Kita yang memilih
Banyak yang berpendapat bahwa cara yang paling benar, wajar, dan adil untuk membalas orang yang merugikan (dalam konteks konflik) kita adalah dengan kembali merugikan mereka. Ya, jadi jika ada 1000 korban jiwa di pihak kita, maka harus ada 1000 korban di pihak lawan.
Mari pertimbangkan kembali.
Apakah bertambahnya korban jiwa di pihak lawan akan capat membangkitkan sanak saudara kita yang meninggal? Apakah semakin banyak darah bercucuran maka infrastruktur kita yang semula luluh lantah berantakan akan kemudian secara magis menyatu kembali?
Ketika kita menjadi korban konflik, ketahuilah bahwa kita tidak harus menjadi pembenci dan pendendam. Izzeldin menyebut jalan ini sebagai “jalan kegelapan”. Ia menulis, “.... aku punya dua pilihan: aku bisa mengambil jalan kegelapan atau jalan cahaya.. jika aku memilih jalan kegelapan, jalan kebencian dan dendam yang beracun, ini akan seperti memilih untuk terperosok ke dalam kesulitan dan depresi yang datang bersama penyakit. Untuk memilih jalan cahaya, aku harus fokus pada masa depaan dan anak-anakku.” (hal 304-5)
Jalan kegelapan berorientasi pada masa lalu, sedangkan jalan cahaya adalah jalan yang menatap ke depan. Mau sampai kapan kita membiarkan diri kita terperangkap masa lalu?