“Iya, Ayah.”
Seketika, wajah Albert Fast berubah sedih. Andini adalah sahabatnya. Gadis amat cantik berkulit putih dengan lesung pipi dan sepasang mata sipit. Sebentar lagi Andini akan pergi ke Singapura bersama orang tuanya. Kemungkinan besar ia takkan bertemu Andini selama bertahun-tahun.
Setelah menghabiskan sarapan mereka, Albert Fast dan Tuan Jonathan bangkit. Tuan Jonathan mengecup pipi Nyonya Chantika. Albert Fast mencium tangan wanita berdarah Sunda-Inggris itu.
“Jangan nakal ya, Sayang.” Nyonya Chantika berpesan pada Albert Fast.
“Bunda, kapan sih Albert pernah nakal di sekolah?” kilahnya.
Nyonya Chantika tertawa. “Dan kamu Jonathan, jangan ngebut. Pelan-pelan nyetirnya,”
“Beres, Istriku. Jam berapa kamu berangkat ke rumah sakit?” tanya Tuan Jonathan.
“Jadwal praktikku jam sepuluh. Tapi sebentar lagi aku berangkat kok. Ada beberapa pasien yang minta konsultasi pribadi.”
Terus terang, Albert Fast kagum pada kedua orang tuanya. Seorang pengusaha tampan keturunan Indo-Jerman menikahi dokter spesialis Hematologi. Limpahan kasih sayang dan materi membuat keluarga kecil itu bahagia. Itulah sebabnya Albert Fast tak pernah kekurangan apa pun dalam hidupnya.
Sedan putih itu melaju meninggalkan kompleks perumahan. Melaju di sepanjang jalan raya. Menembus pagi berkabut menuju exit Tol Cileunyi. Jarak rumah ke sekolah memang jauh. Rumah mereka terletak di bagian timur Bandung, sedangkan sekolah terletak di bagian barat kota. Nanti mereka akan keluar di exit Tol Padalarang.
“Albert sudah hafal lagu buat perform nanti?” Tuan Jonathan menanyainya di tengah perjalanan.