Mohon tunggu...
Murni KemalaDewi
Murni KemalaDewi Mohon Tunggu... Novelis - Lazy Writer

Looking for place to write

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pemberontakan Cinderella 2 (Bab 1)

25 Mei 2019   10:44 Diperbarui: 25 Mei 2019   11:15 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Si Gadis Barbar

"KAU?! Kau gadis barbar itu kan?!" seru Ivan kaget.

          "Gadis barbar?!" tanya Erick heran.  

Aya yang masih menundukan kepalanya bergumam manyun,

          "Gadis barbar ?! Enak saja"

Ivan tampak geram menatap Aya. Tangannya mengepal kuat menahan marah. Sementara Erick, menatap Aya dan Ivan bergantian dengan wajah kebingungan.

          "Gadis yang main pukul seenaknya tanpa alasan yang masuk akal, hanyalah gadis barbar yang tidak mengenal aturan" kata Ivan dingin. "Bahkan sekarangpun, sudah tahu berbuat salah, bukannya mengucapkan kata maaf, malah menghina orang. Benar-benar lancang. Dimana sopan santunmu?! Apa orang tuamu tidak pernah mengajarimu" cemooh Ivan.

          Perkataan Ivan tentang orang tuanya membuat Aya naik darah seketika. Rasa takut yang tadi ada di hatinya, entah kenapa sirna tak berbekas. Aya langsung mengangkat kepalanya dan menatap Ivan, berang,

          "YA! Orang tuaku memang tidak sempat mengajariku?! Lalu kau mau apa HAH?!" teriaknya. Aya membanting tongkat pel yang dipegangnya ke lantai dan menyinsingkan lengan bajunya, "Kau mau berkelahi?! AYO! Aku layani! Kau pikir aku takut apa?! Jangan mentang-mentang kau itu pangeran, maka kau bisa merendahkan orang lain seenak jidadmu!!" kata Aya lagi mengambil kuda-kuda.

          Semua murid yang ada di sana menyaksikan hal itu, hanya bisa melongo bengong. Mereka tidak menyangka kalau Aya akan berani melawan Ivan. Sementara Erick mengamati dengan ekspresi tertarik.

"Merendahkanmu?"Ivan tersenyum sinis, "Aku tidak perlu mengotori tanganku untuk melakukan itu. Kau sudah melakukannya sendiri dengan sangat baik. Lihat saja tingkahmu. Persis seperti orang yang tidak mengenal pendidikan. Aku ragu, apa benar sekolah ini pantas menjadi proyek percontohan di seluruh negara, jika mereka memiliki murid barbar tidak tahu aturan sepertimu. Kau tidak seharusnya berada di sini. Tidak pantas. Hutan adalah tempat yang jauh lebih sesuai bagimu"

          Aya mengepalkan tinjunya meledak marah,

          "MATI KAUUU!" teriaknya bergerak maju hendak memukul Ivan.

          Tapi tubuhnya segera ditahan oleh Riska dan Rahman. Riska sambil menahan tubuh Aya, yang mencoba melepaskan diri sekuat tenaga, berusaha menenangkannya,

          "Aya sabar! Sabar, Ay! Istighfar! Jangan berkelahi!" ingatnya.

          "Benar, Ay! Ingat. Dia itu Pangeran Ivan!!" sambung Rahman, yang juga sedang menahan tubuhnya Aya dengan sekuat tenaga.

          Aya berontak mencoba melepaskan diri dari Riska dan Rahman sambil menggapai-gapaikan tangannya, ingin memukul dan menendang Ivan. Ia berteriak marah,

          "LEPAASS! AKU MAU MENGHAJAR ORANG BRENGSEK ITU! Mau dia Pangeran Ivan kek, pangeran kodok kek, dia harus ku hajar! LEPAASS!" teriaknya.

          "Tidak! Kami ndak bakalan ngelepasin lo, Ay ! Ini semua demi kebaikan lo sendiri!" kata Riska yang masih mencoba menahan tubuh Aya. Riska lalu menatap Erick penuh permohonan, "Senior Erick, tolong bawa Pangeran Ivan pergi. Kalau sampai Aya melepaskan diri, maka akan ada pertumpahan darah!" pinta Riska.

          Erick menatap Riska ragu. Ia lalu mengalihkan pandangannya pada Aya, yang masih berteriak-teriak penuh kemarahan sambil mencoba melepaskan diri dari kedua temannya yang menghalanginya. Erick kembali menatap Ivan, yang menyaksikan tingkah Aya dengan senyum sinis dan ekspresi yang terlihat sangat dingin. Erick akhirnya menghela nafas dan menyentuh lengan Ivan,

          "Sudahlah, Bro. Tahan emosimu. Jangan di sini. Apa lagi dia hanya seorang gadis. Ingat, pinggan tak retak, nasi tak dingin*[1]"  bisik Erick pada Ivan. 

 

          Ivan menatap Erick dengan pandangan kaku. Ia lalu kembali menatap Aya, yang masih mencoba melepaskan diri,

 

          "Kau benar. Aku juga tidak sudi berlama-lama di tempat yang sama dengan manusia barbar tak tahu aturan seperti dia" kata Ivan dingin sambil memutar badannya dengan angkuh, berjalan menjauh dari Aya, diiringi Erick yang sekilas sempat kembali menatap Aya.

 

          Aya yang melihat kepergian Ivan, berontak semakin kuat,

 

          "HEI! Mau kemana kau! Pengecuut! Sini kalau berani! Ku hajar kau! Ku cincang kau! Jangan pergi! Tungguu!" teriaknya tanpa henti.

 

          "Sudah, Ay! Sudah! Jangan teriak-teriak lagi! Nanti kalau kesabaran Pangeran Ivan habis, bisa-bisa lo masuk penjara!" tenang Riska, yang masih menahan tubuh Aya dengan kuat.

 

          Aya menatap Riska penuh kemarahan,

 

"Biar saja masuk penjara. Kalau perlu dihukum mati juga tidak masalah! Siapa suruh dia menghina ayah dan ibuku! Pemuda brengsek seperti dia harus merasakan bogem mentah dariku!"  Aya kembali berteriak ke arah Ivan,  "JANGAN LARI KAU PANGERAN JELEK!" teriaknya.

 

          Semua murid yang ada di sana hanya bisa melongo menatap Aya. Sementara Ivan berjalan semakin jauh dari Aya dengan ekspresi dingin dan tangan yang terkepal kuat. Erick terlihat sesekali melirik Ivan, penasaran. Teriakan Aya masih terdengar di telinga mereka. Wajah Ivan semakin terlihat keras membatu.

 

@@@

 

          Ivan mengeluarkan buku dari dalam tasnya dan membanting buku itu ke atas meja. Erick duduk dan meliriknya.

 

          Ivan menatap Erick dengan dingin,

 

          "Apapun yang ingin kau katakan, sebaiknya kau telan saja!"perintahnya membuka buku dengan kasar dan mulai membaca.

 

          Erick memperhatikan Ivan dengan seksama. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan berdehem,

 

          "Ehm. Mmm jadi... Aya adalah gadis yang 'jika kau bertemu dengannya lagi, kau akan lari sekencang-kencangnya' itu?!"

 

          Ivan mengangkat kepala dari buku yang dibacanya dan menatap Erick kaku,

 

          "Aya? Siapa Aya?" tanyanya.

 

          "Itu... eng... gadis tadi yang kau sebut 'gadis barbar'. Dia namanya Aya" jawab Erick.

 

          Ivan tersenyum dingin dan kembali membaca bukunya.

 

          Erick menganggukkan kepala tanda mengerti.

 

          Untuk sesaat, mereka tidak berkata apa-apa. Erick dengan tak kentara, sesekali melirik Ivan. Sementara Ivan terlihat membaca buku dengan ekspresi kaku sambil menyentuh pinggangnya.

 

          "Kau benar tidak apa, Bro?! Kau yakin tidak terluka?" tanya Erick khawatir.

 

          Ivan menghela nafas kesal,

 

          "Satu-satunya yang terluka saat ini adalah harga diriku! Sakit di pinggang dan badanku tidak seberapa" Ivan menatap Erick dengan wajah geram, "Tapi rasa malu yang kurasakan, luar biasa!" katanya kesal dan kembali membaca bukunya lagi.

 

          Tiba-tiba Ivan menutup buku dan membanting buku itu dengan geram,

 

          "Aiiihhss, setiap kali aku bertemu dengan gadis barbar itu, aku pasti selalu sial!" omelnya jengkel.

 

          Erick spontan memalingkan wajahnya menahan senyum. Ivan menatapnya, jengkel.

 

          "Kau pikir ini lucu?!" kata Ivan kesal.

 

          Erick menatap Ivan dengan wajah polos,

 

          "Tidaaak. Siapa bilang ini lucu" jawabnya dan kembali memalingkan wajahnya dengan gaya tak acuh.

 

          Namun tak lama, terdengar suara tawa tertahan keluar dari mulut Erick. Ivan melirik Erick dengan ekspresi kesal,

 

          "Kau pasti sangat menikmatinya!" katanya kembali membuka buku dan bergumam penuh dendam, "Akan ku balas gadis barbar itu!" tekad Ivan.

 

          Erick berusaha sekuat tenaga menahan tawanya mendengar hal itu.

 

@@@

 

          Di dalam kelas Aya, semua murid menatap ke arah mejanya dengan ekspresi takut. Aya mengeluarkan semua kemarahannya sambil memukul-mukul mejanya dengan cepat,

 

          "Kurang ajaaarrr! Awas kau yaaa... awaas!! Kalau sampai bertemu lagiiii, akan ku patahkan hidungmu yang sombong ituuuu!!Iiihhh!"gumamnya geram.

 

          Riska menatapnya dengan wajah ragu,

 

          "Lo yakin Ay, mau konflik ama tuh pangeran? Apa tidak sebaiknya lo lebih sabar dan berfikir dengan tenang. Dia bukan orang sembarangan loh, Ay. Dia itu Pangeran Ivan. Putra Mahkota negara ini. Calon raja. Orang yang memiliki hubungan dengan orang-orang yang berkuasa. Orang yang..."           

 

          Ucapan Riska terhenti seketika melihat Aya melotot marah padanya.

 

          "Lalu?!" tanya Aya dengan tatapan mematikan.

 

          Riska terlihat gugup,

 

          "Eh.. itu...mmm... maksudku, lo sebaiknya tidak usah cari masalah sama dia. Please, Ay! Denger nasehatku sebagai seorang teman. Ini demi kebaikanmu sendiri" bujuk Riska.

 

          Aya terlihat geram,

 

          "Asal lo tahu aja ya, Ris! Aku juga OGAH berurusan dengan..." Aya menyipitkan matanya, "... orang sombong, angkuh, jelek, kurang ajar seperti dia. Tapi tadi, dia berani membawa-bawa kedua orang tuaku dan menghina mereka!"

 

          Aya tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya dan berseru geram,

 

          "Aku tidak peduli! Mau dibilang preman! Mau dimasukin bui! Diumpanin ama macan! Atau disiksa sampai matipun!" Aya mengepalkan tinjunya dan menghantamkan tinju itu ke telapak tangannya penuh amarah, "Pangeran jelek itu pasti ku balas!"

 

          Teman-teman Aya menatapnya bingung. Tidak tahu harus menasehatinya seperti apa. Aya terkadang bisa nekat. Nana yang duduk di depannya dengan hati-hati bertanya,

 

          "Lo yakin siap dimasukin ke penjara?" tanyanya.

 

          Aya menatap Nana dan akhirnya ia duduk dengan wajah pasrah,

 

            "Aku pasrah, Na" Aya tersenyum pahit, " Setidak-tidaknya di penjara nanti, aku bisa makan gratis, tidur gratis dan tidak perlu susah memikirkan hidup ini" katanya menunduk lesu.

 

          Semua teman Aya menatapnya dengan wajah iba.

 

          Tiba-tiba Aya kembali mengangkat kepalanya dan berseru dengan geram,

 

          "Yang pasti, mulai detik ini, barang siapa diantara kalian ada yang berani menyebut-nyebut nama pangeran kodok itu di hadapanku..." Aya memperagakan gerakan seperti mencincang-cincang di mejanya, "...habislah dia!" ancam Aya menatap semua temannya penuh peringatan.

 

          Aya kemudian duduk sambil bertopang dagu.

 

@@@

 

          Aya, Pak Maman dan Shiro sedang makan bersama malam itu, ketika tiba-tiba saja Aya menggebrak meja makan hingga membuat Pak Maman dan Shiro spontan menatapnya ketakutan.

 

          "Kurang ajar! Dasar orang brengsek!" serunya penuh kemarahan.

 

          Pak Maman dan Shiro tidak berani memakan makanan mereka dan menatap Aya takut-takut. Aya menatap Pak Maman dan Shiro dan tersenyum manis,

 

          "Maaf ya, Yah. Aya bukannya sedang marah pada Ayah kok. Juga bukan marah pada Shiro" katanya tersenyum.

 

          Aya lalu kembali makan sambil menggerutu kesal.

 

          Pak Maman dan Shiro saling berpandangan dengan wajah bingung. Perlahan mereka kembali menyuap makanan ke mulut mereka. Namun belum sampai makanan itu ke mulut, Aya kembali dengan tiba-tiba meletakan piringnya dengan kasar dan membuat Pak Maman dan Shiro kembali ketakutan dan tidak jadi makan. Aya menatap Pak Maman dengan ekspresi kesal,

 

          "Yah! Menurut Ayah, Aya seperti orang liar tidak?! Apa Aya seperti orang yang tidak sekolah?! Tidak kan, Yah?!" tanyanya sedikit memaksa.

 

          Pak Maman menggelengkan kepalanya dengan takut.

 

          Aya tersenyum penuh kemenangan,

 

          "Nah... apa Aya bilang! Memang pangeran itu saja yang kurang ajar dan kurang kerjaan! Aya sumpahin dia keselek saat ini juga!!" doanya.

 

@@@

 

          Ivan yang sedang makan malam bersama Raja dan Ratu dalam rangka menyambut kedatangan Duta Besar Korea dan istrinya, tiba-tiba saja terbatuk-batuk. Raja, Ratu dan tamu istana menatap Ivan dengan wajah khawatir. Sementara Harun yang berada di sisinya lansung mengambil segelas air dan memberikannya pada Ivan.

 

          Ivan segera meminum air itu, kemudian meletakannya di atas meja. Ia kembali batuk dan berdehem mencoba membersihkan tenggorokannya.

 

          "Ananda baik-baik saja?" tanya Raja khawatir.

 

          "Ananda tidak apa-apa, Yang Mulia" jawab Ivan.

 

          Tapi tiba-tiba Ivan kembali terbatuk. Ivan kembali meminum minumannya.

 

          "Pangeran yakin, kalau Pangeran baik-baik saja?" tanya Ratu bertambah khawatir.

 

          Ivan tersenyum mencoba menenangkan Ratu,

 

          "Ananda baik-baik saja, Ibunda Yang Mulia. Harap Ibunda tidak mencemaskan ananda" bujuk Ivan.

 

          Ivan lalu menatap duta besar dan istrinya,

 

          "Mian hamnida" kata Ivan dengan hormat.

 

          Duta besar itu tersenyum ramah pada Ivan,

 

          "That's okay, Your Highness. Apa anda baik-baik saja?" tanya Duta Besar itu lagi dengan bahasa yang terpatah-patah.

 

          Ivan tersenyum anggun padanya,

 

          "Ya. Saya baik-baik saja. Terima kasih" jawabnya.

 

          Raja tersenyum bangga menatap Ivan.

 

@@@

 

          Aya masih terlihat geram memakan nasinya, ketika tiba-tiba terdengar suara ketokan pintu.

 

          "Assalammualaikum" kata suara di balik pintu.

 

          "Waalaikumsalamm" jawab Aya, Pak Maman dan Shiro serentak.

 

          Aya berhenti makan dan berdiri membukakan pintu.

 

          "Ooh, Mang Ujang. Masuk, Mang" sapa Aya pada Ujang yang berdiri di depan pintu.

 

          "Ndak usah, Ay. Mamang cuma mau ketemu sama ayah kamu" tolak Ujang.

 

          Pak Maman datang menghampiri,

 

          "Kenapa, Jang?" tanya Pak Maman.

 

          "Itu loh Pak Maman. Mengenai masalah tadi siang"

 

          "Eh..ng itu, Jang! Ng.. kita ngobrol di luar aja, Jang" potong Pak Maman gugup.

 

          Aya menatap ayahnya dengan wajah heran ketika ayahnya mendorong Mang Ujang keluar dan menjauh dari rumah. Namun seruan Shiro menghapus rasa penasarannya,

 

          "Kak Ayaa,  Shiro mau tambah!"

 

          "Iya, Dek" jawab Aya.

 

          Aya lalu berbalik kembali ke meja makan.

 

          Tak lama Pak Maman pulang sambil menenteng sebuah bungkusan. Pak Maman masuk ke dalam kamarnya dengan terburu-buru. Aya memperhatikan hal itu dengan curiga.

 

          Tak lama Pak Maman kembali duduk di depan piringnya dan bertanya pada Shiro,

 

          "Shiro tadi makan nasi Ayah ya?" tanya Pak Maman.

 

          "Tidak. Shiro minta tambah Kak Aya" bantah Shiro.

 

          Pak Maman menggaruk kepalanya dan kembali memakan nasinya.

 

          Aya menatap ayahnya, curiga,

 

          "Tadi Ayah sama Mang Ujang ada apa, Yah?" tanya Aya.

 

          Pak Maman terlihat gugup,

 

          "Tidak ada apa-apa! Ayah nggak bohong" jawab Pak Maman gugup, menundukan kepalanya seperti orang yang tertangkap basah.

 

          "Ayah pernah bilang kalau bohong itu dosa. Tadi Mang Ujang ada perlu apa sama Ayah?" tanya Aya lagi mendesak ayahnya.

 

          Pak Maman mengangkat kepalanya dan menatap Aya dengan takut-takut,

 

          "Aya jangan marah ya. Tapi... ayah bantuin Mang Ujang kerja" bisik Pak Maman kembali menundukan kepalanya.

 

          Aya terlihat kaget,

 

          "Ayah bantuin Mang Ujang kerja?!"

 

Pak Maman menganggukan kepalanya pelan.

 

          Untuk sesaat, Aya memperhatikan ayahnya yang tampak menunduk ketakutan dengan wajah tak berdaya. Suasana hening terasa. Yang terdengar hanya suara Shiro yang asyik menghabiskan makanannya.

 

          Tak lama Aya menghela nafas panjang dan bertanya lembut pada ayahnya,

 

          "Ayah kenapa mau kerja lagi? Bukankah Ayah sudah janji sama Aya, kalau tidak kerja lagi. Ayah harus lebih banyak istirahat. Kesehatan Ayah tidak baik. Kalau Ayah sakit lagi bagaimana? Ayah mau lihat Aya dan Shiro sedih?" tanya Aya lembut.

 

          Pak Maman menggeleng pelan,

 

          "Ayah tidak mau bikin Aya sedih. Ayah hanya mau bantuin Aya. Aya kerja dari pagi sampai malam. Aya juga mesti ke sekolah. Di rumah masih harus ngurus Ayah dan Shiro" Air mata terlihat mengalir dari wajah Pak Maman, "Ayah sedih. Ayah sediiih sekali karena tidak bisa bantuin Aya" Pak Maman mencoba menghapus air mata dengan lengan bajunya, "Aya kalau terus begini juga bisa sakit. Kalau Aya sakit, Ayah dan Shiro akan sedih. Lalu ibu akan marah pada Ayah" isak Pak Maman.

 

          Aya menatap ayahnya dengan wajah menahan tangis. Perlahan ia berdiri mendekati ayah dan berjongkok di hadapan ayahnya,

 

          "Aya tidak akan sakit. Aya janji sama Ayah" Aya lalu memperagakan otot lengannya, " Lihat, Aya kuat kok. Pitung aja kalah sama Aya" katanya setengah bercanda.

 

          Pak Maman masih terlihat sedih.

 

          Aya menghela nafas,

 

          "Aya masih muda, Yah. Aya malah khawatir karena Ayah sudah tidak sesehat dulu lagi. Aya sudah kehilangan ibu. Yang Aya punya hanya Ayah dan Shiro. Kalau Aya sampai kehilangan Ayah dan Shiro..." Aya mulai meneteskan air mata, "... Aya tidak akan sanggup bertahan seperti sekarang ini. Ayah kalau memang sayang sama Aya, Ayah harus terus sehat dan tidak membuat Aya khawatir" pinta Aya terisak pelan.

 

          Pak Maman mengelus kepala Aya dengan sayang,

 

          "Ayah mohon, Ay. Ayah janji tidak akan membuat Aya khawatir. Ayah kerjanya juga tidak berat kok. Hanya bantuin Mang Ujang di bengkel. Tidak lama-lama. Paling juga 3 atau 4 jam. Lagi pula kalau Ayah diam di rumah, badan Ayah juga sering sakit-sakit" keluh Pak Maman."Jadi ayah mohon" bujuk Pak Maman lagi.

 

          Aya menatap ayahnya penuh pertimbangan,

 

          "Ayah bisa janji, tidak kerja yang berat-berat?" tanya Aya.

 

          Pak Maman menganggukan kepalanya dengan cepat.

 

          "Kalau Ayah sampai sakit, Ayah harus berhenti kerja" kata Aya lagi.

 

          Pak Maman kembali menganggukan kepalanya.

 

          Aya lalu menghapus air matanya dan menatap ayahnya, yang balas menatapnya penuh harap,

 

          "Ya sudah kalau begitu. Ayah boleh kerja sama Mang Ujang" putus Aya.

 

          Pak Maman terlihat gembira,

 

          "Terima kasih ya, Ay" serunya.

 

          Aya tersenyum penuh kasih,

 

          "Seharusnya Aya yang bilang terima kasih pada Ayah" katanya.

 

          Pak Maman dan Aya sama-sama tersenyum. Tiba-tiba terdengar celetukan Shiro,

 

          "Trus yang bilang terima kasih sama Shiro... siapa?!" Shiro terlihat cemberut, "Masa Shiro nggak dapat sih. Shiro marah nih" katanya ngambek.

 

          Aya dan ayah tertawa sambil mengusap air mata mereka, mendengar ucapan Shiro.

 

@@@

 

   

[1] Mengutamakan kecermatan dalam setiap tindakan

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun