Setelah kalimat penyesalan disinalah dimulai rasa takutku memuncak. Puncak dari permasalahan selama ini. Puncak dimana aku bisa mengenal jauh dirinya. Puncak seorang wanita dalam meraih filosofi feminisme sejati. Meminta ID Line kepada seorang wanita.
Butuh latihan yang cukup dalam untuk seorang wanita meminta ID Line seorang pria dan rasa malu tersebut berpuncak setelah kejadian yang ada. Untuk tugas mulia ini aku memutuskan urat malu dan masuk golongan feminisme sejati. Aku pun bertanya dengan perasaan malu, "Tolong, bisakah kau memberi tahuku ID Line mu?"
Asra terkejut bukan main setelah mendengar hal ini. Boleh jadi, ini adalah hal pertama Asra mendengar ada seorang wanita yang meminta ID Line kepada seorang pria. Kemudian dia hanya bisa berucap, "Heeee!"
"Akulah yang membuat grup Line untuk kelompok perlengkapan dan hanya dirimu saja yang belum terdaftar di ponselku," ucapku sambil menahan rasa malu dengan wajah yang cukup merah.
"Oh, ho." Ucapnya.
"Uhm," ucapku sambil mengangguk.
"Prtama, aku seharusnya minta maaf kepadamu telah membuatmu malu seperti ini. Aku seharusnya sadar saat kita bertemu ke restoran dan berbicara padaku, kau memiliki maksud tertentu namun sayang aku tidak terlalu peka masalah lelaki harus berkata lebih dahulu untuk meminta sebuah ID Line. Namun untuk hari ini, aku juga minta maaf. Aku tidak membawa ponsel ku sehingga aku tidak bisa memberitahu ID Line ku, " ucap Asra dengan wajah datar.
"Uh, Kalu begitu. Hmmmm," ucaap ku sambi mencari kertas untuk ditulis. Kemudian aku menulis ID Line ku. Kemudian aku berkata sambil menyodorkan secarik kertas, "Ini milikku."
Asra mengambil secarik kertas itu dan berkata, "Baiklah."
Aku merasa lega hingga aku menghela napas lega di depan Asra. Aku sdar, Asra memperhatikanku. Kemudian dengan refleks aku berkata, "aku akan membantu."
Mendengar perkataanku, Asra hanya tersenyum dan aku melihat senyumannya untuk pertamakali. Dia tersenyum sambil berkata, "Aku rasa tidak perlu."