Ivan terdiam. Sementara Erick menundukan kepalanya sambil menyandarkan diri dengan lemah disebuah kursi. Ekspresi Erick terlihat sangat sedih dan penuh duka.
      Ivan perlahan menutup map yang ada di tangannya. Ia tampak melamun,
      "Seandainya..."
      Erick mengangkat kepalanya menatap Ivan.
      "...seandainya aku boleh memilih, Rick, maka aku pasti akan memilih untuk tetap berada di sini menemani Ayahanda Yang Mulia dari pada pergi kemanapun" Ivan menatap Erick sambil tersenyum lemah, "Tapi aku tidak bisa memilih. Kau tahu itukan, Rick. Hidupku... bukan milikku" Ivan tersenyum pilu, "Aku memang seorang pangeran. Semua orang melihat aku memiliki kekuasaan yang sangat besar. Tapi gelar dan kekuasaan itu adalah belenggu bagi kebebasanku. Kebebasanku untuk memilih. Kebebasanku untuk bisa berada di samping orang yang aku sayangi. Bahkan disaat orang itu sedang membutuhkanku. Kau tahu itu kan, Rick" bisiknya lemah.
      Erick mengangguk,
      " Ya. Aku tahu, Bro"
      Ivan tersenyum pedih. Ia memutar badannya membelakangi Erick, berusaha menyembunyikan kesedihannya,
      "Ketika aku lahir, garis hidupku sudah ditakdirkan hanya untuk satu hal, untuk satu tujuan. Melayani negaraku. Saat negara ini membutuhkan perhatian dan juga kehadiranku, saat itu aku harus selalu siap. Walaupun pada saat yang bersamaan, orang yang sangat aku pedulikan terbaring sekarat di atas tempat tidur"
      Erick menatap sedih punggung Ivan, yang tampak kesepian. Ivan tiba-tiba memutar badannya dan tersenyum tenang,
      "Apa boleh buat. Aku terlahir dari seorang wanita yang bergelar Puanku Yang Mulia Permaisuri"