Mengenal Izzeldin
Izzeldin Abuelaish, seorang dokter Palestina, bekerja di rumah sakit Israel. Ia adalah sebagai dokter spesialis kandungan dan kebidanan. Menariknya, ia adalah dokter Palestina pertama yang bekerja di rumah sakit Israel. Selama masa kerjanya, ia tidak asing dengan sinisme beberapa orang yang mempertanyakan keberadaannya di rumah sakit itu. Misalkan, apakah ia rela membantu proses kelahiran bayi yang kelak akan menjadi tentara yang membunuh sesama saudara Palestinanya.
Izzeldin tetap tenang. Ia menjalankan praktek kedokterannya dengan berlandaskan nilai kemanusiaan yang universal. Dalam dunia medis, tidak dikenal konsep membeda-bedakan perlakuan. Demikian juga dengan yang dilakukan rekan sejawatnya, dokter-dokter Israel, Izzeldin menulis “... para dokter Israel rekan kerjaku merawat pasien tanpa melihat kebangsaan atau etnis mereka.” (hal. 154)
Saat gempuran Gaza, Izzeldin tidak dapat berangkat ke Israel, tempat kerjanya. Baru beberapa hari kemudian saat suasana mulai kondusif, setelah akses perbatasan dibuka, barulah ia bisa berangkat.
Sesampainya di Israel, salah seorang kawan Israelnya berkata “Izzeldin, kudengar kau takut untuk kembali ke sini. Aku hanya ingin memberi tahumu, aku rela mengorbankan nyawaku demi keselamatanmu jika ada orang Israel yang ingin melukaimu.” (hal. 159) Luar biasa. Selama ini kita cenderung menganggap bahwa pihak lawan selalu menginginkan kekalahan dan bahkan kematian kita, tapi ternyata tidak semua mereka seperti itu. Kebencian mengharapkan kematian, kemanusiaan mengharapkan keselamatan.
Kehilangan sang istri tercinta, Nadia, akibat leukemia akut bukanlah satu-satunya peristiwa yang sangat menggores dr. Izzeldin. Pada masa konflik, ia kehilangan tiga putri dan satu keponakannya. Bayangkan seorang dokter yang sangat toleran dan mendidik anak-anaknya dalam nilai toleransi justru harus merasakan kehilangan orang-orang terkasihnya akibat perang.