Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelangi Cinta

28 Desember 2016   08:01 Diperbarui: 28 Desember 2016   08:39 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Albert Arif terdiam. Belum sempat ia menanggapi, terdengar langkah tergesa. Diikuti seruan tertahan. Rupanya Albert Fast. Ia terburu-buru melewati teras gedung, wajahnya pias. Maurin menahannya.

“Kenapa?”

“Ayah...Ayah sakaratul maut,” desisnya.

“Masya Allah!”

Segera saja Maurin menarik tangan Albert Arif. Mengajaknya mengikuti para sahabat ke rumah sakit. Sudah beberapa hari ini Tuan Jonathan koma. Penyebabnya karena terjadi pembengkakan di pembuluh darah otaknya. Dikhawatirkan, pembuluh darah itu akan pecah. Jika itu terjadi, nyawa Tuan Jonathan bisa terancam. Tuan Jonathan secara mendadak jatuh tak sadarkan diri saat bermain golf dengan teman-temannya.

Di rumah sakit, keluarga besar telah berkumpul. Albert Fast berlari menghampiri sang ayah. Mencium tangannya. Membasahi tangan rapuh dan dingin itu dengan air matanya. Andini berdiri di sisinya, ikut menangis.

“Ikhlaskan dia...Bunda mohon.” Nyonya Chantika terisak. Menyentuh lengan putra tunggalnya.

Albert Fast mengangguk. Lembut membimbing ayahnya mengucap dua kalimat syahadat. Syukurlah Tuan Jonathan dapat mengikuti dengan baik. Beliau meninggal dengan tenang.

“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un...”

Albert Fast menangis. Namun di saat bersamaan ia membacakan Surah Yasin untuk ayah tercintanya.

Di belakangnya, Maurin menggenggam tangan Albert Arif. Andai saja Albert Arif seekspresif Albert Fast, tentu situasinya akan lebih mudah. Ia justru suka bila Albert Arif mampu mengekspresikan perasaannya. Dibandingkan ia diam saja, hal itu jauh lebih sulit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun