Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ditjen Kajian Aksi Strategis BEM FISIP Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Akun Kompasiana Direktorat Jenderal Kajian Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Kabinet Astana Bimantara

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: Operasi Tunda Pemilu dan Pembangkangan terhadap Konstitusi

26 Maret 2023   20:56 Diperbarui: 26 Maret 2023   21:23 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kajian Bersama BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, BEM Fakultas Hukum, dan BEM Universitas

Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

PENDAHULUAN

Sebagai suatu negara dengan paham demokrasi, kontestasi pemilu menjadi salah satu pondasi bagi Indonesia dalam bernegara. Pesta demokrasi bagi rakyat ini menjadi gambaran betapa vitalnya peran rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. 

Secara singk at pemilu diartikan sebagai proses pemilihan dalam mengisi jabatan-jabatan politik yang dilakukan agar masyarakat dapat secara kolektif menentukan aktor yang menjabat di dalam pemerintahan agar sesuai dengan aspirasi yang diinginkan oleh rakyat itu sendiri.

Dalam pelaksanaannya, pemilu di Indonesia mengalami berbagai perubahan. Mulai dari masa orde lama di tahun 1955 ketika Indonesia menganut sistem parlementer, lalu di era orde baru khususnya di tahun 1977 terjadi fusi dari partai politik yang semula terdapat sepuluh partai politik lalu digabung hingga menjadi tiga partai politik saja. 

Di era reformasi sendiri terdapat penyesuaian, salah satunya adalah pada pemilu 2009. Pada pemilu 2009 ini, sistem yang dianut adalah proporsional terbuka. Sebelumnya pada pemilu 2004, Indonesia masih menganut sistem proporsional tertutup. 

Berbagai fenomena yang terjadi di dalam pemilu ini menjadi gambaran adanya penyesuaian secara terus menerus yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengoptimalisasikan penyelenggaraan pemilu demi tercapainya budaya serta iklim demokrasi yang sehat. 

Selain itu dalam mengoptimalisasikan penyelenggaraannya, pemerintah mendirikan KPU sebagai komisi yang bertugas dalam menyelenggarakan pemilu serta Bawaslu yang bertugas dalam mengawasi seluruh proses penyelenggaraan pemilu.

Selain itu, selama proses penyelenggaraannya, pemilu di Indonesia juga banyak diwarnai oleh berbagai fenomena politik. Salah satu fenomena yang terjadi adalah penundaan pemilu yang menimbulkan kontroversi di masyarakat. 

Salah satunya adalah penundaan pilkada yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia akibat dari keluarnya Pasal 201 ayat (8) UU No. 10 Tahun 2016. Undang-undang ini mengatur mengenai penundaan pilkada yang akan diselenggarakan pada 2024 secara serentak. Hal ini menyebabkan banyak daerah yang masa periodenya berakhir pada 2022 dan 2023 seperti DKI Jakarta (2022), Jawa Barat (2022), dan Jawa Timur (2023) harus digantikan untuk sementara oleh Plt Gubernur sampai pemilu serentak pada 2024. 

Penundaan pemilu ini menimbulkan kontroversi karena pengangkatan Plt Gubernur untuk menggantikan kekosongan jabatan sementara ini tidak bersifat demokratis, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan kebijakan yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Mengenai eksistensi dari dasar hukum pemilu sangat penting, sebab penyelenggaraan pemilu terarah dan memiliki tujuan yang jelas. Dengan adanya dasar hukum, setiap orang bertindak dan mengambil keputusan dengan cermat serta dilindungi oleh hukum selama tindakannya berdasarkan atas norma hukum. 

Dasar hukum memberikan batasan, bahwa yang diizinkan mendaftar sebagai calon legislatif adalah "orang perorangan yang diusung oleh partai politik" atau "tidak berstatus pegawai negeri sipil". Berarti apabila dia pegawai negeri sipil, maka harus mengundurkan diri dari status pegawai negeri sipilnya dan memilih untuk mengikuti kompetisi sebagai calon anggota legislatif (Siagian, 2022).

Konstitusi atau UUD NRI Tahun 1945 telah mengatur secara jelas mengenai penyelenggaraan pemilu. Sebagaimana tercantum pada 22E UUD NRI Tahun 1915 berbunyi : 

  1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 (lima) tahun sekali;

  2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Wakil Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

  3. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik;

  4. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah perseorangan;

  5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Dasar konstitusional pemilu sudah secara tegas disebutkan dalam konstitusi, sehingga eksistensinya sangat kuat. Hal ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum yang digunakan dalam konteks Negara Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang ditetapkan pada 4 April 1953 merupakan undang-undang pertama yang mengatur mengenai pemilu di Indonesia. 

Untuk pelaksanaan pemilu selanjutnya, tidak dilakukan 5 (lima) tahun kemudian setelah Pemilu tahun 1955, dikarenakan Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan DPR dan Dewan Konstituante hasil Pemilu tahun 1955. Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1959 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, pemilihan umum bukan hanya sekedar bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga permusyawaratan atau perwakilan saja, melainkan suatu sarana karena untuk mencapai kemenangan orde baru dalam mewujudkan penyusunan tata kehidupan yang dijiwai Pancasila/Undang-Undang Dasar (Jurdi, 2018).

 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1989 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 merupakan kelanjutan dari rantai perubahan Undang-Undang Pemilu di zaman orde baru.

Sebagaimana yang tercantum dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 menyebutkan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan, Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Perubahan tersebut bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan oleh MPR, melainkan dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang. UU Nomor 23 Tahun 2003 mengatur secara keseluruhan mengenai pemilihan umum, baik pemilihan umum calon anggota legislatif, pemilihan umum presiden dan wakil presiden serta penyelenggara pemilu.

Disisi lain juga, Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia maka perlu juga untuk menata sistematika pergantian kekuasaan yang jelas dan transparan agar rakyat selaku pihak yang memiliki kedudukan tertinggi dalam sistem demokrasi dapat meneropong ekosistem politik yang ada. Dalam peralihan kekuasaan Indonesia menganut sistem multipartai yang mana setiap warga negara dapat ikut serta dalam kontestasi politik dengan bergabung dalam partai politik untuk berjuang memperebutkan kekuasaan dan pengaruh dalam suatu wilayah yang diperjuangkan. 

Pemilu merupakan bentuk nyata dari arena pertarungan yang sah untuk digunakan setiap partai yang ikut serta dalam menyebarluaskan pengaruhnya dan juga untuk mencapai setiap kepentingan yang diperjuangkan. Tak bisa dipungkiri, bahwa setiap partai politik memiliki arah masing-masing dalam hal ide dan ideologi politik, sehingga pemilu dapat menjadi ajang pertarungan ide-ide tersebut secara adil karena pada dasarnya setiap partai yang lolos sebagai kontestan dalam pesta demokrasi ini memiliki kedudukan yang sama di mata konstitusi.

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam proses penyempurnaan pemilihan umum. Dalam sejarah perpolitikan Indonesia suasana panas saat pemilu telah mengalami banyak pertumpahan darah yang memberikan banyak pembelajaran untuk menjadi kaca intropeksi bagi Indonesia di hari ini. Seperti yang telah disebutkan bahwa pada dasarnya setiap aktor politik memiliki kepentingan tersendiri yang menjadi pertimbangan segala bentuk usaha penetrasi politik untuk mencapai political interest  masing-masing kelompok, sehingga sistem politik perlu diatur sedemikian rupa agar usaha-usaha yang dipilih dan diterapkan oleh aktor-aktor tersebut tidak melewati batas yang telah ditetapkan oleh konstitusi dan salah satunya melalui pemilihan umum sebagai bentuk pengamanan terhadap sistem demokrasi yang telah sepakat diterapkan di Indonesia.

Dalam perjalanannya terjadi banyak sekali penyelewengan kekuasaan terutama untuk melanggengkan tenggat kekuasaan selama-lamanya. Pada masa orde lama misalnya, Presiden Soekarno pernah menetapkan dirinya sebagai Presiden Indonesia seumur hidup yang tentu saja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Keputusan ini guna melanggengkan kekuasaannya dan juga sebagai usaha dalam mewujudkan segala ambisinya yang pada akhirnya beliau diturunkan pasca gerakan 30 september yang dikepalai oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Surat Keputusan Sebelas Maret (SUPERSEMAR) yang isinya berupa surat perintah kepada Mayjen Soeharto untuk mengamankan yang pada akhirnya menjadi momentum turunnya Soekarno dari kursi kepresidenan indonesia dan diganti oleh Mayjen Soeharto sebagai penerusnya.

Setelah kejatuhan Soekarno secara de jure, Soeharto secara resmi mengambil alih tonggak kepemimpinan selanjutnya. Pemerintahan yang awalnya bertugas untuk merevisi dan memperbaiki segala kebobrokan pada masa orde lama termasuk untuk mengoreksi konsep demokrasi terpimpin menjadi demokrasi rakyat tidaklah berjalan mulus. Pada masa orde baru pemilihan umum hanya menjadi bentuk formalitas yang secara kasat mata telah dijalankan, namun secara harfiah segala proses dan tujuannya hanya mengarah pada kepentingan demi melanggengkan kekuasaan otoritarianisme Soeharto. Pada masa Pemerintahan Soeharto dilaksanakan pemilu sebanyak enam kali yaitu pada tahun, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang keseluruhan hasilnya dimenangkan oleh Golongan Karya dan hal tersebut memperlancar kepentingan Soeharto yang pada akhirnya dapat berkuasa selama 32 tahun lamanya.

Kebobrokan proses penyelenggaraan hingga hasil yang dinilai dimanipulasi untuk melanjutkan masa kekuasaan Soeharto dan menjalankan kepentingan-kepentingan oligarki, pada tahun 1998 mahasiswa serentak menuntut pengunduran diri Soeharto sebagai bentuk tanggung jawab atas kegagalan dalam memimpin bangsa dan juga merealisasikan nilai-nilai demokrasi yang ada.  Pengalaman selama masa Orde Lama dan Orde Baru cukup memberikan kesan yang mendalam dalam sistem politik Indonesia. Peran elit yang terlalu dominan membuat masyarakat tidak berdaya untuk membangun dirinya dan terlibat dalam menciptakan sistem politik yang stabil, malah sebaliknya timbul beberapa persoalan yang tidak terselesaikan. Masyarakat atau rakyat merupakan penentu berjalannya suatu sistem politik, karena masyarakat dianggap sebagai subjek dan objek dari sistem politik yang ada. 

Akhirnya pada masa pasca reformasi disusunlah segala bentuk proses yang sesuai dengan ide ide yang diperjuangkan dengan pembatasan masa kepemimpinan Presiden agar selama lima tahun dengan batas kepemimpinan selama dua periode sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi pemerintah dan oligarki dalam menjalankan kepentingan politiknya yang banyak merugikan rakyat

TINJAUAN HUKUM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT (PENUNDAAN PEMILU)

       Pada 2 Maret 2023, masyarakat kembali dikejutkan dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, yang memberi perintah kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan penundaan Pemilu 2024 (Firmansyah, 2023). Latar belakang lahirnya putusan ini, bermula sejak adanya registrasi gugatan perdata tertanggal 8 Desember 2022 yang diajukan oleh pihak Penggugat dan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Adanya pengajuan perkara tersebut dilatarbelakangi oleh putusan KPU yang tidak meloloskan Partai Prima dalam administrasi Pemilu,  sehingga dalam hal ini pihak partai merasa telah dirugikan (Sekretariat Negara, 2023).

        Muatan putusan menjadi suatu polemik disebabkan karena Majelis Hakim mengabulkan Petitum ke 5 (lima) Pihak Penggugat yang berkaitan dengan penundaan Pemilu. Dalam Putusan tersebut, untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dengan jangka waktu selama 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari dengan dalih pemulihan dan menjaga iklim keadilan serta menjadi pencegah terjadinya kejadian serupa mengenai ketidakcermatan dan ketidaktelitian.

       Adanya pemutusan penundaan terhadap pelaksanaan Pemilu 2024 yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah melampaui batas. Pada hakikatnya, proses pelaksanaan Pemilu merupakan bagian yang lekat dengan hukum ketatanegaraan sebagaimana sudah dirancang dalam UUD NRI 1945 serta aturan turunan terkait lainnya. Dimana sebagai suatu negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis, fixed term dan keberkalaan waktu menjadi ketentuan dasar dari keberlangsungan proses pemilihan umum. 

Mengutip pendapat Ali Moertopo dari sisi ketatanegaraan, pemilihan umum merupakan sarana demokrasi guna terciptanya kedaulatan. Dimana dalam hal ini secara teori dasar pemilu merupakan mekanisme awal dari semua proses rangkaian kehidupan ketatanegaraan (Hestu Cipto, 2009). Dengan adanya putusan Pengadilan Negeri ini dengan wacana penundaan pemilu pada hakikatnya dapat melahirkan efek domino, yakno abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Hal tersebut disebabkan diperkuat dengan fakta bahwa: 

Pertama, bertentangan dengan konstitusi negara dan Peraturan Perundang-Undangan. Pada hakikatnya konstitusi suatu negara merupakan the higher law dan fundamental law (Siagian 2022, 17). Mengutip pendapat Putu Ari Astawa, keberadaan konstitusi menjadi pembatas wilayah kekuasaan dari penyelenggara negara dengan maksud agar pemerintah tidak dapat melakukan hal yang sewenang-wenang serta pemenuhan hak-hak warga negara. Pengaturan dasar terkait pemilu diatur dalam Pasal 22 E Ayat (1) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa pemilu harus dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur. dan adil (Luber Jurdil) dan pelaksanaanya harus dalam 5 (lima) tahun sekali. Adanya wacana penundaan pemilu ini, akan memberikan imbas pada masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini akan berdampak kepada terlanggarnya Pasal 7 UUD NRI 1945 kita yang menyatakan bahwa:

      "Presiden dan Wakil Presiden      memegang jabatan selama 5 (lima) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."

     Jika melihat penundaan pemilu Undang-Undang Indonesia,  sudah mengatur hal-hal yang dapat menjadi syarat utama penundaan pemilu. Pada Pasal 431 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang dapat disimpulkan bahwa penundaan pemilu dapat diilhami dalam hal terjadinya suatu gangguan keamanan atau terjadinya suatu bencana.

       Pada hakikatnya, penundaan pemilu yang tercantum dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merupakan hal tak berdasar, baik dalam konstitusi maupun peraturan-perundangan. Oleh karena itu, penundaan pemilu ini tidak dapat direalisasikan mengingat keadaan Indonesia saat ini tidak dalam keadaan yang diilhami dalam penundaan pemilu.

    Kedua, pemilu bukanlah ranah pengadilan negeri. Mengutip pendapat dari Masidin, SH., MH., Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada dasarnya tidak memiliki wewenang untuk memutuskan penundaan pemilu pada tahun 2024 ("HAKIM PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT TIDAK BERWENANG MEMUTUS PERKARA PENUNDAAN PEMILU TAHUN 2024 -- Fakultas Hukum" 2023). Hal ini juga seirama sebagaimana diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang menegaskan bahwa yang mempunyai kuasa menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan pemilihan umum adalah Badan Pengawas Pemilihan Umum ("Putusan PN Jakpus Penundaan Pemilu, Menkopolhukam: Kita Harus Lawan Secara Hukum" 2023),  yang memiliki wewenang dalam masalah selama proses pemilihan, Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyelesaikan masalah berkaitan dengan sengketa tata usaha negara, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu terkait kode etik dan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan penyelesaian masalah hasil pemilihan umum. Sedangkan, jika kita melihat kepada Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, lingkup kekuasaan pengadilan umum hanya sebatas untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara yang berkaitan dengan sengketa pidana atau perdata. Kembali kepada dasar permasalahan gugatan yang sudah tercantum dalam surat gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjadi akar permasalahan adalah tidak lolosnya Partai Prima sebagai peserta pemilu dan jika kita menganalisis lebih lanjut ini berkaitan dengan Pasal 173 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 terkait pengesahan peserta pemilu. Permasalahan ini, bila dikaitkan kembali dengan dasar kekuasaan pengadilan umum pada dasarnya pengadilan negeri ini tidak memiliki wewenang untuk memutus sebuah perkara diluar wewenang dasarnya. 

         Ketiga, terkait penundaan 2 tahun 4 bulan 7 hari dan kaitannya dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Perbuatan Melawan Hukum (PMH) merupakan ranah hukum perdata (privat) yang memiliki makna tindakan seseorang yang melanggar hak orang lain atau telah melakukan tindakan yang berlawanan dengan kewajiban hukum (Gunawan  & Kartini 2017). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) Perbuatan Melawan Hukum (PMH) tercantum dalam  Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH Perdata. Dalam perbuatan melawan hukum memiliki beberapa unsur diantaranya ("Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum." 2021):

  1. Terpenuhinya unsur perbuatan melawan hukum;

  2. Adanya unsur kerugian;

  3. Adanya unsur kesalahan;

  4. Terpenuhinya hubungan kausal antara pmh yang menyebabkan kerugian tersebut. 

             Dalam kasus di atas dapat disimpulkan bahwa Majelis Hakim telah mengabulkan untuk menunda pemilu selama 2 tahun 4 bulan 7 hari, putusan ini sama sekali tidak berkaitan dengan hukum privat yang seyogyanya mengatur antara orang perseorangan. Ranah pemilu merupakan ranah bagi masyarakat luas. Sehingga, dalam hal permasalahan pemilu seharusnya diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

       Hiruk pikuk situasi menjelang tahun politik 2024 merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Tidak selamanya proses penyelenggaraan pemilu berjalan dengan lancar. Akan selalu ada kemungkinan terjadi hambatan dalam penyelenggaraan pemilu, baik saat pemilu berlangsung, maupun sebelum pemilu berlangsung. Permasalahan terkait dengan ketidakpuasan terhadap keputusan penyelenggara pemilu, pelanggaran pidana, maupun pelanggaran administratif merupakan permasalahan yang biasa dikenal dengan sebutan sengketa pemilu (Anwar, 2019, 75). Pada pemilu 2024, terdapat sengketa pemilu bahkan sebelum proses pemilu itu berlangsung. Sengketa pemilu tersebut berasal dari putusan kontroversial dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang penundaan proses pemilu 2024, dimana Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) mengajukan gugatan perdata kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas verifikasi yang dilakukan oleh KPU, yang menyebabkan Partai Prima tidak lolos dan tidak dapat mengikuti Pemilu 2024 (Fazlur, 2023). Setelah putusan tersebut dikeluarkan pada tanggal 2 Maret 2023, berbagai komponen masyarakat Indonesia banyak yang mengkritik putusan tersebut. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dinilai telah melanggar yurisdiksi dengan memutuskan suatu perkara yang semestinya tidak ditangani oleh Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri tidak memiliki kewenangan untuk memutus hal terkait dengan pemilu, dikarenakan masuk ke dalam ranah Pengadilan Tata usaha Negara (PTUN), bukan Pengadilan Negeri (PN). Apa yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak sesuai dengan konstitusi dan harus ditindak secara tegas oleh Komisi yudisial serta Mahkamah Agung untuk memeriksa hakim terkait.

       Gugatan dari Partai Prima ini bukan merupakan gugatan pertama. Sebelumnya, Partai Prima pernah mengajukan gugatan terkait hasil verifikasi administrasi partai peserta pemilu ke Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum). Permohonan tersebut diajukan di Bawaslu pada tanggal 20 Oktober 2022 dengan 3 (tiga) petitum. Petitum pertama, mereka meminta Bawaslu menjatuhkan putusan yang menyatakan bahwa KPU telah melakukan pelanggaran administrasi pemilu terhadap Partai Prima. Kedua, mereka meminta Bawaslu menyatakan Partai Prima sebagai peserta pemilu 2024. Petitum ketiga, Partai Prima meminta Bawaslu memerintahkan KPU untuk melakukan perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme pada tahapan Pemilu berupa penetapan Partai Prima sebagai partai politik peserta pemilu 2024 (Akbar, 2023). Sementara itu, KPU menyatakan bahwa mereka telah melakukan verifikasi administrasi perbaikan secara benar sesuai putusan Bawaslu. Oleh karena itu, KPU meminta kepada Bawaslu untuk menolak gugatan Prima, sehingga  permohonan sengketa tersebut ditolak melalui putusan Bawaslu. 

     Setelah permohonan gugatan tersebut ditolak oleh Bawaslu, Partai Prima mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta pada tanggal 30 November 2022 terkait berita acara hasil verifikasi administrasi. PTUN Jakarta mengeluarkan ketetapan dismissal terkait gugatan tersebut (Rahayu, 2023). PTUN Jakarta mengeluarkan ketetapan dismissal yang substansinya menyatakan bahwa PTUN Jakarta tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tersebut. 

      Tidak hanya itu, Partai Prima juga mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat pada tanggal 8 Desember 2022 dengan objek gugatan yaitu dirugikannya Partai Prima atas tindakan KPU saat proses verifikasi administrasi. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) dan merugikan Partai Prima sehingga KPU harus membayar ganti rugi sebesar Rp 500 juta, serta melaksanakan sisa tahapan pemilu kurang lebih 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan dan 7 (tujuh) hari sejak putusan dibacakan. Artinya, pemilu yang seharusnya dilaksanakan pada 14 Februari 2024 ditunda ke Juli 2025. 

        Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas perkara perdata yang digugat oleh Partai Prima dapat segera dieksekusi karena terdapat amar putusan yang menyatakan bahwa "Putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad)". Kendati demikian, eksekusi baru bisa dilaksanakan setelah Partai Prima mengajukan permohonan eksekusi terhadap Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Setelah itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan meminta izin eksekusi kepada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Jika diizinkan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan membuat surat penetapan eksekusi. 

      Partai Prima menunda permohonan eksekusi dan mengusulkan opsi damai kepada KPU. Partai Prima menyatakan akan mencabut gugatannya yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan syarat KPU harus menetapkan Partai Prima sebagai peserta pemilu 2024. Namun, KPU jelas menolak karena opsi damai tersebut tidak diatur dalam UU Pemilu. KPU memilih untuk menghadapi gugatan Partai Prima lewat jalur hukum. Melalui hal itu, KPU akhirnya mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut pada Jumat, 10 Maret 2023. Selanjutnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta akan memutuskan untuk menerima atau menolak banding KPU. Jika diterima, putusan penundaan Pemilu pun akan gugur.         

                 Jika dilihat dari ketiga lembaga di atas, baik itu Bawaslu, Pengadilan Tata Usaha Negara, maupun Pengadilan Negeri, yang menyetujui gugatan Partai Prima hanya Pengadilan Negeri. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, menyebutkan bahwa konstitusi tertinggi di Indonesia yang harus dimaknai sebagai norma yang wajib ditaati oleh seluruh komponen negara. Konstitusi tidak dapat diubah hanya karena alasan politik yang dimana hanya membawa dampak terhadap beberapa pihak (Setiawan, 2022, 199).

         Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyetujui gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), dimana KPU digugat untuk mengganti rugi sebesar Rp 500 juta serta melakukan penundaan pemilu yang menimbulkan polemik di masyarakat. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU untuk menunda tahapan Pemilu tahun 2024 dinilai sangat tidak relevan. Gugatan yang diajukan oleh Partai Prima terhadap KPU disebabkan karena Partai Prima merasa dirugikan dalam tahapan dan verifikasi partai politik calon peserta pemilu 2024. Saat tahapan verifikasi administrasi, Partai Prima dinyatakan tidak memenuhi syarat keanggotaan sehingga tidak dapat diproses ke tahapan verifikasi faktual. Pada intinya, gugatan ini hanya menyoal pada tahapan verifikasi faktual partai politik peserta Pemilu 2024, sehinggq tidak ada penjelasan kausalitas yang rasional antara gugatan dari Partai Prima terhadap KPU (Farisa, 2023).

         Pada hakikatnya, kewenangan pemilu merupakan wewenang dari KPU, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Berdasarkan Pasal 431, menegaskan bahwa penundaan pemilu hanya dapat terjadi apabila memang terjadi gangguan yang dapat mengancam keamanan serta bencana alam. Sedangkan, jika kita kaitkan syarat tersebut dengan pengeluaran putusan penundaan pada hari ini, sangatlah tidak relevan. Hal ini disebabkan bahwa Indonesia sedang tidak mengalami suatu hal yang sebagaimana sudah menjadi ketentuan dapat dilakukannya penundaan. 

     Pada Pasal 22E Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara jelas menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 (lima) tahun sekali. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyetujui penundaan Pemilu dengan menyatakan bahwa "Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari". Hal tersebut merupakan putusan yang telah melanggar konstitusi, sebab dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 telah dijelaskan bahwa pemilihan umum dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali. 

           Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat seharusnya memahami hal-hal tersebut. Putusan ini juga merupakan wujud cacat hukum serta implementasi dari penyelewengan kewenangan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Firmansyah, 2023). Sejak awal pengajuan gugatan yang dilakukan oleh Partai Prima, seharusnya Majelis Hakim menolak gugatan tersebut sebab dalam Pasal 471 UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu telah diatur bahwa sengketa proses pemilu diselesaikan melalui Bawaslu dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, bukan melalui Pengadilan Negeri. Namun pada faktanya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima gugatan tersebut dan menghukum tergugat yang dalam hal ini merupakan KPU untuk melakukan penundaan Pemilu.


POLITICAL INTEREST PARTAI PRIMA TERKAIT GUGATAN DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT

Suasana politik di Indonesia memanas pasca Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan dari Partai Adil dan Makmur terkait ketidakadilan dalam proses verifikasi peserta Pemilu 2024 dalam gugatan perlawan melawan hukum yang telah dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum. Dalam proses seleksi dalam menjadi bagian dari peserta pesta demokrasi di indonesia perlu melewati serangkaian proses seleksi guna menjamin bahwa setiap partai politik yang mengikuti segala proses pemilu 2024 adalah partai yang memiliki kredibilitas dari segi hukum dan juga politik. 

Dalam ekosistem politik di Indonesia, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seluruh partai politik apabila ingin menjadi calon peserta pesta demokrasi di Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Berdasarkan Pasal 173 UU No 7/2017 tentang syarat-syarat agar partai politik dapat menjadi bagian dari peserta pemilu diantaranya adalah:

  1. Berstatus badan hukum sesuai dengan undang-undang memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;

  2. Memiliki kepengurusan di 75 persen, jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;

  3. Memiliki kepengurusan di 50 persen (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;

  4. Menyertakan paling sedikit 30 persen (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;

  5. Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/ 1000 dari jumlah penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;

  6. Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;

  7. Mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU;

  8. Menyertakan nomor rekening dana kampanye pemilu atas nama partai politik kepada KPU.

Selain persyaratan menurut UU Nomor 7/2017, ada juga peraturan tentang pembedaan perlakuan yang dilakukan KPU untuk memastikan dokumen partai politik calon peserta pemilu. Pembedaan perlakuan itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55 Tahun 2020. Putusan MK itu membagi parpol dalam 3 kategori. Yaitu, partai politik peserta Pemilu 2019 yang lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT), partai politik peserta Pemilu 2019 yang tidak lolos PT, dan partai baru. Bagi partai politik yang lolos PT dan punya wakil di DPR cukup melewati tahap verifikasi administrasi tanpa verifikasi faktual. Sedangkan parpol yang tak lolos PT dan parpol baru, wajib melewati dua tahapan tersebut. Selain itu, untuk partai politik yang tidak lolos parliamentary threshold  dan partai politik baru, wajib dilakukan verifikasi secara administrasi maupun faktual.

Dalam kasus yang mendorong Partai Prima melayangkan gugatan terhadap KPU di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam tahapan verifikasi administrasi perbaikan pasca keputusan Bawaslu. Partai Prima dianggap masih belum memenuhi syarat dokumen keanggotaan di enam kabupaten di Papua.

Hal ini mendorong partai Prima mengirimkan gugatan atas KPU akibat putusan hasil verifikasi yang dirasa tidak memenuhi nilai transparansi. Laporan ke PN Jakpus bukanlah gugatan pertama yang dilayangkan oleh partai Prima sebagai bentuk kekecewaan terhadap hasil proses verifikasi yang dilakukan oleh KPU dalam menentukan peserta Pemilu 2024 nanti. Gugatan tersebut diantaranya adalah : 

  1. Pertama pada 20 Oktober 2022, mengajukan gugatan sengketa ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait berita acara hasil verifikasi administrasi persyaratan partai politik peserta Pemilu 2024.

Bawaslu menolak permohonan sengketa yang diajukan Partai Prima dengan Nomor Putusan Bawaslu 002/PS.REG/Bawaslu/X/2022

  1. Kedua, pada 30 November 2022, Partai Prima mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan nomor register 425/G/2022PTUN.JKT. Objek sengketa yang sama diajukan ke Bawaslu, yakni berita acara hasil verifikasi administrasi persyaratan partai politik peserta Pemilu 2024. Atas gugatan tersebut PTUN menyatakan tidak berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara tersebut lantaran objek sengketa adalah berita acara.

  2. Ketiga, Partai Prima mengajukan upaya hukum lanjutan dengan mengajukan gugatan sengketa proses pemilu ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) dalam putusan nomor 468/G/SPPU/2022/PTUN Jakarta pada 26 Desember 2022, pada pokoknya gugatan penggugat, dalam hal ini Partai prima, tidak diterima.

  3. Keempat, yakni mengajukan perbuatan melawan hukum ke PN Jakpus dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. pada 8 November 2022. Objek gugatan yang dilayangkan Partai Prima yakni dirugikannya Partai Prima oleh tindakan KPU saat proses verifikasi administrasi yang kemudian diputus oleh PN Jakpus, pada pokoknya KPU melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan tersebut diketok pada Kamis, 2 Maret 2023.

Usaha ini merupakan bentuk implementasi kekecewaan Partai Prima terhadap putusan yang diberikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait ketidak lolosan Partai Prima sebagai kontestan Pemilu 2024. Kegagalan ini tentu saja menutup langkah Partai Prima ke senayan dalam mengirimkan utusannya untuk menduduki kursi di DPR sebagai perjuangkan mencapai kepentingan Partainya. Sebagai partai politik baru Partai Prima tentu perlu penetrasi yang masif demi menarik minat publik agar jalan tol menuju kekuasaan dapat terbuka dengan lancar. Namun, putusan yang diberikan oleh KPU bak kemacetan yang menghambat jalan Partai Prima untuk melakukan hal tersebut sehingga Partai Prima mengajukan pemberhentian proses persiapan Pemilu 2024.

Kegagalan yang memicu gugatan ini juga menutup usaha invasi pengaruh politiknya ke berbagai lapisan dan berbagai daerah di Indonesia, karena kegagalan proses verifikasi ini dapat menutup keran kepercayaan masyarakat terhadap Partai Prima sebagai partai baru yang dapat memberikan nafas dan harapan baru yang tentunya menjadi keuntungan bagi mereka di tengah kondisi  ekosistem politik Indonesia yang telah membuat berbagai lapisan khususnya anak muda memiliki sikap pesimistis terhadap perkembangan dinamika politik di Indonesia.

Kegagalan Partai Prima dalam proses verifikasi sebagai kontestan Pemilu 2024 juga membuat Partai Prima semakin jauh dari circle Kekuasaan yang dapat mengangkat kepentingan-kepentingan politiknya dalam skala nasional seperti halnya tujuan dibentuknya seluruh partai politik yang ada.

Pengaruh Invisible Hand Dalam Putusan Penundaan Pemilu Oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 

Menjelang Pilpres 2024 mesin politik partai mulai panas. Pihak penyelenggara pemilu, KPU, tidak kalah seru terlibat dalam dinamika politik 5 tahunan, menyiapkan dan menjalankan segala hal yang dibutuhkan dalam  menyukseskan pelaksanaan pemilu 2024. KPU berusaha keras menyelenggarakan tahapan pemilu sesuai jadwal. Hanya saja, agenda Pemilu yang sudah ditentukan justru terus mengalami gangguan, terus diterpa isu miring. Banyak pihak yang menginginkan pemilu diundur atau ditunda pelaksanaannya. 

Patut diduga keterlibatan kekuatan tangan tidak terlihat (invisible hand) yang akan terus memaksakan kehendak untuk menunda atau bahkan menghalangi pelaksanaan pemilu sesuai jadwal. Herannya, berbagai isu dan ancaman menggagalkan pemilu justru intensitasnya semakin naik di detik-detik akhir persiapan pemilu akan dilaksanakan. Pada rapat kerja Komisi III DPR bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ketua PPATK Ivan Yustiavandana memaparkan bahwa terdapat 90.742 laporan transaksi keuangan mencurigakan. Anggota Komisi III DPR Benny K. Harman kemudian menekankan perihal adanya kekhawatiran mobilitas dana besar-besaran yang digunakan untuk agenda wacana penundaan pemilu 2024. 

Guncangan isu perpanjangan pemilu kembali mencuat. Banyak tokoh nasional, seperti Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ikut serta mengomentari jika isu penundaan merupakan tindakan aneh perlu dicermati. "Menyimak putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemarin (tentang Pemilu), rasanya ada yang aneh di negeri ini. Banyak pikiran dan hal yang keluar dari akal sehat. Apa yang sesungguhnya terjadi? What is really going on", Begitu tweet akun Twitter pribadinya @SBYudhoyono. Setidaknya, terdapat 38 tokoh nasional yang ikut berpendapat terkait isu penundaan pemilu ini yang mana 74% pendapat tersebut menolak penundaan pemilu. 

Menkopolhukam Mahfud MD sudah mencoba mengklarifikasi dengan membuat statemen bahwa "Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membuat sensasi yang berlebihan. Masak, KPU divonis kalah atas gugatan sebuah partai dalam perkara perdata oleh PN. Bahwa vonis itu salah, logikanya sederhana, mudah dipatahkan tapi vonis ini bisa memancing kontroversi yang bisa mengganggu konsentrasi. Bisa saja nanti ada yang mempolitisir seakan-akan putusan itu benar", namun hal ini menjadi aneh karena statemen perdebatan penundaan pemilu digiring oleh orang-orang istana sendiri, dan cukup kontradiktif dengan statement Mahfud MD selaku Menko Polhukam, yang notabenenya merupakan orang istana. 

Usulan penundaan pemilu kerap digulirkan oleh jajaran menteri kabinet pemerintahan Jokowi, ketua parpol, hingga para kepala desa. Dapat dikatakan bahwa ada sebuah upaya yang menyalakan isu ini dari level atas hingga level bawah. Isu penundaan pemilu jauh-jauh hari sudah digelembungkan oleh elite politik. Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) pernah mengutarakan pendapatnya pada tahun 2021 berdasarkan komunikasi atau percakapan penundaan pemilu yang didapatkan di big data percakapan media sosial. Luhut memberikan argumen bahwa melalui big data tersebut disimpulkan secara umum masyarakat memberikan lampu hijau penundaan pemilu.

Isu penundaan pemilu kembali viral ketika sejumlah elite parpol pendukung penundaan pemilu dilaksanakan setahun setelah statement Luhut tersebut. Ketua partai seperti Muhaimin Iskandar dan Zulkifli Hasan juga memberikan sinyal jika mereka setuju pemilu ditunda. Sejumlah petinggi partai dan juga pejabat tinggi negara tersebut berdalih jika pemilu layak ditunda minimal 2 tahun untuk memberikan perpanjangan waktu bagi pemerintah melaksanakan program dan agenda kerjanya yang terpotong akibat Pandemi Covid 19.

Hal-hal tersebut membuktikan bahwasanya meskipun lingkaran istana seakan menegaskan penolakannya terhadap putusan yang ditetapkan oleh PN Jakpus, namun pada dasarnya isu terkait penolakan ini pun berawal dari segelintir elit-elit penghuni gedung putih yang dilayangkan guna melanggengkan kekuasaan rezim yang berkuasa saat ini, sehingga pemerintah perlu berkaca dan sadar bahwasanya setiap statementnya dapat menjadi bahan pertimbangan dan mungkin menjadi salah satu alasan mengapa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berani dalam memberikan putusan pemberhentian proses Pemilu 2024.

EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMILU

Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia merupakan wujud dari pelaksanaan demokrasi rakyat Indonesia untuk memilih Anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden, Wakil Presiden serta memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Penyelenggaraan Pemilu harus dilaksanakan secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, Adil, dan Demokratis sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam penyelenggaraan Pemilu rakyat diberikan hak untuk menentukan kebijakan ke depan melalui pemimpin atau wakil rakyat yang dikehendaki.

Secara umum, evaluasi bertujuan untuk menganalisis sejauh mana rekayasa elektoral yang telah berjalan kemudian telah mampu mewujudkan tujuan-tujuan untuk mendorong terbentuknya pemerintahan presidensial yang kuat dan efektivitas serta efisiensi penyelenggaraan pemilu dari sisi anggaran, manajemen konflik, dan waktu. Secara lebih spesifik, evaluasi yang akan dilakukan juga bertujuan untuk menganalisa sejauh mana upaya yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pemilu dalam rangka menjalankan tugas, wewenang, dan kewajiban seperti yang telah diamanatkan oleh Pasal UU No. 7 Tahun 2017.

Penegakan Hukum dalam Pemilu

Berdasarkan UU No.7/2017 Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Pemilu dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu yang terdiri dari Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Saat ini Bawaslu sebagai lembaga pengawas Pemilu sudah memiliki kewenangan lebih dibandingkan saat baru berdiri pada tahun 2008 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU No.7/2017). Namun kekuatan ini masih menjadi pertanyaan bagi banyak pihak seolah belum yakin dengan diperluasnya tugas dan kewenangan Bawaslu akan mengawal proses demokrasi dalam penegakan hukum Pemilu. Perkumpulan untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem) menilai pembaruan penegakan hukum Pemilu yang dilakukan selama 2017 belum optimal. Padahal, peran tersebut menjadi bagian penting untuk mewujudkan Pemilu yang demokratis. 

Permasalahan ini semakin bertambah dengan diselenggarakannya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif dan Dewan Perwakilan Daerah secara serentak. Pasal 347 UU No. 7/ 2017, mengamanatkan bahwa pemungutan suara Pemilu diselenggarakan secara serentak. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berdasarkan survey pada tahun 2018 terhadap 145 orang para ahli politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam dari 11 (sebelas) provinsi di Indonesia itu telah memprediksi potensi masalah dalam Pemilu Serentak 2019. Potensi masalah paling besar adalah politik uang (89 persen), kemudian sengketa hasil Pemilu (76,6 persen), ketidaknetralan birokrasi (66,2 persen), pemilih yang tidak menggunakan hak suara (53,1 persen), intimidasi dalam Pemilu (46,2 persen), dan penggunaan kekerasan dalam Pemilu (32,4 persen). ) Proses pemungutan suara dan penghitungan suara paling banyak disoroti karena menimbulkan banyak korban jiwa dan kecurigaaan bagi penyelenggaraan Pemilu. KPU dan Bawaslu beserta jajarannya menjadi sasaran tembak anggota masyarakat yang sangat mengharapkan proses demokrasi di Indonesia berjalan sesuai dengan Undang-Undang.

Permasalahan terkait ketidakjelasan penanganan pelanggaran administrasi Pemilu terlihat antara lain dalam hal batasan wewenang pada tahapan rekapitulasi hasil perolehan suara. Meskipun UU Pemilu memisahkan secara tegas tahapan rekapitulasi hasil perolehan suara dengan perselisihan hasil Pemilu, namun kedua tahapan ini dalam prakteknya beririsan dalam konteks waktu penyelenggaraannya, maka sangat dimungkinkan hasilnya bertubrukan dengan proses penyelesaian perselisihan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi. Padahal terbuka kemungkinan putusan dari kedua lembaga ini tidak sama atau simetris, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.

Penegakan etika penyelenggara Pemilu merupakan instrumen penting dalam rangka mewujudkan integritas Pemilu, karena kecacatan etis penyelenggara Pemilu akan berdampak kepada kepercayaan para pemangku kepentingan Pemilu terhadap proses dalam penyelenggaraan dan hasil Pemilu. Salah satu catatan dalam penegakan etik berupa kasus yang belum tersentuh oleh DKPP yaitu terhadap penyelenggara Pemilu yang bersifat tidak tetap (adhoc). Wewenang penegakannya saat ini diserahkan kembali kepada KPU dan Bawaslu Kabupaten/Kota berdasarkan UU Nomor 7 tahun 2017 (setelah sebelumnya diletakkan di bawah wewenang DKPP). 

Berdasarkan berbagai catatan tersebut di atas, perlu dipikirkan desain sistem penegakan hukum Pemilu. Saat ini terdapat tumpang tindih putusan berbagai lembaga peradilan baik terkait pelanggaran pidana maupun administrasi Pemilu. Sistem "too many rooms to justice" menyebabkan munculnya ketidakpastian hukum yang dapat berujung pada delegitimasi proses dan hasil Pemilu. Hal ini karena kurang tegasnya pengaturan tentang asas lex-specialis dalam sistem penegakan hukum Pemilu, sehingga kasus-kasus terkait pelanggaran Pemilu masih ditangani melalui prosedur penegakan hukum di luar Pemilu (umum). Belum lagi ditambah dengan keinginan peserta Pemilu dan kuasa hukumnya untuk mencoba segala upaya hukum untuk membela kepentingannya, serta kurang konsistennya para penegak hukum dalam menerapkan hukum.

Penyelenggaraan Pemilu sejauh ini belum bisa dikatakan bisa memuaskan semua orang khususnya dari sisi penegakan hukum Pemilu. Namun hal-hal yang sudah dianggap baik harus tetap dijaga dan celah kerusakan yang ada harus segera ditambal dan diperbaiki sehingga ke depan pengawasan dan penegakan hukum Pemilu dapat terlaksana sesuai amanat UUD 1945 dan Peraturan Perundang-undangan. Dalam upaya membangun sistem penegakan hukum yang komprehensif, empat permasalahan penegakan hukum Pemilu yaitu tindak pidana Pemilu, pelanggaran administrasi Pemilu, perselisihan administrasi Pemilu dan perselisihan hasil Pemilu harus didefinisikan secara jelas, demi memudahkan keterlibatan pemilih, peserta, kandidat, pemantau dan penyelenggara Pemilu dalam pelaksanaan tahapan-tahapan Pemilu. Dengan demikian undang-undang yang mengatur Pemilu harus disempurnakan, lalu lembaga-lembaga yang menangani masalah hukum Pemilu harus diperkuat dan ditata kembali.

Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu

Indonesia sebagai negara demokratis sudah seharusnya melibatkan sebagian besar rakyat dalam proses pengambilan keputusan-keputusan penting. Pelibatan masyarakat inilah yang membedakan demokratis atau tidaknya suatu negara. Mekanisme melibatkan masyarakat dalam pembuatan keputusan ini salah satunya adalah melalui pemilihan umum. Pemilihan umum adalah perwujudan dari konsep kedaulatan rakyat, dimana rakyat dilibatkan secara masif dalam proses pengambilan keputusan politik strategis. Mungkin tidak ada kegiatan politik yang secara teknis melibatkan rakyat dalam jumlah besar dan masif serta melibatkan isu-isu strategis dalam pengambilan keputusan politik kecuali pemilihan umum.

Pemilu sebagai ajang kontestasi politik berkala, memberikan ruang bagi keterlibatan rakyat secara langsung dalam menentukan siapa pemimpinnya baik di eksekutif maupun legislatif. Para elit politik terpilih adalah para pembuat keputusan yang memiliki legitimasi membuat kebijakan publik yang akan menentukan nasib rakyat. Mandat rakyat kepada para elit politik ini secara berkala akan ditinjau kembali dalam waktu tertentu. Hubungan antara elit dengan rakyat biasa, menghasilkan konsep perwakilan politik yang sering kali menimbulkan masalah akuntabilitas demokratis. 

Pemilihan umum yang berkualitas memiliki beberapa kriteria yaitu adanya kesempatan kepada rakyat untuk; memilih secara bebas antara tawaran kebijakan yang berbeda dan partai atau kandidat yang saling bersaing; pada saat yang sama meminta pertanggungjawaban pejabat terpilih untuk tindakan atau keputusan yang mereka lakukan, dan mentransformasikan konsepsi kedaulatan rakyat dalam tindakan politik riil yang sesungguhnya. Sehingga pemilu yang berkualitas pada dasarnya menuntut hadirnya pemilih yang memiliki kapasitas politik tertentu, yang memiliki tanggung jawab dan kesadaran sebagai warga negara yang baik (good citizen) yang memiliki informasi yang cukup dan memadai untuk membuat keputusan-keputusan politik yang strategis.

Rakyat memiliki hak untuk mengawasi dan berpartisipasi dalam politik melalui berbagai mekanisme antara lain bisa menggunakan media massa, kelompok kepentingan, kelompok penekan, atau bahkan saat ini media sosial sering digunakan sebagai ruang publik di mana diskusi, debat dan dialog secara terbuka dilaksanakan. Partisipasi politik membutuhkan kehadiran ruang publik yang sehat dimana interaksi antara aktor-aktor politik berjalan setara dan dinamis.

Partisipasi masyarakat dalam pemilu dapat dikategorisasikan dalam beberapa aktifitas Pertama, sebagai pemilih, masyarakat umumnya menganggap partisipasi dalam pemilu sebatas memberikan suara di TPS. Hal ini tidak salah tapi sebenarnya dalam teori partisipasi ini adalah bentuk partisipasi paling minimal. Kedua, sebagai pemantau pemilu, pemantau pemilu terdiri dari Lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau CSO (Civil Society Organization) yang ikut mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu. Dalam Undang-undang Pemilu No. 7 Tahun 2017, pendaftaran dan akreditasi pemantau pemilu berada pada wilayah kewenangan Badan Pengawas Pemilu. Ini berarti secara legalitas Pemantau Pemilu diperoleh dari Bawaslu, dimulai dari pelaporan hingga sanksi berlaku sama dan berjenjang, segala kewenangan terkait dengan Pemantau Pemilu berada di lembaga pengawas yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan berlaku sesuai tingkatannya (provinsi/ kabupaten/kota). Hal ini juga baik untuk kemajuan pengawasan karena akan adanya sinergi antara Bawaslu dengan pemantau pemilu sendiri khususnya terkait penetapan kode etik, hak dan kewajiban pemantau pemilu ini dan juga pelaporan. Ketiga, sebagai pengawasan partisipatif. Dalam hal ini Bawaslu melibatkan civil society sebagai salah satu kontingen dalam pelaksanaan pengawasan yang berintegritas. Pengawasan partisipasi ini direkrut mulai dari pendekatan melalui perpanjangan tangan Bawaslu yang berada di tingkat kabupaten/ kota, kecamatan dan juga desa/kelurahan, serta pendekatan kultural dengan merekrut mahasiswa, LSM dan juga pelajar. 

KESIMPULAN

Putusan pengadilan negeri Jakarta Pusat terkait penundaan pemilu memicu kontroversi di masyarakat. Masyarakat menilai putusan PN Jakpus yang dilatarbelakangi gugatan dari Partai Prima yang tidak lolos oleh KPU. Hal ini menjadi perbincangan karena dianggap bertentangan terhadap beberapa hal seperti konstitusi Pasal 22 E Ayat (1) UUD NRI 1945 yang dimana menjelaskan bahwa pelaksanaan pemilu adalah 5 tahun sekali. Jika terjadi penundaan pemilu berarti pemilu tersebut tidak dilaksanakan selama 5 tahun sekali dan terjadi perpanjangan masa jabatan. Selain itu hal yang juga disoroti adalah ranah dari pada pengadilan negeri Jakarta Pusat. Pengadilan negeri manapun dalam hal ini Jakarta Pusat tidak memiliki wewenang untuk memutuskan penundaan pemilu. Merujuk UU No.51 Tahun 2009 jo UU No.7 Tahun 2017 terkait pemilu, yang memiliki kuasa terhadap masalah pemilu seperti sengketa yaitu Bawaslu. Selain itu ada Dewan Kehormatan penyelenggara pemilu terkait kode etik dan Mahkamah Konstitusi terkait masalah hasil pemilu, jadi bukan pengadilan negeri.

Partai Prima sebagai partai yang menggugat tentu banyak yang bertanya-tanya sebenarnya apa dibalik itu semua. Isu ini seperti ada invisible hand di belakangnya karena beberapa kali isu penundaan ini naik bahkan dari elit-elit partai politik. Ini menjadi salah satu pekerjaan rumah baik dari penyelenggara atau pengawas pemilu dan memastikan pemilu ini berjalan sesuai dengan konstitusi tanpa adanya pengaruh dari kekuatan-kekuatan besar politik. Perlu ditekankan bahwa pemilu ini adalah sebuah kontestasi dan melibatkan partisipasi masyarakat secara umum. Sehingga rakyat memiliki hak untuk menentukan pemimpin baik eksekutif atau legislatif yang nantinya juga mengeluarkan kebijakan untuk kepentingan rakyat bukan hanya untuk kepentingan elit-elit saja. 

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Jurdi, F, Pengantar Hukum Pemilihan Umum, (Kencana, 2018).

 

Jurnal

Anggara, D. I. 2020. Analisis Strategi Politik Calon Kepala Desa Incumbent Dalam  

Menghadapi Pemilihan Kepala Desa Di Desa Balong Tahun 2019. Umpo Repository.

Anwar, A. H. 2019. Peran Bawaslu dalam Penegakan Hukum dan Keadilan Pemilu, 

3.2: 89.

Astawa, I. P. A. 2017. Negara Dan Konstitusi. Universitas Udayana.

Sarbaini. 2015. Demokratisasi dan Kebebasan Memilih Warga Negara dalam 

Pemilihan Umum. Jurnal Inovatif. 3.1: 107.

Setiawan, R. B. 2022. Realisasi Wacana Penundaan Pemilihan Umum: Manifestasi 

Kontraindikasi Terhadap Supremasi Konstitusi dan Demokrasi. Jurnal APHTN-HAN. 1.2.

Siagian, A. W. 2022. Konstitusional Penundaan Pelaksanaan Umum Tahun 2024. 

Jurnal Legislatif. 5.2: 102.

 

Internet

Akbar, P. M. Keinginan Damai dan Tiga Tuntutan Terbaru Prima Terhadap KPU.   

https://www.republika.id/posts/38522/keinginan-damai-dan-tiga-tuntutan-terbaru-prima-terhadap-kpu

Farisa, F. C. Putusan PN Jakpus soal Penundaan Pemilu 2024 Dinilai Tak Relevan dan Sangat Tidak Berdasar. Kompas.com. 

https://nasional.kompas.com/read/2023/03/03/14091221/putusan-pn-jakpus-soal-penundaan-pemilu-2024-dinilai-tak-relevan-dan-sangat

Fazlur, A. Putusan Kontroversial PN Jakarta Pusat. 

https://kumparan.com/user-26012023161434/putusan-kontroversial-pn-jakarta-pusat-201DpPfZrou

FH UNAS. Hakim Pengadilan Negri Jakarta Pusat Tidak Berwenang 

Memutus Perkara Penundaan Pemilu Tahun 2024. http://fh.unas.ac.id/hakim-pengadilan-negeri-jakarta-pusat-tidak-berwenang-memutus-perkara-penundaan-pemilu-tahun-2024/

Firmansyah, M. J. Putusan Soal Penundaan Pemilu 2024 Dinilai Cacat 

Hukum Karena Lampaui Yurisdiksi. Nasional Tempo.co. 

https://nasional.tempo.co/read/1698163/putusan-soal-penundaan-pemil

u-2024-dinilai-cacat-hukum-karena-lampaui-yuridiksi

Kepaniteraan Mahkamah Agung. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum. 

https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/glosarium-hukum/1876-unsur-unsur-perbuatan-melawan-hukum

Nasional Tempo. Sejarah Pemilu di Indonesia, dari Masa Parlementer, Orde Baru, Reformasi. 

https://nasional.tempo.co/read/1568863/sejarah-pemilu-di-indonesia-dari-masa-parlementer-orde-baru-reformasi

Nasional Tempo. Kilas Balik Sistem Proporsional Terbuka Berlaku Mulai Pemilu 2009, Ini Alasannya. 

https://nasional.tempo.co/read/1678402/kilas-balik-sistem-proporsional-terbuka-berlaku-mulai-pemilu-2009-ini-alasannya

Putusan PN Jakpus Penundaan Pemilu, Menkopolhukam: Kita Harus Lawan Secara Hukum. 

https://www.hukumonline.com/berita/a/putusan-pn-jakpus-penundaan-pemilu--menkopolhukam--kita-harus-lawan-secara-hukum-lt640169645f64b/?page=all

Rahayu, L. S. KPU Beberkan Gugatan Partai Prima Kandas di Bawaslu dan PTUN. 

https://news.detik.com/pemilu/d-6597941/kpu-beberkan-gugatan-partai-prima-kandas-di-bawaslu-dan-ptun

Sekretariat Negara. PN Jakarta Pusat Putuskan Tunda Pemilu 2024, Wapres Tegaskan, Putusan Belum Final dan Tetap pada Rencana Awal. 

https://www.setneg.go.id/baca/index/pn_jakarta_pusat_putuskan_tunda_pemilu_2024_wapres_tegaskan_putusan_belum_final_dan_tetap_pada_rencana_awal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun