Maurin, Nada, Andini, dan Albert Fast berpandangan. Ketiganya memikirkan hal yang sama. Hidup seimbang, kebahagiaan, konsep Islam yang sempurna. Begitulah idealnya sebuah agama. Mengajarkan kebahagiaan bagi pemeluknya, baik kebahagiaan dunia maupun akhirat.
“Bagaimana cintamu dengan biarawan itu?” Nada berbisik. Memegang lembut tangan Maurin.
“Hmm...begitulah.” sahut Maurin tanpa menatap Nada.
“Sabar ya?” Albert Fast berkata penuh simpati.
“Kalau aku jadi kamu, mungkin aku takkan sekuat itu.” Andini menimpali.
“Tapi kamu hebat. Oh ya, dia sudah berkaul belum? Kaul sementara atau kaul kekal?”
Pertanyaan Andini membuat Maurin terusik. Kaul sementara atau kaul kekal? Gara-gara ia terjebak cinta dengan biarawan Katolik, kawan-kawannya jadi rajin mempelajari ajaran agama Katolik. Mengeksplor lebih dalam tentang agama itu demi solidaritas.
“Aku tidak berani tanya soal itu,” desah gadis bermata biru itu.
“Tanyalah dia, okey?” bujuk Albert Fast.
Usai acara, ternyata Albert Arif telah menjemputnya. Tentu saja Maurin menyambut hangat kehadiran pemuda itu.
“Hai...” sapanya.