Mohon tunggu...
Kristian Wongso
Kristian Wongso Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Ilmu Kriminologi

Pembelajar Ilmu Kriminologi, Dokter Anak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dokter Palestina Pertama di RS Israel: Pembelajaran Perdamaian

13 Mei 2015   18:37 Diperbarui: 15 Oktober 2015   20:53 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption id="attachment_417310" align="aligncenter" width="700" caption="Ilustrasi/Kompas.com"][/caption]

"Daripada membangun tembok pemisah lebih baik kita membangun jembatan” (hal. 255)

 

 

 

Ketika sedang panas isu perang Israel-Palestina, banyak orang di berbagai belahan dunia yang menyatakan dukungannya terhadap Palestina. Mereka bagai kompor yang terus mengobarkan semangat perlawanan fisik. Ya, mereka memotivasi agar jangan mau ditindas, mendukung serangan balik, bahkan mengirimkan pasukan perang berlatar agama untuk ditempatkan di willayah konflik itu. Penting untuk diketahui bahwa kompor-kompor ini bukanlah korban konflik, melainkan sekedar pengamat saja – seperti saya, seperti kamu. Namun terkadang, semangat balas dendam mereka lebih membakar dibandingkan dengan para korban itu sendiri.

 

Apakah konflik semata-mata harus diselesaikan dengan kebencian dan kekerasan? Apakah semangat persaudaraan sepenanggunan harus berakhir dengan dorongan untuk balas dendam?

 

Mengenal Izzeldin

 

Izzeldin Abuelaish, seorang dokter Palestina, bekerja di rumah sakit Israel. Ia adalah sebagai dokter spesialis kandungan dan kebidanan. Menariknya, ia adalah dokter Palestina pertama yang bekerja di rumah sakit Israel. Selama masa kerjanya, ia tidak asing dengan sinisme beberapa orang yang mempertanyakan keberadaannya di rumah sakit itu. Misalkan, apakah ia rela membantu proses kelahiran bayi yang kelak akan menjadi tentara yang membunuh sesama saudara Palestinanya.

 

Izzeldin tetap tenang. Ia menjalankan praktek kedokterannya dengan berlandaskan nilai kemanusiaan yang universal. Dalam dunia medis, tidak dikenal konsep membeda-bedakan perlakuan. Demikian juga dengan yang dilakukan rekan sejawatnya, dokter-dokter Israel, Izzeldin menulis “... para dokter Israel rekan kerjaku merawat pasien tanpa melihat kebangsaan atau etnis mereka.” (hal. 154)

 

Saat gempuran Gaza, Izzeldin tidak dapat berangkat ke Israel, tempat kerjanya. Baru beberapa hari kemudian saat suasana mulai kondusif, setelah akses perbatasan dibuka, barulah ia bisa berangkat.

 

Sesampainya di Israel, salah seorang kawan Israelnya berkata “Izzeldin, kudengar kau takut untuk kembali ke sini. Aku hanya ingin memberi tahumu, aku rela mengorbankan nyawaku demi keselamatanmu jika ada orang Israel yang ingin melukaimu.” (hal. 159) Luar biasa. Selama ini kita cenderung menganggap bahwa pihak lawan selalu menginginkan kekalahan dan bahkan kematian kita, tapi ternyata tidak semua mereka seperti itu. Kebencian mengharapkan kematian, kemanusiaan mengharapkan keselamatan.

 

Kehilangan sang istri tercinta, Nadia, akibat leukemia akut bukanlah satu-satunya peristiwa yang sangat menggores dr. Izzeldin. Pada masa konflik, ia kehilangan tiga putri dan satu keponakannya. Bayangkan seorang dokter yang sangat toleran dan mendidik anak-anaknya dalam nilai toleransi justru harus merasakan kehilangan orang-orang terkasihnya akibat perang.

 

Sebenarnya, alasan kehilangan ini sudah cukup untuk membuatnya menjadi seorang pembenci Israel. Siapa yang tak benci jika tiga anaknya meninggal berkeping-keping akibat rudal Israel? Bisa saja orang datang dan mencibir, “Masih ingin toleransi? Tiga putrimu meninggal dengan rupa yang tidak dikenali lagi, tapi masih ingin toleransi?”

 

Izzeldin sama sekali tidak terpikir untuk balas dendam atau berubah menjadi seorang pembenci. Malahan, ide-ide ini didapatkan dari kompor-kompor yang ada di sekitarnya. “Balas dendam merupakan gagasan yang muncul di bibir dan di benak kebanyakan orang yang kuajak berbicara dalam hari-hari setelah putri dan kemenakanku tewas.” (hal. 295) Hal ini adalah hal yang sebenarnya sering terjadi. Hasutan atau keinginan balas dendam seringkali dicetuskan oleh pihak ketiga, bukannya pihak korban. Ketika korban sedang berduka, seringkali pihak ketiga datang mengobarkan kebencian.

 

Dalam kesedihannya, Izzeldin tetap memiliki idealismenya yang luar biasa, “Bagi mereka yang menginginkan pembalasan, kataku, sekalipun aku membalas dendam kepada semua orang Israel, apakah itu akan membawa anak-anak perempuanku kembali? Kebencian adalah penyakit. Kebencian mencegah penyembuahn dan perdamaian.” (hal. 297)

 

Izzeldin dan keluarganya kemudian pindah ke Kanada karena diundang untuk bekerja di sana. Sesampainya di sana, Izzeldin sangat terpukau dengan tetangga-tetangganya yang sangat menerimanya. Tetangganya memiliki anak-anak yang seusia dengan anak-anak Izzeldin. Halaman belakang rumah keduanya dibatasi pagar. Tetangga Izzeldin kemudian melepaskan salah satu bagian pagar, agar anak-anak dapat saling berkunjung.

 

Menanamkan nilai-nilai toleransi: pembauran

 

Apa yang akan terlintas jika kita mendengar kata “Amerika”? Apakah kita akan membayangkan kebijakan perang di Timur Tengah? Aliansi dengan Israel? Kebudayaan barbar?

 

Saat dr. Izzeldin berkesempatan untuk mempelajari kesehatan masyarat di Harvard, ia menjadi lebih mengenal orang Amerika dengan lebih baik lagi. Izzeldin memberikan perspektif seperti ini, “Semula kusangka orang Amerikaa itu sombong. Namun hidup di tengah-tengah mereka mengajariku untuk tidak menghakimi orang hanya karena tidak suka dengan kebijakan pemerintahnnya... Selama di Boston, aku jadi tahu bahwa pada umuymnya rakyat Amerika adallah tetangga yang baik dan ramah,, menduduh mereka sombong sama saja dengan menuduh semua orang Israel penjajah dan semua orang Palestina pembuat onar.” (hal 174).

 

Bahkan di universitas sekelas Harvard, ada isu sentimen etnis. dr. Izzeldin menceritakan bahwa seorang kawannya menyarankannya untuk tidak mengambil kelas seorang profesor Yahudi, karena ia dikenal membenci orang Arab. Namun, Izzeldin tetap memilih kelasnya dan berbicara langsung dengan profesor tersebut. Ternyata tidak ada yang membenci. Profesor itu malahan mengajak Izzeldin untuk mendampinginnya bertemu dengan seorang pembicara dari Bank Dunia. Inilah yang dinamakan dengan prasangka.

 

Kita diam, dia diam. Kita pikir dia benci kita, dia pikir kita benci dia.

 

Dan terjadilah imajinasi di antara keduanya. Keduanya berdelusi yang konyolnya, dapat berujung konflik. Mari sejenak kita mengenal orang yang berbeda dengan kita. Temukan sisi kemanusiannya. Duduk dan berbicara dengannya. Dan buktikan sendiri apakah sentimen itu benar-benar ada atau tidak.

 

Apa yang biasa kita ajarkan kepada anak-anak kita mengenai orang yang kita benci? Tentu kita akan menanamkan berbagai kebencian pada anak-anak kita yang polos itu. Tak berhenti hanya diindoktrinasi dengan dendam atau labelling yang dahsyat, kita akan membatasi agar anak-anak kita tidak berhubungan atau berbaur dengan kelompok yang kita benci.

 

Beda jauh dengan yang dilakukan Izzeldin. “Aku ingin anak-anak perempuanku bertemu dengan anak-anak perempuan Israel da menghabiskan waktu dengan mereka dalam suasana netral agar bisa menemukan ikatan yang dapat mengikat dan menyembuhkan luka kami bersama.” (hal. 46) Bandingkan dengan pola didik yang diajarkan kebanyakan kita.

 

Dengan didikan orang tua yang luar biasa seperti ini, maka tidak heran bila Bessan, salah satu putri Izzeldin saat diwawancara dapat menjawab “Kami berpikir sebagai musuh, kami hidup di sisi yang berlawanan dan tidak pernah bertemu. Tetapi aku merasa kami semua sama. Kami semua adalah umat manusia.” (hal. 48)

 

Coba bayangkan bila generasi penerus kita memiliki konsep berpikir seunggul ini. Bayangkan seperti apa nanti damainya dunia ini. Selain karirnya yang cemerlang, ia dikaruniakan delapan orang anak. Sedari kecil, ia giat menanamkan nilai toleransi kepada mereka. Ia mengirimkan tiga anaknya ke kamp perdamaian.

 

Satu kisah yang tak bosan-bosannya saya ceritakan adalah kisah saya dulu. Saya menghabiskan masa kecil di Ternate, Maluku Utara. Saya tinggal di daerah pertokoan yang banyak dihuni oleh etnis Tionghoa. Setiap sore, saya, teman-teman etnis Tionghoa, anak dari karyawan toko yang bukan Tionghoa, anak pedagang kaki lima yang juga bukan Tionghoa, bermain bersama. Entah petak umpet, kelereng atau sekedar kejar-kejaran. Tidak ada batas pembeda antara kami rasanya. Kami berbaur begitu saja. Dan sangat alami. Jika ingin melihat apa itu perdamaian dalam toleransi, jangan ambil contoh orang dewasa. Pikiran orang dewasa rusak. Namun, lihatlah anak-anak.

 

Hal ini sejalan dengan yang dikeluhkan dr. Izzeldin, “Tapi lihatlah apa yang terjadi ketika anak-anak tanpa dosa itu tumbuh besar. Siapa yang mengajari mereka untuk bermusuhan dan bukannya berkawan?” (hal. 161).

 

“Lihatlah bayi-bayi di kamar bersalin... kami mengisi mereka dengan cerita-cerita yang memperkuat kebencian dan ketakutan... Kebencian memakan jiwamu dan mengambil peluang-peluang darimu. Seperti meminum racun.” (hal. 197)

 

Kesehatan dan perdamaian

 

Izzeldin berpendapat bahwa ekstremisme bermunculan karena orang tidak dapat hidup atau hidup dengan normal. Ia juga mengatakan “Anda tidak bisa mengharapkan orang yang tidak sehat untuk berpikir secara logis. Hampir semua orang di sini memiliki masalah kejiwaan, semua orang membutuhkan rehabilitasi.” (hal. 29)

 

Izzeldin melihat adanya peluang bidang kesehatan sebagai salah satu bidang yang dapat berperan dalam usaha turut serta menciptakan perdamaian. Gagasan ini sebenarnya telah dianut oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). WHO memiliki konsep “health as brigde for peace”. Konsep ini menggambarkan pentingnya peran sektor kesehatan dalam usaha pencapaian perdamaian dengan bersandarkan pada prinsip hak asasi manusia, kemanusiaan, dan etika medis. Konsep ini pernah diterapkan di Indonesia pada konflik Ambon (2000-2001). Sebanyak dua puluh delapan tenaga medis – Muslim dan Kristen –- diberikan pelatihan perdamaian di Yogyakarta sebelum ditempatkan di Ambon.

 

Mengingat peran penting kesehatan baik sebelum, sementara, atau setelah konflik berlangsung, Izzeldin berpendapat bahwa “.... para dokter dapat menjadi utusan perdamaian.” (hal. 33).

 

Selain bidang medis, bidang kimia juga diklaim dapat menjadi jembatan menuju perdamaian. Konsep ini dipercaya oleh International Union of Pure and Applied Chemistry. Mungkin masih ada bidang-bidang lainnya yang sedang dikembangkan interaksinya dengan bidang perdamaian.

 

Peran perempuan

 

Salah satu isu yang hangat dalam studi perdamaian adalah peran perempuan. Perempuan memiliki kecenderungan anti perang fisik yang lebih besar dari laki-laki.

 

Salah satu contohnya adalah kasus di Wajir, suatu daerah di Afrika. Perang suku yang berkecamuk di daerah ini ternyata berhasil difasilitasi oleh kaum perempuan kedua suku yang awalnya berjumpa di pasar dan berlanjut hingga diskusi yang lebih serius untuk mencari solusi damai.

 

Izzeldin mendukung perempuan dalam berpartisipasi pengakhiran konflik. Ia berkata bahwa lebih mudah mencari laki-laki yang ingin perang, dibandingkan dengan perempuan yang ingin perang. Izzeldin juga mendambakan kondisi di mana perempuan diberdayakan melalui pendidikan, sehingga dapat lebih berandil dalam proses

 

“Aku percaya pada perempuan dan potensi mereka. Perempuan, secara alami, bisa menyatukan orang. Sudah waktunya perempuan untuk menjadi pelopor. Kita harus memberi perempuan kesempatan mendapatkan pendidikan dan melakukan hal-hal yang baik demi kemanusiaan.” (hal. 363). Lebih jauh, Izzeldin berpendapat bahwa diskusi mengenai peran perempuan dalam budaya sudah seharusnya dimulai. Sungguh suatu hal yang tidak mudah dilakukan dengan setting budaya Timur Tengah.

 

Kita yang memilih

 

Banyak yang berpendapat bahwa cara yang paling benar, wajar, dan adil untuk membalas orang yang merugikan (dalam konteks konflik) kita adalah dengan kembali merugikan mereka. Ya, jadi jika ada 1000 korban jiwa di pihak kita, maka harus ada 1000 korban di pihak lawan.

 

Mari pertimbangkan kembali.

 

Apakah bertambahnya korban jiwa di pihak lawan akan capat membangkitkan sanak saudara kita yang meninggal? Apakah semakin banyak darah bercucuran maka infrastruktur kita yang semula luluh lantah berantakan akan kemudian secara magis menyatu kembali?

 

Ketika kita menjadi korban konflik, ketahuilah bahwa kita tidak harus menjadi pembenci dan pendendam. Izzeldin menyebut jalan ini sebagai “jalan kegelapan”. Ia menulis, “.... aku punya dua pilihan: aku bisa mengambil jalan kegelapan atau jalan cahaya.. jika aku memilih jalan kegelapan, jalan kebencian dan dendam yang beracun, ini akan seperti memilih untuk terperosok ke dalam kesulitan dan depresi yang datang bersama penyakit. Untuk memilih jalan cahaya, aku harus fokus pada masa depaan dan anak-anakku.” (hal 304-5)

 

Jalan kegelapan berorientasi pada masa lalu, sedangkan jalan cahaya adalah jalan yang menatap ke depan. Mau sampai kapan kita membiarkan diri kita terperangkap masa lalu?

 

“Sudah cukup darah tertumpah,, sudah cukup kebencian ini! Tindakan militer sudah terbukti gagal dan harus ditemukan metode baru untuk mengatasi konflik ini. Kita harus berfokus pada pelajaran tentang toleransi dan kompromi, tentang harapan, sikap baik, meranngkul segala perbedaan, mengakui persamaan, dan menyelamatkan kehidupan (hal. 319). Jangan bicara tentang perdamaian bila anak-anak kita masih dibiasakan membenci atau memiliki prasangka buruk mengenai etnis atau agama tertentu. Jangan heran bila nantinya akan muncul banyak ektremis hanya karena kita tak mengizinkan anak-anak kita mengenal etnis dan agama lain.

 

Masalah dari dalam

 

Apa yang menyebabkan konflik terjadi? Perbedaan agama? Perbedaan etnis? Perbedaan pandangan? Ternyata tidak. Bibit-bibit konflik muncul dari dalam diri kita sendiri. Bagaimana konflik dalam diri kita sendiri – yang hanya dialami seseorang --- dapat berubah menjadi konflik ekternal yang luar biasa? Virginia Satir menjelaskan tahapannya dengan sangat baik “Peace within, peace between, peace among.

 

Anak-anak saja tahu konsep mengalah. Mengalah berarti rela menurunkan ego dan memperhatikan posisi orang lain. Kita mungkin sering berpikir mengapa pihak ini dan pihak itu terus bertikai. Mengapa tidak berdamai saja? Apakah terus bertikai akan memberikan keuntungan finansial atau membangkitkan para korban yang sudah meninggal? Kita berbicara dengan sangat mudah.

 

Masalahnya, orang yang sedang konflik akan dibiaskan oleh emosi yang seringkali membatasi mereka untuk berpikir lebih rasional. Emosi kebencian inilah yang menyebabkan mengapa konflik terus larut dan keengganan untuk sepakat damai. Emosi berkuasa jauh di atas rasionalitas.

 

Jika kita berbicara mengenai konflik yang bernuansa agama, akan lebih menarik. Di sini, agama berfungsi sebagai justifikasi rasional. Jadi, orang yang rela membunuh atas nama agama merasa tindakan mereka sepenuhnya rasional, karena mereka mengikuti instruksi kitab keyakinan mereka. Agama aliran radikal menumbuhkan kebencian dan doktrinnya akan membenarkan mereka secara kognitif.

 

Perdamaian hanya akan tercipta setelah ada pergeseran cara pikir internal dari kedua pihak. Yang kita butuhkan adalah rasa saling menghormati, dan kekuata dari dalam diri untuk tidak membenci. Saat itulah kita takkan berhasil mencapai perdamaian.” (hal 339)

 

Kesimpulan

 

Kita harus berusaha keluar dari sentimen dan berusaha mengenal orang lain dengan lebih baik lagi. Tidak ada yang lebih konyol dibanding saling sentimen dan berandai-andai pihak lain memusuhi kita. Sebagai orang Indonesia, seharusnya kita sudah paham apa itu “tak kenal maka tak sayang”.

 

Untuk ambil bagian dalam perdamaian, mulailah dari kedamaian hati kita masing-masing. Jika kita menjadi korban konflik, kita memiliki dua pilihan: balas dendam atau memilih perdamaian. Pendendam bagaikan orang kerasukan yang haus darah lawannya. Orang yang memilih damai adalah orang yang secara hukum moral sangat unggul, karena mereka mampu untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Pilihan ada di tangan kita.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

14315171672000828705
14315171672000828705
 

 

 

Catatan:

Tinjauan ini mencampurkan pemikiran Izzeldin dan analisa penulis. Namun, tidak ditemukan perbedaan pandangan antara Izzeldin dan penulis.

 

 

#70thICRCid

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun