Beda jauh dengan yang dilakukan Izzeldin. “Aku ingin anak-anak perempuanku bertemu dengan anak-anak perempuan Israel da menghabiskan waktu dengan mereka dalam suasana netral agar bisa menemukan ikatan yang dapat mengikat dan menyembuhkan luka kami bersama.” (hal. 46) Bandingkan dengan pola didik yang diajarkan kebanyakan kita.
Dengan didikan orang tua yang luar biasa seperti ini, maka tidak heran bila Bessan, salah satu putri Izzeldin saat diwawancara dapat menjawab “Kami berpikir sebagai musuh, kami hidup di sisi yang berlawanan dan tidak pernah bertemu. Tetapi aku merasa kami semua sama. Kami semua adalah umat manusia.” (hal. 48)
Coba bayangkan bila generasi penerus kita memiliki konsep berpikir seunggul ini. Bayangkan seperti apa nanti damainya dunia ini. Selain karirnya yang cemerlang, ia dikaruniakan delapan orang anak. Sedari kecil, ia giat menanamkan nilai toleransi kepada mereka. Ia mengirimkan tiga anaknya ke kamp perdamaian.
Satu kisah yang tak bosan-bosannya saya ceritakan adalah kisah saya dulu. Saya menghabiskan masa kecil di Ternate, Maluku Utara. Saya tinggal di daerah pertokoan yang banyak dihuni oleh etnis Tionghoa. Setiap sore, saya, teman-teman etnis Tionghoa, anak dari karyawan toko yang bukan Tionghoa, anak pedagang kaki lima yang juga bukan Tionghoa, bermain bersama. Entah petak umpet, kelereng atau sekedar kejar-kejaran. Tidak ada batas pembeda antara kami rasanya. Kami berbaur begitu saja. Dan sangat alami. Jika ingin melihat apa itu perdamaian dalam toleransi, jangan ambil contoh orang dewasa. Pikiran orang dewasa rusak. Namun, lihatlah anak-anak.
Hal ini sejalan dengan yang dikeluhkan dr. Izzeldin, “Tapi lihatlah apa yang terjadi ketika anak-anak tanpa dosa itu tumbuh besar. Siapa yang mengajari mereka untuk bermusuhan dan bukannya berkawan?” (hal. 161).