Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelangi Cinta

28 Desember 2016   08:01 Diperbarui: 28 Desember 2016   08:39 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Morning, Ayah...Bunda.”

Anak kecil delapan tahun itu tersenyum ceria. Menghampiri meja makan, lalu duduk di antara Ayah-Bundanya.

Tuan Jonathan dan Nyonya Chantika balas tersenyum. Menatapi anak semata wayang mereka yang telah berpakaian rapi. Nyonya Chantika mengoleskan selai pada roti, lalu mengulurkannya pada anak lelaki berwajah tampan itu.

“Ini rotinya, Sayang. Dengan selai strawberry kesukaan kamu.” Ujar Nyonya Chantika.

“Thank you, Bunda. Albert sayang Bunda.”

“Sama Ayah nggak sayang juga, nih?”

“Sayang kok...”

Albert Fast, nama anak laki-laki itu. Murid Al Irsyad Satya Islamic School. Dalam usianya yang kedelapan, ia telah menjadi anak yang berprestasi. Peraih juara umum tiap tahun ajaran, memenangkan berbagai olimpiade, dan pandai bermain piano. Hafalan Qur’annya juga mengalami perkembangan pesat. Lima belas juz telah ia hafalkan.

Mengapa Albert Fast bisa menjadi anak yang pintar dan berkepribadian baik? Semua ini tak luput dari atensi dan pola asuh kedua orang tuanya. Tuan Jonathan dan Nyonya Chantika berhasil menumbuhkan anak mereka sesuai dengan ekspektasi mereka semula. Figur anak laki-laki yang tangguh, multitalenta, percaya diri, punya jiwa sosial tinggi, dan brilian. Albert Fast dikenal paling ringan dalam soal membantu teman-temannya. Entah itu mengajari mata pelajaran, atau membantu hal lain di luar pelajaran.

“Ayah, Albert boleh nggak berangkat lebih awal? Pagi ini Albert mau latihan buat acara nanti siang.” Pinta Albert Fast.

“Boleh, Sayang. Siang ini acara ulang tahun dan perpisahannya Andini, ya?”

“Iya, Ayah.”

Seketika, wajah Albert Fast berubah sedih. Andini adalah sahabatnya. Gadis amat cantik berkulit putih dengan lesung pipi dan sepasang mata sipit. Sebentar lagi Andini akan pergi ke Singapura bersama orang tuanya. Kemungkinan besar ia takkan bertemu Andini selama bertahun-tahun.

Setelah menghabiskan sarapan mereka, Albert Fast dan Tuan Jonathan bangkit. Tuan Jonathan mengecup pipi Nyonya Chantika. Albert Fast mencium tangan wanita berdarah Sunda-Inggris itu.

“Jangan nakal ya, Sayang.” Nyonya Chantika berpesan pada Albert Fast.

“Bunda, kapan sih Albert pernah nakal di sekolah?” kilahnya.

Nyonya Chantika tertawa. “Dan kamu Jonathan, jangan ngebut. Pelan-pelan nyetirnya,”

“Beres, Istriku. Jam berapa kamu berangkat ke rumah sakit?” tanya Tuan Jonathan.

“Jadwal praktikku jam sepuluh. Tapi sebentar lagi aku berangkat kok. Ada beberapa pasien yang minta konsultasi pribadi.”

Terus terang, Albert Fast kagum pada kedua orang tuanya. Seorang pengusaha tampan keturunan Indo-Jerman menikahi dokter spesialis Hematologi. Limpahan kasih sayang dan materi membuat keluarga kecil itu bahagia. Itulah sebabnya Albert Fast tak pernah kekurangan apa pun dalam hidupnya.

Sedan putih itu melaju meninggalkan kompleks perumahan. Melaju di sepanjang jalan raya. Menembus pagi berkabut menuju exit Tol Cileunyi. Jarak rumah ke sekolah memang jauh. Rumah mereka terletak di bagian timur Bandung, sedangkan sekolah terletak di bagian barat kota. Nanti mereka akan keluar di exit Tol Padalarang.

“Albert sudah hafal lagu buat perform nanti?” Tuan Jonathan menanyainya di tengah perjalanan.

“Sudah, Ayah.” Jawab Albert Fast yakin, meletakkan teks partitur ke bangku belakang mobil. Ia sudah tak memerlukannya lagi.

Tiba di sekolah, Tuan Jonathan mengantarnya sampai ke depan kelas. Seperti biasa Albert Fast memprotes. Menganggap ayahnya terlalu protektif. Teman-teman sekelas menatapnya, geli bercampur senang. Tuan Jonathan cukup populer di sekolah itu. Lantaran keaktifannya di jajaran Komite Sekolah dan kekhasan interaksinya dengan anak tunggalnya.

“Ayah kamu care ya...” komentar Andini sambil tersenyum.

“Iya. Ayah memang gitu.” Albert Fast menanggapi.

“Bagus dong. Oh ya, kira-kira minggu besok ayah kamu bakalan kirim salam dan request cerita lagi nggak ya, di radioku?” timpal Maurin.

Albert Fast tersenyum simpul. “Kayaknya, dia kan suka dengerin acara kamu. Aku dan Andini juga kok.”

“Betul, Maurin. Nanti kalo aku udah di Singapura, aku tetap dengerin kamu siaran.”

Lagi-lagi Andini menyebut Singapura. Albert Fast menggigit bibirnya kuat. Ia belum siap berpisah dengan Andini Fatwa.

Usai kegiatan belajar dan ekstrakurikuler, pesta ulang tahun dan perpisahan Andini dilaksanakan. Para guru dan teman-teman berkumpul. Memberi kata-kata terakhir untuk Andini. Tak lupa menyerahkan kado. Andini tersenyum tipis, sesekali mengusap matanya. Ia pun tak siap berpisah dengan semua guru dan teman sekolahnya.

Tibalah giliran penampilan Albert Fast dan tim vocal group-nya. Pemuda kecil delapan tahun itu duduk di balik piano, memainkan intro dengan sedih. Di kanan-kirinya, Maurin, Nada, Rizal, Tiwi, dan si kembar Aldo-Aldi menyanyi.

Berjanjilah wahai sahabatku

Bila kautinggalkan aku

Tetaplah tersenyum

Meski hati sedih dan menangis

Kuingin kau tetap tabah menghadapinya

Bila kau harus pergi meninggalkan diriku

Jangan lupakan aku

Semoga dirimu di sana

Kan baik-baik saja untuk selamanya

Di sini aku kan selalu

Rindukan dirimu, wahai sahabatku... (Mario Stefano a.k.a Rio Idola Cilik 3-Rindukan Dirimu).

Sekilas Albert Fast melirik Andini. Gadis kecil itu meneteskan air mata. Bersamaan dengan jatuhnya air mata Andini, hujan di luar mereda. Lapisan awan Cumolonimbus tersingkap, digantikan oleh sebentuk lingkaran memesona yang terangkai dari tujuh warna: pelangi.

**     

Ratusan kilometer dari Kota Bandung yang gemah ripah itu, di sebuah kampung kecil di ujung kota apel itu, fragmen pagi tercipta. Hanya saja, keadaannya amat kontras.

“Sudah! Bapak tidak ada waktu! Kamu berangkat sendiri saja!” hardik seorang pria bertubuh kurus. Wajahnya menampakkan amarah.

“Tapi aku ingin sesekali diantar ke sekolah, Pak. Si Prasetyo tiap hari diantar bapaknya naik sepeda.” Anak lelaki itu terus memohon. Sebenarnya ia cukup tampan. Namun sangat disayangkan, ia jarang sekali tersenyum. Wajahnya beku tanpa ekspresi. Lebih sering wajah itu dihiasi kesedihan.

“Kamu kan tahu!  Bapak harus kerja! Kamu mau makan dari mana kalau Bapak tidak kerja di tempat itu?! Sudah, Bapak pergi dulu! Sebelum berangkat sekolah, cuci piring-piringnya!”

Sejurus kemudian, pria itu meninggalkan anak lelakinya. Membanting pintu. Si anak laki-laki menunduk, kecewa dan sedih.

Albert Arif nama anak lelaki itu. Albert dari kata Albertus, nama Baptis pemberian Romo. Sosok anak laki-laki yang introvert, namun baik hati dan rajin pergi ke gereja. Hidup tanpa ibu menjadi pukulan berat baginya. Biar bagaimana pun, ibu adalah cinta pertama nak laki-laki. Di saat anak lain bermanja-manja dengan ibunya, ia tak pernah merasakan itu. Tiap kali ke gereja dan saat Misa, ia selalu berdoa agar ibunya kembali.

Selesai mengerjakan tugas-tugas rumah yang dilimpahkan bapaknya, ia bergegas pergi. Tak ingin terlambat ke sekolah. Langkahnya dipercepat. Ia harus segera sampai.

Dan karena dirimu

Kunanti ku mencari

Berharap kau mengembalikan hatiku

Apa yang terjadi

Pada cinta suci ini

Setelah sekian lama kuyakini

Mengapa kau pergi

Berjanji takkan kembali

Kauhancurkan hati ini... (Terryana Fatiah-Kepingan Hati).

Dari radio tua di rumah salah satu tetangganya yang ia lewati, lagu itu mengalun sedih. Menembus tepat ke relung hati. Albert Arif terpaku. Sekali lagi ia teringat Ibu.

Mengapa Ibu harus pergi? Apakah Ibu sudah tidak mencintai Bapak lagi? Tegakah Ibu membiarkannya hidup hanya bersama Bapak, setiap hari mendengar hinaan dari teman-temannya jika ia tak punya ibu? Ibu, cinta pertamanya, wanita yang hanya ada dalam doa dan refleksi semunya, pergi dan tak kembali.

Ibu pergi. Kehampaan pun membayangi. Bukan hanya Bapak yang kehilangan, Albert Arif merasakan hal serupa. Pelangi hidupnya seolah berubah menjadi monokrom. Tak ada lagi atmosfer kebahagiaan dalam keluarga kecil itu.

Tiba-tiba kepalanya terasa sakit. Darah segar mengaliri hidungnya. Mengapa sakit itu lagi? Albert Arif belajar menyimpan rasa sakitnya sendiri. Mengeluh pada Bapak pun sia-sia. Bapak tidak akan peduli. Lagi pula mereka tak punya cukup uang untuk pergi ke rumah sakit. Seorang anak sakit parah, dan ia menyembunyikannya dari siapa pun. Ironis sekali, bukan?

**    

11 years later

I was so far from you

Yet to me you are always so close

I wander lost in the dark

I close my eyes

Toward the signs

You put in my way

I walked everyday

Further andfurther away from you

ooh Allah, you brought me home

I thank you with every breath I take

Alhamdulillah Alhamdulillah

All praises to Allah All praises to Allah

Alhamdulillah Alhamdulillah

All praises to Allah All praises to Allah (Maher Zain-Thank You Allah).

Applause memenuhi ruangan oval. Reuni alumni berlangsung meriah. Maurin, Nada, Rizal, Tiwi, Aldo-Aldi, dan Albert Fast turun dari stage. Disambuti applause yang makin meriah.

“Keren, keren. Mantan Ketua OSIS, ketua ekskul, dan sekretaris OSIS pada duet. Gimana nggak kece tuh?” Chika Annasya, sebagai master of ceremony, mengomentari.

Anak-anak yang disebut itu saling tatap. Bertukar senyum.

Acara dilanjutkan dengan talkshow inspiratif. Temanya langsung saja membuat mereka jatuh hati. Keseimbangan Hidup: Mencintai Dunia dan Mencintai Akhirat.

“Islam itu mengajarkan umatnya hidup seimbang. Sudah termaktub dalam Surah Al Qashash ayat 77.”

Semua audience hafal ayat itu dan kandungannya. Bahwa Allah tidak menyukai orang yang terlalu cinta dunia, namun tidak menyukai pula orang yang terlalu fokus mengejar masalah ukhrawi. Dunia yes, akhirat yes. Islam pun mengajak umatnya untuk meraih kebahagiaan dunia-akhirat. Bekerja, berkarier, berprestasi, mencari kekayaan, namun ibadah dan relasi dengan Sang Pencipta tidak boleh dilupakan. Konsep yang indah sekali menurut mereka.

“Kita lihat Nabi Muhammad SAW. Al-amin, teladan kita semua. Lelaki paling sempurna akhlaknya di dunia ini. Nabi Muhammad SAW adalah pebisnis yang sukses dan kaya. Dia berbisnis dengan jujur, tanpa riba, dan profesional. Tapi dia juga seorang Rasul. Kekayaan yes, spiritual yes. Karier yes, agama yes. Seksualitas yes, spiritualitas yes.”

Maurin, Nada, Andini, dan Albert Fast berpandangan. Ketiganya memikirkan hal yang sama. Hidup seimbang, kebahagiaan, konsep Islam yang sempurna. Begitulah idealnya sebuah agama. Mengajarkan kebahagiaan bagi pemeluknya, baik kebahagiaan dunia maupun akhirat.

“Bagaimana cintamu dengan biarawan itu?” Nada berbisik. Memegang lembut tangan Maurin.

“Hmm...begitulah.” sahut Maurin tanpa menatap Nada.

“Sabar ya?” Albert Fast berkata penuh simpati.

“Kalau aku jadi kamu, mungkin aku takkan sekuat itu.” Andini menimpali.

“Tapi kamu hebat. Oh ya, dia sudah berkaul belum? Kaul sementara atau kaul kekal?”

Pertanyaan Andini membuat Maurin terusik. Kaul sementara atau kaul kekal? Gara-gara ia terjebak cinta dengan biarawan Katolik, kawan-kawannya jadi rajin mempelajari ajaran agama Katolik. Mengeksplor lebih dalam tentang agama itu demi solidaritas.

“Aku tidak berani tanya soal itu,” desah gadis bermata biru itu.

“Tanyalah dia, okey?” bujuk Albert Fast.

Usai acara, ternyata Albert Arif telah menjemputnya. Tentu saja Maurin menyambut hangat kehadiran pemuda itu.

“Hai...” sapanya.

“Kamu sudah terima kadoku?” tanya Maurin penasaran.

“Sudah, aku suka kadonya. Isinya...wow, cangkir yang cantik. Terima kasih ya. Seharusnya kamu tak usah melakukan itu. Soalnya aku tidak memberimu kado waktu itu.”

“Sudahlah, tak masalah. Aku mengerti kondisimu yang tidak bisa memberiku kado waktu itu.”

Banyak yang berubah. Banyak yang terjadi sejak mereka dekat. Kini hidup Albert Arif kembali berhias pelangi. Ada warna-warna baru yang ditambahkan si gadis bermata biru dalam setiap harinya. Kini, ia tak perlu lagi menyembunyikan rasa sakitnya sendirian. Ada gadis itu yang memberikan dirinya sebagai miliknya.

“Aku sibuk sekali bertugas di Gereja Katedral dan membuat kandang Natal di Seminari,” ungkapnya tanpa ragu.

Maurin tersenyum. Sesekali menggigit bibirnya. Bersusah payah menutupi raut kecewanya. Begitulah pria. Di saat sibuk, selalu saja melupakan wanita yang benar-benar peduli padanya. Baru sekarang ia kembali. Apakah wanita tidak penting dalam hidupnya? No woman no cry? Abraham Maslow pernah mengatakan, cinta adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan akan cinta terpisah dari kebutuhan seksual dan fisiologis. Mungkin saja sosok sedingin Albert Arif tak butuh cinta. Sampai-sampai ia melupakan wanitanya dan mengabaikan wanitanya dalam waktu lama. Bukan hanya itu, ia pun tidak mengerti perasaan wanitanya. Terus terang ia merindukan Albert Arif yang dulu. Ia rindu panggilan khusus itu, rindu caranya memperlakukan dirinya, dan banyak lagi. Apakah karena ia pernah hidup tanpa ibu? Mungkin saja.

“Kamu tidak telepon keluargamu?” tanya Maurin perlahan.

“Nanti...mereka mungkin akan bertanya. Kenapa telepon? Sudah tidak betah di biara?” balas Albert Arif datar.

“Jangan begitu, Albert. Mereka pasti merindukanmu. Bagaimana kabar ayahmu? Dan sepupu-sepupumu?”

“Aku tidak tahu.”

“Nah itu...perkembangan keluargamu saja kamu tidak tahu. Astaga...hidup sebagai calon imam membuatmu jauh dari keluarga. Tidakkah kamu kasihan pada mereka? Tidakkah kamu peduli pada mereka? Buka mata hatimu. Jangan idealis. Jangan hanya terpaku pada spiritualitas, karena tidak semua hal di dunia ini bisa diselesaikan dengan spiritualitas. Hidup harus seimbang.”

Albert Arif terdiam. Belum sempat ia menanggapi, terdengar langkah tergesa. Diikuti seruan tertahan. Rupanya Albert Fast. Ia terburu-buru melewati teras gedung, wajahnya pias. Maurin menahannya.

“Kenapa?”

“Ayah...Ayah sakaratul maut,” desisnya.

“Masya Allah!”

Segera saja Maurin menarik tangan Albert Arif. Mengajaknya mengikuti para sahabat ke rumah sakit. Sudah beberapa hari ini Tuan Jonathan koma. Penyebabnya karena terjadi pembengkakan di pembuluh darah otaknya. Dikhawatirkan, pembuluh darah itu akan pecah. Jika itu terjadi, nyawa Tuan Jonathan bisa terancam. Tuan Jonathan secara mendadak jatuh tak sadarkan diri saat bermain golf dengan teman-temannya.

Di rumah sakit, keluarga besar telah berkumpul. Albert Fast berlari menghampiri sang ayah. Mencium tangannya. Membasahi tangan rapuh dan dingin itu dengan air matanya. Andini berdiri di sisinya, ikut menangis.

“Ikhlaskan dia...Bunda mohon.” Nyonya Chantika terisak. Menyentuh lengan putra tunggalnya.

Albert Fast mengangguk. Lembut membimbing ayahnya mengucap dua kalimat syahadat. Syukurlah Tuan Jonathan dapat mengikuti dengan baik. Beliau meninggal dengan tenang.

“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un...”

Albert Fast menangis. Namun di saat bersamaan ia membacakan Surah Yasin untuk ayah tercintanya.

Di belakangnya, Maurin menggenggam tangan Albert Arif. Andai saja Albert Arif seekspresif Albert Fast, tentu situasinya akan lebih mudah. Ia justru suka bila Albert Arif mampu mengekspresikan perasaannya. Dibandingkan ia diam saja, hal itu jauh lebih sulit.

“Kamu lihat Albert Fast, kan? Dia sangat menyayangi ayahnya, dia tak mau kehilangan detik-detik terakhir bersama ayahnya. Tidakkah terpikir olehmu untuk lebih memperhatikan keluarga dan orang-orang yang tulus mencintaimu?”

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun