“Sudah, Ayah.” Jawab Albert Fast yakin, meletakkan teks partitur ke bangku belakang mobil. Ia sudah tak memerlukannya lagi.
Tiba di sekolah, Tuan Jonathan mengantarnya sampai ke depan kelas. Seperti biasa Albert Fast memprotes. Menganggap ayahnya terlalu protektif. Teman-teman sekelas menatapnya, geli bercampur senang. Tuan Jonathan cukup populer di sekolah itu. Lantaran keaktifannya di jajaran Komite Sekolah dan kekhasan interaksinya dengan anak tunggalnya.
“Ayah kamu care ya...” komentar Andini sambil tersenyum.
“Iya. Ayah memang gitu.” Albert Fast menanggapi.
“Bagus dong. Oh ya, kira-kira minggu besok ayah kamu bakalan kirim salam dan request cerita lagi nggak ya, di radioku?” timpal Maurin.
Albert Fast tersenyum simpul. “Kayaknya, dia kan suka dengerin acara kamu. Aku dan Andini juga kok.”
“Betul, Maurin. Nanti kalo aku udah di Singapura, aku tetap dengerin kamu siaran.”
Lagi-lagi Andini menyebut Singapura. Albert Fast menggigit bibirnya kuat. Ia belum siap berpisah dengan Andini Fatwa.
Usai kegiatan belajar dan ekstrakurikuler, pesta ulang tahun dan perpisahan Andini dilaksanakan. Para guru dan teman-teman berkumpul. Memberi kata-kata terakhir untuk Andini. Tak lupa menyerahkan kado. Andini tersenyum tipis, sesekali mengusap matanya. Ia pun tak siap berpisah dengan semua guru dan teman sekolahnya.
Tibalah giliran penampilan Albert Fast dan tim vocal group-nya. Pemuda kecil delapan tahun itu duduk di balik piano, memainkan intro dengan sedih. Di kanan-kirinya, Maurin, Nada, Rizal, Tiwi, dan si kembar Aldo-Aldi menyanyi.
Berjanjilah wahai sahabatku