Albert Arif terdiam. Belum sempat ia menanggapi, terdengar langkah tergesa. Diikuti seruan tertahan. Rupanya Albert Fast. Ia terburu-buru melewati teras gedung, wajahnya pias. Maurin menahannya.
“Kenapa?”
“Ayah...Ayah sakaratul maut,” desisnya.
“Masya Allah!”
Segera saja Maurin menarik tangan Albert Arif. Mengajaknya mengikuti para sahabat ke rumah sakit. Sudah beberapa hari ini Tuan Jonathan koma. Penyebabnya karena terjadi pembengkakan di pembuluh darah otaknya. Dikhawatirkan, pembuluh darah itu akan pecah. Jika itu terjadi, nyawa Tuan Jonathan bisa terancam. Tuan Jonathan secara mendadak jatuh tak sadarkan diri saat bermain golf dengan teman-temannya.
Di rumah sakit, keluarga besar telah berkumpul. Albert Fast berlari menghampiri sang ayah. Mencium tangannya. Membasahi tangan rapuh dan dingin itu dengan air matanya. Andini berdiri di sisinya, ikut menangis.
“Ikhlaskan dia...Bunda mohon.” Nyonya Chantika terisak. Menyentuh lengan putra tunggalnya.
Albert Fast mengangguk. Lembut membimbing ayahnya mengucap dua kalimat syahadat. Syukurlah Tuan Jonathan dapat mengikuti dengan baik. Beliau meninggal dengan tenang.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un...”
Albert Fast menangis. Namun di saat bersamaan ia membacakan Surah Yasin untuk ayah tercintanya.
Di belakangnya, Maurin menggenggam tangan Albert Arif. Andai saja Albert Arif seekspresif Albert Fast, tentu situasinya akan lebih mudah. Ia justru suka bila Albert Arif mampu mengekspresikan perasaannya. Dibandingkan ia diam saja, hal itu jauh lebih sulit.