Dekat pepohonan rindang, dia menghentikan sepedanya.
"Ada apa Mojang geulis?" tanya Syafri.
Widy melihat ke bawah  ke arah Syafri yang tak sungkan berlutut di kakinya. Dia sudah takluk di hadapan perempuan itu.Â
"Aku nggak perawan lagi Kang, Hardja sudah mengambilnya," suara Widy makin terisak. "Orangtua ku nggak tahu. Dia pandai bermanis di depan Ibu dan Bapak."
Syafri malah berlutut di kaki Widy. "Aku nggak peduli. Kamu tetap Widyku!" Syafrie malah menangis.
"Kok, Kang Syafri yang menangis? Kalau Kang Syafri tidak terima, tinggalkan aku."
"Tidak pernah!" teriak Syafri kencang.
Widy sekarang khawatir karena beberapa orang lalu lalang menengok. Mukanya merah. Dia meminta Syafri berdiri.
"Baik Kang, kita coba, ya? Jangan pernah berdansa dengan perempuan lain ya? Terutama di belakangku?" Widy menatap mata Syafri.
Dia tidak membutuhkan jawaban. Cukup air mata Syafri.
"Ayo, kita makan di rumah?"