Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gemini Syndrome, Episode Berdansa di Kota Romantis, Bagian Ketiga

20 Juni 2024   17:33 Diperbarui: 20 Juni 2024   17:39 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi  https://www.doyanjalan.com/saung-angklung-udjo/

Pasir Kaliki, 6 Mei 2014

Bangun subuh. Salat subuh. Lalu tidur lagi.  Mandi dan sarapan. Seorang perempuan berkulit eksotik sedang sarapan prasmanan. Jadi aku tidak sendiri. Aku menggoreng telur mata sapi dan kemudian memasukan ke dalam roti untuk teman minum kopi.

"Aku orang Bau, Serawak, namaku Tiffany," katanya ketika aku mengulurkan dan memperkenalkan namaku.  Sebagai backpacker dia tampaknya sudah biasa membuat persahabatan.

Aku menyebutkan diriku jurnalis sedang memburu pimpinan Saung Udjo. Barangkali bisa bersama. Tetapi ternyata dia justru hendak pulang ke Kuala Lumpur, setelah empat hari.  Dia sewa travel.

"Aku sudah lihat Kawah Putih, Tangkubanparahu, juga Transtudio Bandung," tuturnya.

Sebetulnya aku heran, Mengapa ke tempat itu.  "Ah, bukannya di Kuala Lumpur wahana seperti itu  lebih keren?" celetuku.

"Tetapi di Serawak tidak ada. Infrastruktur di Serawak tidak seperti di Semenanjung," jelasnya. Itu aku membuat aku terperanjat. Ternyata kesenjangan antar wilayah juga terjadi di Malaysia. Ini perjalanan luar negerinya yang pertama.

"Di Kuching ada guest house.  Biayanya  antara  30-50 ringgit," terangnya.

Pak Surya turun dari dorm dan bergabung. "Wah, kamu lagi."

Lalu dia menghampiri Tiffany yang diketahui orang Malaysia.  "Aku juga suka ke Malaysia."

"Biasanya ke mana Pak?" tanyaku.

"Kelantan," jawab Pak Surya.

Tiffany cerita soal politik di Serawak yang punya partai sendiri. "Di sana UMNO kurang populer."

Jam 11 siang Tifanny harus ke Husein Sastranegara.  Bandung memang hebat memberikan akses bagi wisatawan Malaysia untuk langsung berkunjung.  Wisatawan dari Malaysia banyak yang ke kota ini. Mereka suka berbelanja di Cihampelas.

Saung Mang Udjo, Padasuka, 12.00

Dia dipanggil Kang Opick. Sebetulnya anak ke 9 dari 10 bersaudara,  Tetapi dia dipercaya sebagai piminan Saung Angklung  Udjo walaupun usianya belum 30 tahun pada 1995.   Pada waktu krisis moneter,dia melobi kakak-kakaknya untuk rela memotong separuh gaji mereka sebgaai direktur untuk karyawannya. Kang Opick menyebutnya  hanya turun dari makan enak ke makan biasa.

Dalam wawancara terlontar ide yang menarik antara lain ingin mengadakan temu angklung sedunia. Itu artinya angklung sudah mendunia.

Saung Udjo punya 120 karyawan, 400-an pemain dan 200 home industri yang diajak kerja sama.  Harusnya konsep wahana wisata seperti ini  bukan diberikan kepada swasta, tetapi bagaimana pendiri wahana mengajak warga lokal.  Dia mengajak saya minum yoghurt di  Dapur Saung Angklung Udjo.

Pukul 14.00, liputan selesai.  Aku ke Gasibu sebelum pulang ke Jakarta. Di sana aku beli ikat kepala Sunda dan makan lontong kari daging.  Setiba di sana bada Asar.

Ketika aku sedang memilih, ada yang menghampirku. "Assalamulaikum,  Anak Jakarta.  Mau-maunya beli ikat kepala ini?"

"Walaikum salam," aku menjawab dan menoleh. "R" sudah berdiri.  "Kok, tahu aku di sini?"

"Jangan geer, aku melihatmu tadi turun dari angkot ke sini. Aku dari Museum ketemu sahabatku," jawab dia.

Sebetulnya aku enggan bertemu dia saat ini. Sebab dia selalu menebak apa yang aku pikirkan.  Entah dia juga bisa meramal. Tetapi tebakannya selalu tepat.

"Kamu mau mendekati satu orang, ya? Aku kira hanya setengah hati. Keputusan yang baik untuk orang yang selalu mendua. Tetapi aku menduga akan ada satu cewek yang akan membuat ingin berlutut di kakinya. Orang yang tidak akan kamu sangka."

"Orang Bandung?" kataku mengacuhkan.

"R" menggeleng. "Jauh dari sini. Orangnya tidak akan kamu sangka. Kamu seperti nyamuk yang sedang keenakan di dinding dan dia merayap seperti cecak lalu Haap..!"

"R" tergelak.

"Aku kira orang Bandung?" Aku menatapnya.

"R"  tidak menjawab. "Kalau kamu sampai terjerat seperti kupu-kupu di jaring asmaranya. Datang ke Bandung dan aku mencarimu."

"Bagaimana kamu tahu? Aku tidak mudah terjerat jaring asmara

"Orang suka berceloteh di Facebook," katanya.

"Aku mau Salat Asar sebelum ke Jakarta dengan X-Trans  dari Hotel Batara, Cihampelas?"

"Sebaiknya salat maghrib sekalian. Aku antar bagaimana ke Masjid Cipaganti. Aku ada keperkuan  di sana."

"Aku bukan muhrim?"

"Haiya, aku bersama temanku. Kamu di belakang," katanya.

Ternyata "R" bersama temannya ke Cipaganti.  Aku malas bertanya siapa namanya. Seorang perempuan berhijab mungkin lebih muda dari dia. Dia duduk di depan, sementara "R" mengemudi.

"Itu wartawan Jakarta, kenalan aku," katanya singkat.

"Ajak ke pengajian kita saja, Teteh?"

"Nggak lah, dia harus ke Jakarta. Pengajian kita kan malam habis Isya," katanya. "Di Cipaganti rapat."

Aku diam saja selama perjalanan.  Sebenarnya aku ingin ikut pengajian "R".  Ingin tahu seperti apa "R".

Kami tiba di Masjid Cipaganti.  Sudah lewat pukul 4 sore.  Tentunya sudah lewat salat berjamaah.  Hanya  aku sendiri laki-laki. Ketika aku memulai salat. Keduanya ternyata ada di belakang.

"He, Imam jangan tengak-tengok," celetuk "R"

Padahal setahu aku ilmu agama mereka lebih hebat. Aku merasa terhormat atau karena aku laki-laki. Dulu waku di kantor Indonesia Raya, juga ada seorang karyawati berhijab tahu-tahu ikut di belakang ketika aku salat.  Ya, nggak jelek-jelek amat jadi imam. Tetapi dia kan soleha.

Setelah salat Asar, ke Hotel Batara dan pamit. "R" hanya tersenyum menunduk. "Kalau mau ikut pengajian niatnya karena panggilan hati ya, jangan karena hal lain."

Dia mampu membaca pikiranku.  Temannya hanya tertawa.

Aku segera ke Hotel Batara.  Ternyata X-Travel terlambat. Rupanya macet di Karawang. Jadi aku sempat salat maghrib dan makan mi kocok.   Untungnya perjalanan ke Jakarta lancar. Hanya tiga penumpang, dua lagi seorang Bapak dan seorang Ibu. Tiba malam hari di Jakarta.  

Tiba di Jakarta pukul 22.00.

Sabtu, 17 Februari 1957, Kawasan Braga Bandung

"Widy! Demonstrasi bukan tontonan tahu!" teriak Syafri di pinggir jalan ketika dia meliput demonstrasi di depan Hotel Savoy Homann, kawasan Braga.

Tetapi gadis itu memang bandel. Dia bersama kawannya Maria dan Putri menjadikan tontonan.

"Kang Syafri, kami juga mengikuti mereka dari Balai Kota!" teriak Maria. "Sini, dekat kami!"

Syafri menurut.  Widy menengok, tetapi diam saja. Tetapi matanya sekali-sekali melirik. Belum pernah dia tidak menyambutnya. Syafri khawatir Widy marah.

Seorang wartawan lainnya akhirnya malah ke posisi Syafri. Dia membawa kamera. "Kau lihat, orang Masyumi, NU, PNI bahkan PKI bersatu kalau menghadapi hal seperti ini."

"Ya, perspektif berbeda kawan. Yang satu karena moral agama, yang satu moral budaya dan satu lagi karena benci sama kapitalisme," kata Syafri.

"Sebanyak 48 organisasi yang kirim wakilnya dalam rapat akbar. Bukan main.

"Usir Brandon dari Indonesia!" teriak seorang demonstran.  Seorang pemuda sebaya Syafri. "Stop Rock n'Roll!"

"Kau tahu namanya. Henry Jasmin, urang kampung mu. Dia kader komunis, memalukan. Urang-urang di kampungnya pada resah," kata laki-laki.

"Aku mah tidak tahu kampung itu Bang Rinaldi. Aku mah ingin jadi urang Bandung!" jawab  Syafri dengan agak keras.

"Wahang, bagimana? Kepikat sama Mojang di sini seperti Marah Rusli itu," katanya bersungut-sungut.

Syafri diam saja. Dia melirik Widy. Mojang itu diam saja. Juga kedua temannya. Sementara demonstrasi makin ramai.  Mereka berteriak anti kecabulan.

"Kok, cabul? Yang cabul bukan rock n roll, tetapi yang ada dalam pikirannya. Aku dimaki Bapakku.  Dia kebetulan sama Hadidjah Salim tahu aku ikut dansa sama gengku."

"Politisi Masyumi itu? Alamak. Pasti dia galak sekali! Kau dansa dengan siapa?"

Rinaldi tertawa.  Tetapi dia melihat Syafri begitu dekat dengan Widy. Langsung dia paham.  "Baik, adik, Abang permisi dulu!" Dia tertawa tidak mau menganggu temannya.

"Sudah siang? Makan Yuk! Kalian mau ikut?" ajak Syafri merasa mendapat bahan yang cukup.

"Nggak lah, Widy saja. Kami ada perlu," kata Maria dan Putri tertawa meninggalkan Widy.  Gadis itu tidak menghindar.

"Mau makan di mana kang?" akhirnya Widy bicara. "Di rumah makan dekat sini mahal, mending di rumah aku saja."

Syafri merasa lega.  Dia mengayuh sepedanya dan Widy di belakangnya. "Luka kamu sudah sembuh?"

"Sudah kering. Masih meninggalkan koreng," jawab dia.

"Kamu ada pikiran cabul nggak ketika berdansa dan pegang-pegang aku?" tiba-tiba dia bertanya.

Syafri merasa sulit menjawab. "Nggak."

"Nggak seratus persen, tetapi ada sedikit, kan?"

"Kamu nggak marah, kan?"

"Buat marah? Sebentar lagi aku lulus SMA.  Aku mau kuliah di Fakultas Pengetahuan Masyarakat di Unpad, kabarnya buka September ini," jelas Widy. "Aku ingin ke Baduy atau ke kampung Akang di Sumatera untuk penelitian."

Syafri senang. Ternyata pujaanya perempuan yang ingin maju. Dia semakin bersemangat melarikan sepedanya.  

"Aku setuju!" teriak Syafri.

Tiba-tiba Widy terisak. Syafri merasa ada yang tidak beres. Dia berbelok ke arah Taman Sari melewati Kampus Sekolah Teknik yang cukup sepi.

Dekat pepohonan rindang, dia menghentikan sepedanya.

"Ada apa Mojang geulis?" tanya Syafri.

Widy melihat ke bawah  ke arah Syafri yang tak sungkan berlutut di kakinya. Dia sudah takluk di hadapan perempuan itu. 

"Aku nggak perawan lagi Kang, Hardja sudah mengambilnya," suara Widy makin terisak. "Orangtua ku nggak tahu. Dia pandai bermanis di depan Ibu dan Bapak."

Syafri malah berlutut di kaki Widy. "Aku nggak peduli. Kamu tetap Widyku!" Syafrie malah menangis.

"Kok, Kang Syafri yang menangis? Kalau Kang Syafri tidak terima, tinggalkan aku."

"Tidak pernah!" teriak Syafri kencang.

Widy sekarang khawatir karena beberapa orang lalu lalang menengok. Mukanya merah. Dia meminta Syafri berdiri.

"Baik Kang, kita coba, ya? Jangan pernah berdansa dengan perempuan lain ya? Terutama di belakangku?" Widy menatap mata Syafri.

Dia tidak membutuhkan jawaban. Cukup air mata Syafri.

"Ayo, kita makan di rumah?"

Syafri mengangguk dan kembali membawa sepedanya.  Sepasang mahasiswa Fakultas Teknik rupanya mendengar hal itu dan mereka bertepuk tangan.

"Tapi kalau dansa sama Utari, Maria atau Putri boleh..." katanya. "Mereka sudah tahu kok dan tidak akan mencuri kamu dari aku."

Dago Atas, pukul 14.00

"Widy! bawa sini masakan kamu buat Kang Syafri!" seru ibunya.

Mereka sudah merencanakan. Adiknya Widy, bapaknya juga hadir di meja makan. Mereka rela menunggu lewat jam makan siang.

"Memang Widy, masak apa?" tanya Syafri.

"Dendeng  Balado Minang. Dia bilang dia juga harus bisa memasak makan MInang," kata ibunya. "Dia tahu makanan Minang yang kamu suka tidak banyak, di antaranya Dendeng Balado."

"Untuk pertama kalinya dia mau memasak di luar Sunda," kata adiknya.

Syafri menahan tangisnya, ketika Widy membawakan semangkuk dendeng Balado. Hari itu ada sayur asem. Perpaduan Sunda-Minang.

Mereka semua sudah tahu.  Sang Adik yang biasanya suka meledek, kali ini diam saja.

Syafri makan dengan lahap. Bumbunya pas.  Dia sadar rupanya dia datang ke tempat demonstrasi agar Syafri mengantarnya dan mereka bisa makan sama-sama.

"Habis makan, bagaimana kalau Kang Syafri  Widy berdansa? Ingin tahu," celetuk Kintan, Sang Adik.

Syafri melihat Widy. Tetapi gadis itu mengangguk. "Jangan diketawain ya?"

Mereka berdansa diiringi lagu-lagu Elvis, malah ayah dan ibu Widy ikut berdansa, Kintan malah mengajak tetangganya. Namanya Baim.  Mereka tidak kalah gesit.

Hari itu tidak terlupakan bagi Syafri.  

Mereka semua mengantarkan  Syafri sekitar pukul lima sore.  Syafri mengayuh sepedanya seperti mendapat energi baru. "Aku hanya ingin berdansa dengan kamu!!" teriak Syafri lepas entah didengar atau, dia  tidak peduli.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun