Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ditjen Kajian Aksi Strategis BEM FISIP Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Akun Kompasiana Direktorat Jenderal Kajian Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Kabinet Astana Bimantara

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: Operasi Tunda Pemilu dan Pembangkangan terhadap Konstitusi

26 Maret 2023   20:56 Diperbarui: 26 Maret 2023   21:23 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hal-hal tersebut membuktikan bahwasanya meskipun lingkaran istana seakan menegaskan penolakannya terhadap putusan yang ditetapkan oleh PN Jakpus, namun pada dasarnya isu terkait penolakan ini pun berawal dari segelintir elit-elit penghuni gedung putih yang dilayangkan guna melanggengkan kekuasaan rezim yang berkuasa saat ini, sehingga pemerintah perlu berkaca dan sadar bahwasanya setiap statementnya dapat menjadi bahan pertimbangan dan mungkin menjadi salah satu alasan mengapa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berani dalam memberikan putusan pemberhentian proses Pemilu 2024.

EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMILU

Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia merupakan wujud dari pelaksanaan demokrasi rakyat Indonesia untuk memilih Anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden, Wakil Presiden serta memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Penyelenggaraan Pemilu harus dilaksanakan secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, Adil, dan Demokratis sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam penyelenggaraan Pemilu rakyat diberikan hak untuk menentukan kebijakan ke depan melalui pemimpin atau wakil rakyat yang dikehendaki.

Secara umum, evaluasi bertujuan untuk menganalisis sejauh mana rekayasa elektoral yang telah berjalan kemudian telah mampu mewujudkan tujuan-tujuan untuk mendorong terbentuknya pemerintahan presidensial yang kuat dan efektivitas serta efisiensi penyelenggaraan pemilu dari sisi anggaran, manajemen konflik, dan waktu. Secara lebih spesifik, evaluasi yang akan dilakukan juga bertujuan untuk menganalisa sejauh mana upaya yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pemilu dalam rangka menjalankan tugas, wewenang, dan kewajiban seperti yang telah diamanatkan oleh Pasal UU No. 7 Tahun 2017.

Penegakan Hukum dalam Pemilu

Berdasarkan UU No.7/2017 Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Pemilu dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu yang terdiri dari Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Saat ini Bawaslu sebagai lembaga pengawas Pemilu sudah memiliki kewenangan lebih dibandingkan saat baru berdiri pada tahun 2008 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU No.7/2017). Namun kekuatan ini masih menjadi pertanyaan bagi banyak pihak seolah belum yakin dengan diperluasnya tugas dan kewenangan Bawaslu akan mengawal proses demokrasi dalam penegakan hukum Pemilu. Perkumpulan untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem) menilai pembaruan penegakan hukum Pemilu yang dilakukan selama 2017 belum optimal. Padahal, peran tersebut menjadi bagian penting untuk mewujudkan Pemilu yang demokratis. 

Permasalahan ini semakin bertambah dengan diselenggarakannya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif dan Dewan Perwakilan Daerah secara serentak. Pasal 347 UU No. 7/ 2017, mengamanatkan bahwa pemungutan suara Pemilu diselenggarakan secara serentak. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berdasarkan survey pada tahun 2018 terhadap 145 orang para ahli politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam dari 11 (sebelas) provinsi di Indonesia itu telah memprediksi potensi masalah dalam Pemilu Serentak 2019. Potensi masalah paling besar adalah politik uang (89 persen), kemudian sengketa hasil Pemilu (76,6 persen), ketidaknetralan birokrasi (66,2 persen), pemilih yang tidak menggunakan hak suara (53,1 persen), intimidasi dalam Pemilu (46,2 persen), dan penggunaan kekerasan dalam Pemilu (32,4 persen). ) Proses pemungutan suara dan penghitungan suara paling banyak disoroti karena menimbulkan banyak korban jiwa dan kecurigaaan bagi penyelenggaraan Pemilu. KPU dan Bawaslu beserta jajarannya menjadi sasaran tembak anggota masyarakat yang sangat mengharapkan proses demokrasi di Indonesia berjalan sesuai dengan Undang-Undang.

Permasalahan terkait ketidakjelasan penanganan pelanggaran administrasi Pemilu terlihat antara lain dalam hal batasan wewenang pada tahapan rekapitulasi hasil perolehan suara. Meskipun UU Pemilu memisahkan secara tegas tahapan rekapitulasi hasil perolehan suara dengan perselisihan hasil Pemilu, namun kedua tahapan ini dalam prakteknya beririsan dalam konteks waktu penyelenggaraannya, maka sangat dimungkinkan hasilnya bertubrukan dengan proses penyelesaian perselisihan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi. Padahal terbuka kemungkinan putusan dari kedua lembaga ini tidak sama atau simetris, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.

Penegakan etika penyelenggara Pemilu merupakan instrumen penting dalam rangka mewujudkan integritas Pemilu, karena kecacatan etis penyelenggara Pemilu akan berdampak kepada kepercayaan para pemangku kepentingan Pemilu terhadap proses dalam penyelenggaraan dan hasil Pemilu. Salah satu catatan dalam penegakan etik berupa kasus yang belum tersentuh oleh DKPP yaitu terhadap penyelenggara Pemilu yang bersifat tidak tetap (adhoc). Wewenang penegakannya saat ini diserahkan kembali kepada KPU dan Bawaslu Kabupaten/Kota berdasarkan UU Nomor 7 tahun 2017 (setelah sebelumnya diletakkan di bawah wewenang DKPP). 

Berdasarkan berbagai catatan tersebut di atas, perlu dipikirkan desain sistem penegakan hukum Pemilu. Saat ini terdapat tumpang tindih putusan berbagai lembaga peradilan baik terkait pelanggaran pidana maupun administrasi Pemilu. Sistem "too many rooms to justice" menyebabkan munculnya ketidakpastian hukum yang dapat berujung pada delegitimasi proses dan hasil Pemilu. Hal ini karena kurang tegasnya pengaturan tentang asas lex-specialis dalam sistem penegakan hukum Pemilu, sehingga kasus-kasus terkait pelanggaran Pemilu masih ditangani melalui prosedur penegakan hukum di luar Pemilu (umum). Belum lagi ditambah dengan keinginan peserta Pemilu dan kuasa hukumnya untuk mencoba segala upaya hukum untuk membela kepentingannya, serta kurang konsistennya para penegak hukum dalam menerapkan hukum.

Penyelenggaraan Pemilu sejauh ini belum bisa dikatakan bisa memuaskan semua orang khususnya dari sisi penegakan hukum Pemilu. Namun hal-hal yang sudah dianggap baik harus tetap dijaga dan celah kerusakan yang ada harus segera ditambal dan diperbaiki sehingga ke depan pengawasan dan penegakan hukum Pemilu dapat terlaksana sesuai amanat UUD 1945 dan Peraturan Perundang-undangan. Dalam upaya membangun sistem penegakan hukum yang komprehensif, empat permasalahan penegakan hukum Pemilu yaitu tindak pidana Pemilu, pelanggaran administrasi Pemilu, perselisihan administrasi Pemilu dan perselisihan hasil Pemilu harus didefinisikan secara jelas, demi memudahkan keterlibatan pemilih, peserta, kandidat, pemantau dan penyelenggara Pemilu dalam pelaksanaan tahapan-tahapan Pemilu. Dengan demikian undang-undang yang mengatur Pemilu harus disempurnakan, lalu lembaga-lembaga yang menangani masalah hukum Pemilu harus diperkuat dan ditata kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun