“Sudah cukup darah tertumpah,, sudah cukup kebencian ini! Tindakan militer sudah terbukti gagal dan harus ditemukan metode baru untuk mengatasi konflik ini. Kita harus berfokus pada pelajaran tentang toleransi dan kompromi, tentang harapan, sikap baik, meranngkul segala perbedaan, mengakui persamaan, dan menyelamatkan kehidupan (hal. 319). Jangan bicara tentang perdamaian bila anak-anak kita masih dibiasakan membenci atau memiliki prasangka buruk mengenai etnis atau agama tertentu. Jangan heran bila nantinya akan muncul banyak ektremis hanya karena kita tak mengizinkan anak-anak kita mengenal etnis dan agama lain.
Masalah dari dalam
Apa yang menyebabkan konflik terjadi? Perbedaan agama? Perbedaan etnis? Perbedaan pandangan? Ternyata tidak. Bibit-bibit konflik muncul dari dalam diri kita sendiri. Bagaimana konflik dalam diri kita sendiri – yang hanya dialami seseorang --- dapat berubah menjadi konflik ekternal yang luar biasa? Virginia Satir menjelaskan tahapannya dengan sangat baik “Peace within, peace between, peace among.”
Anak-anak saja tahu konsep mengalah. Mengalah berarti rela menurunkan ego dan memperhatikan posisi orang lain. Kita mungkin sering berpikir mengapa pihak ini dan pihak itu terus bertikai. Mengapa tidak berdamai saja? Apakah terus bertikai akan memberikan keuntungan finansial atau membangkitkan para korban yang sudah meninggal? Kita berbicara dengan sangat mudah.
Masalahnya, orang yang sedang konflik akan dibiaskan oleh emosi yang seringkali membatasi mereka untuk berpikir lebih rasional. Emosi kebencian inilah yang menyebabkan mengapa konflik terus larut dan keengganan untuk sepakat damai. Emosi berkuasa jauh di atas rasionalitas.