Muatan putusan menjadi suatu polemik disebabkan karena Majelis Hakim mengabulkan Petitum ke 5 (lima) Pihak Penggugat yang berkaitan dengan penundaan Pemilu. Dalam Putusan tersebut, untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dengan jangka waktu selama 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari dengan dalih pemulihan dan menjaga iklim keadilan serta menjadi pencegah terjadinya kejadian serupa mengenai ketidakcermatan dan ketidaktelitian.
    Adanya pemutusan penundaan terhadap pelaksanaan Pemilu 2024 yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah melampaui batas. Pada hakikatnya, proses pelaksanaan Pemilu merupakan bagian yang lekat dengan hukum ketatanegaraan sebagaimana sudah dirancang dalam UUD NRI 1945 serta aturan turunan terkait lainnya. Dimana sebagai suatu negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis, fixed term dan keberkalaan waktu menjadi ketentuan dasar dari keberlangsungan proses pemilihan umum.Â
Mengutip pendapat Ali Moertopo dari sisi ketatanegaraan, pemilihan umum merupakan sarana demokrasi guna terciptanya kedaulatan. Dimana dalam hal ini secara teori dasar pemilu merupakan mekanisme awal dari semua proses rangkaian kehidupan ketatanegaraan (Hestu Cipto, 2009). Dengan adanya putusan Pengadilan Negeri ini dengan wacana penundaan pemilu pada hakikatnya dapat melahirkan efek domino, yakno abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Hal tersebut disebabkan diperkuat dengan fakta bahwa:Â
Pertama, bertentangan dengan konstitusi negara dan Peraturan Perundang-Undangan. Pada hakikatnya konstitusi suatu negara merupakan the higher law dan fundamental law (Siagian 2022, 17). Mengutip pendapat Putu Ari Astawa, keberadaan konstitusi menjadi pembatas wilayah kekuasaan dari penyelenggara negara dengan maksud agar pemerintah tidak dapat melakukan hal yang sewenang-wenang serta pemenuhan hak-hak warga negara. Pengaturan dasar terkait pemilu diatur dalam Pasal 22 E Ayat (1) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa pemilu harus dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur. dan adil (Luber Jurdil) dan pelaksanaanya harus dalam 5 (lima) tahun sekali. Adanya wacana penundaan pemilu ini, akan memberikan imbas pada masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini akan berdampak kepada terlanggarnya Pasal 7 UUD NRI 1945 kita yang menyatakan bahwa:
   "Presiden dan Wakil Presiden    memegang jabatan selama 5 (lima) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."
   Jika melihat penundaan pemilu Undang-Undang Indonesia,  sudah mengatur hal-hal yang dapat menjadi syarat utama penundaan pemilu. Pada Pasal 431 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang dapat disimpulkan bahwa penundaan pemilu dapat diilhami dalam hal terjadinya suatu gangguan keamanan atau terjadinya suatu bencana.
    Pada hakikatnya, penundaan pemilu yang tercantum dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merupakan hal tak berdasar, baik dalam konstitusi maupun peraturan-perundangan. Oleh karena itu, penundaan pemilu ini tidak dapat direalisasikan mengingat keadaan Indonesia saat ini tidak dalam keadaan yang diilhami dalam penundaan pemilu.
  Kedua, pemilu bukanlah ranah pengadilan negeri. Mengutip pendapat dari Masidin, SH., MH., Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada dasarnya tidak memiliki wewenang untuk memutuskan penundaan pemilu pada tahun 2024 ("HAKIM PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT TIDAK BERWENANG MEMUTUS PERKARA PENUNDAAN PEMILU TAHUN 2024 -- Fakultas Hukum" 2023). Hal ini juga seirama sebagaimana diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang menegaskan bahwa yang mempunyai kuasa menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan pemilihan umum adalah Badan Pengawas Pemilihan Umum ("Putusan PN Jakpus Penundaan Pemilu, Menkopolhukam: Kita Harus Lawan Secara Hukum" 2023),  yang memiliki wewenang dalam masalah selama proses pemilihan, Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyelesaikan masalah berkaitan dengan sengketa tata usaha negara, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu terkait kode etik dan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan penyelesaian masalah hasil pemilihan umum. Sedangkan, jika kita melihat kepada Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, lingkup kekuasaan pengadilan umum hanya sebatas untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara yang berkaitan dengan sengketa pidana atau perdata. Kembali kepada dasar permasalahan gugatan yang sudah tercantum dalam surat gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjadi akar permasalahan adalah tidak lolosnya Partai Prima sebagai peserta pemilu dan jika kita menganalisis lebih lanjut ini berkaitan dengan Pasal 173 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 terkait pengesahan peserta pemilu. Permasalahan ini, bila dikaitkan kembali dengan dasar kekuasaan pengadilan umum pada dasarnya pengadilan negeri ini tidak memiliki wewenang untuk memutus sebuah perkara diluar wewenang dasarnya.Â
     Ketiga, terkait penundaan 2 tahun 4 bulan 7 hari dan kaitannya dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Perbuatan Melawan Hukum (PMH) merupakan ranah hukum perdata (privat) yang memiliki makna tindakan seseorang yang melanggar hak orang lain atau telah melakukan tindakan yang berlawanan dengan kewajiban hukum (Gunawan  & Kartini 2017). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) Perbuatan Melawan Hukum (PMH) tercantum dalam  Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH Perdata. Dalam perbuatan melawan hukum memiliki beberapa unsur diantaranya ("Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum." 2021):