keraguan di hati. Tergantikan oleh kepercayaan dan rasa cinta yang sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H