"Urang Sunda Neng?" kata Bapak itu.
"Dari Sukabumi, nama saya Elin.."
"Saya Engkos Kosasih...bade angkat kamana Neng?"
"TKW pak!"Â
"Oh," Engkos Kosasih kembali ke Mangle-nya. Dia tak menyadari bahwa Elin meniupkan serbuk dari tangannya. Â Telak, Bapak Engkos Kosasih tertidur.
Di kelas bisnis, seorang anak muda Gatot Koco dengan tas backpacker ukuran 45 liter. Di tangannya ada buku panduan wisata Singapura dari Majalah Plesir. Majalah terbitan sepuluh tahunan lalu itu masih utuh. Dia juga menimang-nimang sehelai kertas nomor kontak kawannya sesama backpacker di sana.
Dia tak melirik seorang pramugari menawarinya minuman tinggi, soft drink. Â Koco menunjuk meja, artinya diletakan saja. Â Dia kemudian membaca artikel tentang "Kota Tua Semarang" dari edisi itu. L
"Hebat benar ya si penulis.  Saya jadi tahun Kota tua Semarang itu  hebat. Padahal aku sekolah di sana." Koco meneguk minuman dingin itu dan dia merasa mengantuk.  Lalu tertidur. Pramugari  berwajah jawa hitam manis  Pramugari itu memberi isyarat pada Yuriko:  tiga  jari.  Â
Di kelas VIP, tiga warga Singapura sepasang suami  isteri dan seorang anaknya  sudah terlelap terlebih dahulu.  Dua bangku di depannya Wan Lahab Wan Jahal santai duduk di sebelah seorang perempuan muda dengan menggunakan rok mini.  Matanya melirik ke perempuan yang acuh tak acuh.Â
Pramugari lewat dan meletakan sesuatu di tangan gadis itu dan sesuatu itu adalah serbuk. Lalu gadis itu meniup kea rah wajah pria itu. Â Wan Lahab Wan Jahal, pria berusia 30 tahunan langsung terlelap dan tak menyadari serbuk itu ditiup gadis itu.
Di kelas yang sama, ada seorang bule. Namanya Meneer Didjikstra. Dia seorang dosen dari Leiden hendak meneliti konfrontasi Indonesia-Malaysia. Â Dia duduk diapit dua anak kecil, seorang perempuan dan seorang laki-laki, usia delapan hingga sepuluh tahun. Â Dia tidak curiga, tetapi cukup heran mengapa dia duduk di antara dua anak, sementara kedua orangtuanya duduk di bangku yang lain.