Banyak orang yang mengkritik Jakarta macet dan panas namun hal itu tidak berlaku bagiku yang tinggal di pinggiran kota Jakarta yang berbatasan langsung dengan Kab. Bogor. Bagiku, Jakarta adalah kota yang sejuk dan dipenuhi oleh pepohonan buah yang rindang mulai dari rambutan, pisang, jengkol, dan pete.
Tidak hanya itu, pemancingan ikan yang menghiasi lembah kami menyuplai kesejukkan hingga pagi pun menjadi sangat menyegarkan. Ditambah dengan suasana guguran daun pete yang menguning daunnya, rasa-rasanya aku bukan berada di Indonesia melainkan seperti berada di negara Jepang saat bunga sakura berguguran.
Suasana pagi yang indah itu merupakan suasana hari pertama sekolah, murid-murid datang sejak pukul enam pagi waktu Indonesia barat. Kami semua bergerombol melihat papan pengumuan penempatan kelas untuk setahun ke depan.
Aku sangat menantikannya terlebih tahun ini merupakan tahun terakhirku berada di sekolah ini. Aku yang merupakan anggota klub basket menginginkan kedua sahabatku di klub ini berda satu kelas denganku sama seperti saat aku berada di kelas tujuh dan kelas delapan.
Aku dan kedua sahabatku mencari-cari nama kami di papan pengumuman penempatan kelas. Aku yang belum menemukan namaku di kelas sembilan satu. Hingga akhirnya aku terkejut dengan suara yang dihasilkan temanku yang bernama Fera. Fera berkata sambil menggoyangkan badanku, " Hei Luna, Lihatlah! Aku berada di kelas sembilan empat."
"Aku juga sudah menemukan namaku sendiri, aku berada di kelas sembilan dua. Sayang sekali Fer kita tak bisa sekelas," ucap Ifa sambil menepuk pundakku.
Aku terguncang mendengar sahabatku yang sudah dua tahun bersama terpisah oleh kebijakan sekolah. Aku harap bisa berada diantara kelas sembilan dua bersama dengan Ifa atau sembilan empat  bersama Fera. Namun sayang takdir berkata lain, layaknya petir di pagi hari. aku melihat namaku berada pada kelas sembilan tiga. Kemudian aku berkata, " Ah itu namaku! Namun sayang, aku berada di kelas yang berbeda dengan kalian. Sayang sekali"
"Ya, sayang sekali," ucap mereka berdua.
"Di kelasku juga, tak ada anak basket putri. Rasanya aku akan kesepian," ucap ku dengan rasa kecewa.
"Luna tak usah disesali, mungkin ini memang takdir," ucap optimis dari fera sambil menepuk pundakku.
"Ya tidak perlu dirisaukan, boleh jadi kita 'kan bertemu jodoh kita," canda Ifa.