Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Koloni (51)

29 Juni 2017   16:35 Diperbarui: 29 Juni 2017   17:01 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Segmen Lima

Epilog (2)

LIMA PULUHSATU

Desember 20---

Beberapa jam sebelum Alif hilang.

  

Undangan konferensi pers di Restoran Orchad, Singapore.  Pembunuhan TKW Qorinanda. Hadir Inspektur Siti Rahmayani, Kepala Seksi Human Trafficking Kepolisian Singapura, Duta Besar RI Kemala Papilaya, pakar human trafficking Joshua Kwek, serta Esti Ayudya, psikolog dan Komnas Perempuan, tertanggal.... Desember 20...

Alif Muharram membaca pesan dalam smartphone-nya.  Di tangannya sudah ada tiket pesawat Archiepelago Airlines yang dititipkan di pemilik tempat kostnya.  Lalu ia menelepon pemberi pesan.

"Mas Darwin, ini Teteh Esti sengaja memilih saya?"

"Iya. Katanya untuk Membaca Indonesia hanya kamu yang faham liku-liku human trafficing. Rapat redaksi juga setuju.   Wartawan dari media lain sudah berangkat sejak kemarin. Kamu harus berangkat pagi ini, konferensi pers-nya malam nanti."

"Kok mendadak benar ya.  Saya baru saja tiba dari Solo tengah malam. Laporannya sudah saya buat dan kirim lewat email. Tiba-tiba subuh pintu digedor ada titipan.  Saya baru mandi...!"

"Sudahlah habis ini kamu boleh ambil off!"  kata Darwin.  Alif sudah melampaui lima hari kerja dalam seminggu. Dia bisa mendapat off ganda.  Namun bagi Alif bukan tugasnya menjadi persoalan, tetapi mengapa Esti langsung menunjuk dia.  Padahal dua hari yang lalu dia bertemu Esti di Semarang.

"Ok." Alif mengepak tas daypack tergesa-gesa.  Hanya beberapa pakaian, buku harian kesayangannya, serta cincin emas putih pemberian ibunya, kamera pocket digital.  Lalu ia berangkat meninggalkan tempat kost-nya. 

Ia ke ATM mengambil uang saku yang sudah ditransfer dan kemudian naik taksi ke bandara. Alif menduga pembunuhan TKW berkaitan dengan terbongkarnya kasus lima belas perempuan dari Jawa Tengah dan Jawa Barat yang sedang ia telusuri. 

Pesawat berangkat dua jam lagi.  Dia melihat jam di smartphonenya, pukul delapan pagi.  Di ruang tunggu sudah ada puluhan penumpang.  Ponselnya berbunyi: dari Esti Ayudya. "Alif, jadi berangkat, kan? Qorinanda itu dari Solo, satu kampung dengan TKW yang dari Solo yang baru dibebaskan itu..."

"Terima kasih teteh. Saya sudah curiga..."

"Kamu pakai Archipelago Airlines?"

"Iya, pakai apalagi. Penerbangan cuma itu."

Dia kemudian memilih sebuah tempat duduk di sebelah seorang perempuan keturunan Tionghoa usia dua puluh empat tahun.

"Mas, wartawan?" sapanya dingin.

"Iya... kamu mendengar?"

Gadis itu mengangguk. "Perdagangan perempuan, pemerkosaan, tetapi selalu perempuan yang disalahkan media."

"Saya sudah mendengar itu dari rekan saya dulu.  Dia sama minatnya sama saya soal human trafficking.Sayang kami tak bertemu lagi. Dia hilang di gunung bersama kawannya."

"Naik gunung. Saya juga suka naik gunung? Kakak saya anak Wanadri,"

"Oh, ya rekan saya itu juga dekat dengan anak Wanadri. Kenal Harum?" tanya Alif.

 "Lengkapnya?"

"Harum Mawar, saya kenal.  Kawannya Anisoptera itu anak Wanadri.  Keduanya hilang di Gunung Kendang, sampai sekarang belum bertemu,"

Perempuan itu terdiam. "Dulu pernah jalan sama mereka. Kakakku kenal sama mereka."

Suaranya terdengar sedih. Tampaknya perempuan itu punya masalah. Tetapi Alif masih mengantuk dan tidak berselera mengorek. Wajah perempuan itu pun dia tidak lihat jelas. Dia hanya ingin minum kopi. Dia mencari kedai kopi dan duduk di tempat yang berbeda.

Seorang perempuan lain, umur 20 tahunan duduk tak jauh dari dia mengamati Alif. Dia mengangkat telefonnya. "Teteh, confirm, Alif jadi berangkat bersama kami. Dia tadi mengobrol denganLidya."

"Kamu mengenali dia," suara dari telefon.

"Iya teteh, masih atuh!  Masa saya tidak ingat orang yang membantu saya  lepas dari jaringan begundal  itu. Bukankah dia yang wawancara saya dengan teteh."

"Good Job Elin. Jangan sampai dia mengenali kamu. Bisa rusak rencana kita..."

Sekitar sembilan orang masuk ke ruang boarding pass. Seorang pria berbadan besar dikenali Elin.

"Sialan, ada orang-orang yang tak dikehendaki ikut!"

"Jangan khawatir.  Kami sudah tahu ada sembilan orang di luar target. Kami yang urus. Semua baik-baik saja."

Setengah jam lagi naik pesawat. Smartphone Alif berbunyi. Norman Hammarskjod, rekannya dari Global Independent.

"Hallo Norman, saya mau ke Singapura? Kita bertemu di sana?"

"Iya.  Saya terbang dari Bangkok. Oh, ya kamu dengar rumor Alif soal Virus Razov?"

"Terlalu banyak. Ada apa lagi?"

"Virus Razov disebarkan oleh suatu komunitas internasional, suatu sayap feminis radikal yang baru. Saya sedang investigasi mereka menyuntikannya ke prostitusi di Bangkok. Saya dapat info mereka sudah bergerak dari Amsterdam, Chicago, Tokyo, Hongkong, Shanghai, Paris, London, Kinibalu dan kabarnya juga sudah ada orang mereka di Bandung, Denpasar dan Yogyakarta."  

"Maksudnya memberikan pelajaran pada laki-laki hidung belang? Kalau di Bandung dan Yogyakarta, siapa orang mereka? Yang paling benci soal ini hanya teteh Esti dan Dewi Tania. Tetapi saya kira mereka tidak sejauh itu. Oh, ya Esti hadir di Singapura."

"Saya duga mereka ingin mengurangi populasi lelaki hidung belang dan sekaligus menghancurkan bisnis prostitusi. Saya ingin konfirm itu ke Esti."

"Mungkin saja Norman. Tetapi apa target mereka yang sebenarnya?"

"Tidak tahu. Tetapi kalau itu terlaksana ada kemungkinan jumlah laki-laki akan menyusut."

"Itu kalau laki-laki hidung belang jumlahnya besar kawan. Saya yakin masih banyak laki-laki yang baik."

"Saya harap kamu benar Alif. Sampai jumpa di Singapura."

                                                                                              ****

Tak lama kemudian Alif Muharam menaiki pesawat.  Dia duduk di sebelah Pandu Prawiro, CEO sebuah perusahaan finance.  Mulanya pembicaraan kaku kemudian cair.  Alif dan Pandu tidak memperhatikan seorang pramugari blasteran Jepang, Mandarin dan Korea tidak hanya sekadar menawarkan sandwich, tetapi mengibaskan sejenis serbuk ke arah kedua laki-laki itu yang sibuk melihat gambar perempuan di laptop.

 Lidya duduk tak jauh dari mereka. "Yang duduk dekat jendela itu sasaran kita. Tampaknya lagi diracun oleh penjahat kelamin di sebelahnya..."

"Sudah kau tiupkan serbuk itu, Yuriko?"

"Yuup.  Aku sudah tak sabar bergabung dengan keluargaku."

"Tenang, Om sudah mengaturnya...."

Di bagian lain pesawat, Elin Halida duduk di sebelah seorang  bapak yang rambutnya sudah memutih. Elin melihat  bapak itu membaca majalah Mangle.

"Kunaon masih suka baca mangle. Nenek saya dulu berlangganan.."

"Urang Sunda Neng?" kata Bapak itu.

"Dari Sukabumi, nama saya Elin.."

"Saya Engkos Kosasih...bade angkat kamana Neng?"

"TKW pak!" 

"Oh," Engkos Kosasih kembali ke Mangle-nya. Dia tak menyadari bahwa Elin meniupkan serbuk dari tangannya.  Telak, Bapak Engkos Kosasih tertidur.

Di kelas bisnis, seorang anak muda Gatot Koco dengan tas backpacker ukuran 45 liter. Di tangannya ada buku panduan wisata Singapura dari Majalah Plesir. Majalah terbitan sepuluh tahunan lalu itu masih utuh. Dia juga menimang-nimang sehelai kertas nomor kontak kawannya sesama backpacker di sana.

Dia tak melirik seorang pramugari menawarinya minuman tinggi, soft drink.  Koco menunjuk meja, artinya diletakan saja.  Dia kemudian membaca artikel tentang "Kota Tua Semarang" dari edisi itu. L

"Hebat benar ya si penulis.  Saya jadi tahun Kota tua Semarang itu  hebat. Padahal aku sekolah di sana." Koco meneguk minuman dingin itu dan dia merasa mengantuk.  Lalu tertidur. Pramugari  berwajah jawa hitam manis   Pramugari itu memberi isyarat pada Yuriko:  tiga  jari.    

Di kelas VIP, tiga warga Singapura sepasang suami  isteri dan seorang anaknya  sudah terlelap terlebih dahulu.  Dua bangku di depannya Wan Lahab Wan Jahal santai duduk di sebelah seorang perempuan muda dengan menggunakan rok mini.  Matanya melirik ke perempuan yang acuh tak acuh. 

Pramugari lewat dan meletakan sesuatu di tangan gadis itu dan sesuatu itu adalah serbuk. Lalu gadis itu meniup kea rah wajah pria itu.  Wan Lahab Wan Jahal, pria berusia 30 tahunan langsung terlelap dan tak menyadari serbuk itu ditiup gadis itu.

Di kelas yang sama, ada seorang bule. Namanya Meneer Didjikstra. Dia seorang dosen dari Leiden hendak meneliti konfrontasi Indonesia-Malaysia.   Dia duduk diapit dua anak kecil, seorang perempuan dan seorang laki-laki, usia delapan hingga sepuluh tahun.  Dia tidak curiga, tetapi cukup heran mengapa dia duduk di antara dua anak, sementara kedua orangtuanya duduk di bangku yang lain.

"Azura kemari, ada sesuatu buat bapak itu..."

"Wow!" Dijikstra memang suka dengan keramahan orang Indonesia. Ia hanya menyayangkan nenek moyang tega menjajah bangsa ini.  Azura bocah perempuan itu tertawa dan menerima serbuk dari ayahnya, yang memincingkan mata pada Dijikstra.

"Om, mau main bedak-bedakan, nggak?"

Dijisktra tertawa melihat ulah Azura yang meniupkan serbuk ke mukanya.  Lalu Azura melapnya.  "Kamu mau jadi ahli make up." ia kemudian merasa mengantuk dan terlelap.

"Masih satu lagi," bisik seorang pramugara pada Michelle.

"Gadis remaja itu, mana dia? Tidak ada di kabin padahal pesawat mau turun."

 "Sialan! Padahal jus jeurknya sudah dibubuhi obat tidur. Dia tidak meneguknya."

Gadis itu Eliza. Ia masih duduk di bangku SMA. Ia sudah bolak balik ke WC sambil membawa test pack.  Dia begitu panik, karena sudah tiga kali digauli Edi Rusmadi selama setahun. Akan yang keempat, setibanya di Singapura. Dia tidak menyadari ada hal yang aneh dengan pesawat yang terus turun ke laut.   Eliza sudah tiga kali digauli lurah itu selama setahun.   

"Ada satu lagi di WC!" tunjuk Elin Elida.

"Terlambat pesawat sudah mendarat di air. Kita harus di kursi memasang sabuk. "kata pramugara itu.

Pesawat mendarat di air dekat pantai.  Begitu sudah di permukaan air, sebuah pesawat mirip lebah menembak cahaya tidak terlalu kuat, tetapi membakar. Persis itu yang dilihat Alif masih setengah mengantuk karena serbuknya tidak tepat. 

Para penumpang yang sadar keluar dari pintu darurat menuju perahu karet yang sudah disediakan.  Beberapa orang menerobos masuk dan memisahkan Sembilan orang yang pingsan ke sebuah kapal nelayan. Terlebih dahulu mereka direndam di air.

Ketika kapal nelayan berangkat sebuah lebah mendarat dan seorang perempuan muda turun ke kapal dan mengenali Alif. "Iya, dia."

Sebuah kupu-kupu melayang ke bawah.  Seorang gadis usia 20 tahun dan memandang perempuan itu."Pangeranku?'

Perempuan itu mengangguk.  Lalu gadis itu meniupkan serbuk memastikan Alif terlelap.  Dia kemudian dibawa bersama penumpang yang sadar ke pantai.

"Jadi bagaimana nih kalau dia tahu diculik, CeuHarum?" kata Elin

"Tenang.  Alif sangat percaya pada surga, neraka dan alam kubur.  Kita pakaikan dia kain putih, tentunya badannya dikeringkan dulu!"

Gadis itu bersorak. "Jadi kita bikin permainan nih! Tetapi dia milikku, kan Kak? Sambil melihat foto Alif masih kecil dan membandingkannya!"

"Iya dik. Suka-suka kamu lah. Kalau mau bantuan kakak boleh."

"Kita jadi malaikatnya yaaa...!!"

Harum memandang gadis cerdas yang masih suka bermain. Lalu dia melihat ke berapa laki-laki muda. "Anis bantu gotong kawan kita ini dan bersama Sang Puteri, bawa ke Rumah Mahkota..."

Sementara pasukan menyeret pesawat ke pantai dengan tali.   Sebuah sayap dibiarkan patah dan dibawa oleh sebuah kapal nelayan jauh dari sana. Kelak menjadi pesawat memang jatuh, walau tidak ada kotak hitam ditemukan. 

Elin Halida memeluk Harum. "Terima kasih Ceuh, juga membawa orangtua dan adik-adikku. Saya sudah nggak tahan lagi..."   

Lidya pun memeluk Elin. "Kita senasib. Satu saat mereka akan menerima akibatnya!"

"Menurut Teteh Esti, dia dapat info dari Dewi Tania, koleganya di sjeumlah negara sudah mulai bergerak. Revolusi sudah dimulai hari ini. Mereka menyebar ke Amsterdam, Paris, Bangkok, Hongkong dan kota-kota lain."

"Lalu Alif?"

"Tenang pahlawan kita mendapatkan pahalanya selama di dunia sana.  Juga hukuman atas kesalahannya pada seseorang.  Dia akan lama di sini, sekolah konstruksi sosial yang bukan teori.." Harum dengan dingin menyela. 

****

Delapan penumpang yang tertidur tak menyadari mereka sudah dibawa jauh dengan perahu dan kemudian ditinggalkan di sebuah pulau lain terdampar.  Pandu Pratama, paling dahulu terbangun dan sadar keesokan paginya dan mendapatkan dirinya dikelilingi  beberapa nelayan yang terbengong.  Seorang di antara mereka menunjuk potongan sayap pesawat di kapalnya.

"Waduuh!" itu saja dari mulut Pandu.   Dia melihat Wan Lahab Wan Jahal terkapar di dekatnya.

"Wake Up Mister!"

Pria itu terbangun setelah disiram air laut.

Meneer Dijikstra dua ratus meter dari mereka bangun  dan kemudian berlutut. "Puji Tuhan!"  Di dekatnya satu keluarga Singapura saling berpelukan. Mereka merasa beruntung tidak ada yang hilang di antara mereka. 

Engkos Kosasih dan Gatot Koco tergeletak paling jauh.   Engkos masih memegang erat majalah Mangle-nya, sementara Koco dengan nomor kontak ponsel temannya.  Ajaib ponselnya masih utuh di tasnya yang kedap air. 

Ponsel itu dimatikan sewaktu di pesawat.  Lalu dia mengambil ponsel itu dan menekan nomor. "Bro, Luh tidak percaya. Gue kecelakaan pesawat dan masih hidup terdampar di pulau..."

***

Sementara di pesawat Eliza baru keluar dari WC sambil menangis tersedu-sedu. Dia tahu selamat dan pesawat kosong. "Berarti dia ketahuan ke Singapura?"

Lebih heran lagi, ketika dia turun dari pesawat menemui daerah asing.  Harum sudah menunggu. "Mau ketahuan ayah dan ibumu? Atau ikut saran teteh."

"Apa itu?"

Mata Eliza ditutup. Dia digiring masuk ke sebuah bangunan dan dibawa  ke kendaraan semut.

Di koloni Eliza diminta mandi dan makan.  Begitu takjubnya ia tidak bisa bicara.  Matanya terbelalak melihat dunia yang tidak dikenalnya.  Harum dan beberapa remaja memeriksa tasnya dan menemukan baju ganti.

"Kamu sebenarnya ada  Bandung malam ini, kok ketiduran di  rumah seorang kawan.  Jangan ceritakan kejadian ini, anggap saja kamu tidak ikut pesawat ini.  Namamu sudah dihapus oleh Om Anton, kok! Lagipula passpor kamu palsu. Bajingan itu mau bersih. Oh, ya kamu cerita pun nggak ada yang percaya? Laki-laki itu? Walah, bajingan itu pasti tidak mau cerita ke pers mengajak anak di bawah umur."

Harum melihat test pack-nya gadis itu. "Nggak hamil, kan? Jangan percaya sama laki-laki itu lagi, ya?"

Eliza merasa lega. 

Harum memberikan tas ransel sekolahnya.

"Caranya bagaimana bisa kembali di Bandung?" Eliza masih khawatir.

 "Evan!"

Eliza takjub melihat gadis tanggung dengan pakaian aneh sebaya dengannya.  Evan meniupkan serbuk ke mukanya dan Eliza merasa mengantuk, lalu tertidur.  Tubuhnya oleng dan jatuh disambut dua tentara.

"Pakai pesawat kumbang adikku.  Cara yang sama dengan aku ke mari. Terbang tidak terlacak radar.    Sampai jumpa. Walau masih lama adikku!"

Eliza   merasa bermimpi bertemu sejumlah orang aneh dan ada di negeri aneh.  Tahu-tahu ia terbangun di Rumah Sakit Borromeus dan melihat wajah kedua orang tuanya dengan cemas. Dia sudah diinfus.  Juga beberapa guru dan teman-temannya. Dia masih mengenakan seragam SMA-nya yang sudah lusuh dan seingat dia sudah diganti sewaktu ke bandara.

"Kamu ditemukan pingsan di Tahura.  Dua hari kamu hilang, ngeluyur sendirian, Untung tidak diapa-apa-in orang. Teteh Esti mengantar kamu ke mari."

Eliza hanya diam.  Dia merasa lega ketika kedua orangtuanya memeluknya erat-erat.  Dokter tersenyum memberi isyarat bahwa dia dalam kondisi baik dan Esti di sana memincingkan matanya.

Di dekatnya ada pasien lain dan beberapa orang dewasa sedang berbicara soal pesawat Archiepelago Airline yang hilang dalam perjalanan ke Singapura.

Telefon Esti bordering.

"Iya, Mas Darwin. Alif tidak hadir di Singapura. Ada kabar belum terkonfirmasi Archieplago Airlines hilang. Mudah-mudahan dia selamat. Saya ikut prihatin. Alif selalu konsisten membela korban human trafficking."

Irvan Sjafari

Tamat Sekuel pertama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun