Mohon tunggu...
Jumari Haryadi Kohar
Jumari Haryadi Kohar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, trainer, dan motivator

Jumari Haryadi alias J.Haryadi adalah seorang penulis, trainer kepenulisan, dan juga seorang motivator. Pria berdarah Kediri (Jawa Timur) dan Baturaja (Sumatera Selatan) ini memiliki hobi membaca, menulis, fotografi, dan traveling. Suami dari R.Yanty Heryanty ini memilih profesi sebagai penulis karena menulis adalah passion-nya. Bagi J.Haryadi, menulis sudah menyatu dalam jiwanya. Sehari saja tidak menulis akan membuat ia merasa ada sesuatu yang hilang. Oleh sebab itu pria berpostur tinggi 178 Cm ini akan selalu berusaha menulis setiap hari untuk memenuhi nutrisi jiwanya yang haus terhadap ilmu. Dunia menulis sudah dirintis J.Haryadi secara profesional sejak 2007. Ia sudah menulis puluhan judul buku dan ratusan artikel di berbagai media massa nasional. Selain itu, ayah empat anak ini pun sering membantu kliennya menulis buku, baik sebagai editor, co-writer, maupun sebagai ghostwriter. Jika Anda butuh jasa profesionalnya dihidang kepenulisan, bisa menghubunginya melalui HP/WA: 0852-1726-0169 No GoPay: +6285217260169

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penghuni Sel XX.03

9 April 2020   12:25 Diperbarui: 9 April 2020   12:28 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: www.mentalfloss.com)

Bandung, 17.12.2015 Pukul 21.00 WIB

Bunyi sirena panjang malam itu merupakan pertanda semua narapidana (napi) harus masuk ke sel mereka masing-masing. Seorang pria kurus bertato harimau di punggungnya pun ikut kembali ke istananya, sel XX.03.

Tak lama berselang pintu sel menutup secara otomatis dengan disertai suara gemuruh. Memang semua sel napi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung itu sudah dilengkapi dengan pintu hidrolik, sehingga sipir cukup menekan sebuah tombol untuk mengunci semua sel napi yang ada di sana.

Hanya berjarak beberapa detik, semua lampu utama si sepanjang koridor sel padam, kecuali lampu kecil yang terdapat di setiap kamar. Suasana di sekitar lapas mendadak sepi. Beberapa sipir penjara terlihat berkeliling lapas untuk memantau keamanan. Mereka rutin melakukannya secara bergantian setiap setengah jam sekali.

Akal Bulus

Lapas Sukamiskin, Pukul 10.30 WIB

Tiba-tiba terdengar bunyi mengerang kesakitan dari sebuah sel yang memecah kesunyian malam. Suara itu terus merintih dengan nada semakin keras.

"Aduuuuuh ....sakiiiit sekali. Toolooooong aaarrh ....aaarh," keluh suara seorang pria dengan nada kesakitan.

Rintihan tersebut didengar oleh salah seorang sipir. Dia mengajak seorang temannya untuk mengecek sumber suaranya.

Setengah berlari, kedua sipir itu menuju sebuah sel yang letaknya agak jauh di ujung lorong. Mereka harus melewati dua blok untuk sampai ke sana.

Suara rintihan itu kian lama semakin menjadi-jadi. Namun, kemudian semakin lemah dan menghilang saat kedua sipir itu telah mendekati sumber suaranya. Hal itu membuat mereka jadi kebingungan. Keduanya lantas melacak satu persatu penghuni sel yang berada di sana sambil menyorotkan lampu senternya kesana kemari.

"Kalau enggak salah tadi suaranya ada di sekitar sini Ton," ujar salah seorang sipir yang berpostur tubuh gendut.

"Bukan Dang, kayaknya  di sebelah sana," jawab sipir bernama Dadang yang bertubuh kurus sambil tangannya menunjuk ke sebuah sel.

Anton pun akhirnya mengikuti saran Dadang. Mereka bergerak dengan hati-hati sambil terus menyorotkan senternya ke berbagai arah secara bergantian.

Sorot lampu senter pria gendut dan kurus itu pun akhirnya terpaku pada sebuah sel bernomor XX.03. Tampak penghuninya terkapar di lantai dengan posisi tubuh tertelungkup tak bergerak. Wajahnya terlihat menempel di lantai. Matanya terlihat sudah terpejam.

"Ton, jangan-jangan Bang Rate sudah mati. Coba hubungi komandan!" Seru Dadang kepada Anton.

Rate adalah singkatan dari "Raja Tega". Itu julukan Imron, penjahat kambuhan yang sudah terbiasa keluar masuk lapas. Sudah tak terbilang jumlah kasus perampokan yang melibatkan namanya. Dia begitu dikenal karena setiap kejahatan yang melibatkan kelompoknya selalu menimbulkan korban jiwa. Namun, berkat kelihaiannya, Imron kerap lolos dari pengejaran polisi dan selalu buron.

Ibarat kata pepatah, sepandai-pandai tupat melompat akhirnya jatuh juga. Imron berhasil ditangkap oleh satuan Buru Sergap (Buser) Polres Bekasi di tempat persembunyiannya di daerah Parongpong, Bandung Barat.

Kejadiannya bermula saat Imron dan kelompoknya baru saja melakukan aksi perampokan terhadap Haji Dullah, seorang juragan ayam potong di daerah Tambun Selatan, Bekasi. Dalam kejadian tersebut, dua  petugas satuan pengaman (satpam) berhasil dilukainya dan dia juga berhasil membawa kabur perhiasan emas seberat 1/2 kg berikut uang senilai Rp 250 juta hasil penjualan ayam hari itu.

Setelah membagi hasil rampokannya, Imron dan kelompoknya berpencar. Anak buahnya menuju Depok, sedangkan dia kabur ke tempat Lilis, istri mudanya di daerah Parongpong, Bandung Barat.

Pelarian Imron terendus oleh pihak kepolisian. Tim buser Polres Bekasi melacak keberadaannya setelah tiga anak buahnya tertangkap terlebih dahulu.

Penyergapan Imron tersebut tidak berlangsung mulus. Pria asal Kota Agung, Sumatera Selatan itu dikenal sadis dan berani. Kemana-mana dia kerap membawa senjata api takitan yang diselipkan di pinggangnya.

Sempat terjadi kejar-kejaran yang menegangkan karena sebelum polisi masuk ke rumah istri mudanya, Imron sudah kabur duluan lewat pintu belakang. Polisi yang mengetahui dirinya kabur, segera memburunya sambil melepaskan tembakan peringatan.

Setelah kejar-kejaran di gang sempit perumahan penduduk, Imron lari ke arah kebun. Dia bersembunyi dibalik gubuk sambil melepaskan tembakan ke arah polisi yang mengejarnya. Baku tembak pun tak terhindarkan.

Imron mulai terdesak dan persediaan pelurunya habis. Polisi tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk merangsek maju. Namun, Imron sudah keburu kabur menjauh ke arah sawah.

Sebuah timah panas yang ditembak salah seorang tim buser berhasil mendarat di paha kanan Imron. Pria berwajah bengis itu pun akhirnya tersungkur. Hanya hitungan detik polisi berhasil mengamankannya.

***

Anton melaporkan apa yang dilihatnya kepada komandan jaga. Tak lama kemudian beberapa sipir datang ditemani petugas medis lapas.

Sel XX.03 segera dibuka. Anton dan cecep masuk duluan untuk memeriksa kondisi Imron alias Rate. Mereka khawatir ini hanya akal-akalan pria licik tersebut. Maklum, reputasi  Imron yang dikenal sadis dan banyak akal sudah tidak diragukan lagi. Oleh sebab itu wajar kalau mereka harus berjaga-jaga.

Anton membalikkan tubuh Imron menggunakan kakinya, sedangkan tangan kanannya memegang pentungan. Sementara Dadang tetap berjaga-jaga di samping penjahat kambuhan tersebut sambil membungkuk dan menepak-nepak wajah Imron pelan-pelan.

"Aman Ndan!" Ujar Dadang sambil wajahnya memandang komandan jaga yang ada di luar sel.

"Silakan masuk," perintah komandan jaga kepada tim medis yang akan memeriksa kondisi Imron.

Dua orang petugas medis pun masuk ke dalam sel XX.03 untuk memastikan kondisi Imron yang terlihat terbujur lemah tak berdaya.

Salah seorang petugas memeriksa urat nadi tangan Imron. Dia juga memeriksa leher dan matanya. Sementara semua sipir tetap mengamati dari luar sel yang ukurannya 2 x 3 meter tersebut.

"Masih ada napasnya. Dia masih hidup. Ayo kita bawa ke rumah sakit," ujar petugas medis tersebut.

Komandan jaga pun menelepon kepala lapas untuk melaporkan kejadiannya. Dia minta izin untuk membawa Imron ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dengan bantuan pengawalan petugas.

Malam itu suasana Lapas Sukamiskin, menjadi heboh. Imron yang biasanya sehat dan dikenal jago berkelahi terpaksa harus ditandu ke ambulance  untuk dibawa ke rumah sakit.

Lapas Sukamiskin, Pukul 23.05 WIB.

Beberapa petugas medis dan keamanan bergegas masuk ke dalam mobil ambulance. Sementara cuaca malam itu tampak kurang bersahabat. Tetesan air hujan  mulai membasahi bumi.

Dengan tangan diborgol dan diinpus, Imron terbaring lemah di dalam ambulance. Seorang petugas medis dan petugas keamanan menemaninya.

Dengan bunyi sirine meraung-raung, ambulance segera bergerak keluar Lapas Sukamiskin. Suaranya memecah kesunyian Kota Bandung yang saat itu diterpa hujan deras. Beberapa warganya tengah tertidur lelap terbuai dinginnya udara malam.

Tanpa sepengetahuan petugas, diam-diam Imron sedang merencanakan sesuatu. Ternyata pria beristri dua yang sedang menjalani hukuman 15 tahun penjara tersebut tidak pingsan, tapi dia pura-pura sakit.

Hmm, ini saat yang tepat buatku kabur, gumam Imron dalam hati. Matanya terbuka sedikit untuk mengintip situasi di sekitarnya. Sementara jemari tangannya sedang mengotak-atik lubang kunci borgol yang  membelenggu kedua tangannya.

Sebuah tusuk gigi yang sejak tadi terselip di resleting celananya coba diraihnya. Usahanya tidak mudah mengingat kedua tangannya masih diborgol.

Imron beruntung, kedua petugas yang mengawalnya terlihat teledor. Petugas medis asyik memainkan handphone-nya, sementara petugas jaga tampak setengah mengantuk. Beberapa kali mulutnya menguap lebar seperti buaya yang akan menerkam mangsanya.

Bukan Imron namanya kalau tak bisa membuka kunci borgol. Kunci brankas bank yang sulit dibuka saja berhasil diakalinya, apalagi ini cuma sebuah borgol, tentu sangat mudah baginya.

Benar saja, Imron berhasil membuka kunci borgol. Namun, dia tidak langsung lari, melainkan tetap sabar menanti saat yang tepat.

Dalam hitungan detik, tiba-tiba tubuh pria yang sedang terbaring itu bangkit. Sebuah bogem mentah dengan telak tepat mendarat di dagu petugas keamanan yang sedang tergontai kepalanya karena mengantuk sehingga membuatnya langsung jatuh pingsan.

Petugas medis hanya bisa melongo ketakutan ketika Dadang merampas senjata api petugas, lalu membuka pintu dan segera melompat keluar. Tubuh pria itu sempat sempoyongan sebelum akhirnya berhasil menguasai dirinya dan kabur di jalan.

Imron terus berlari sekuat tenaga di Jalan Surapati, tak jauh dari Gedung Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Bandung. Sebuah sepeda motor trail yang berbelok dari arah Barat hampir saja menabraknya.

Dengan sebuah tendangan, motor itu terpental. Pengemudinya langsung terjerembab ke aspal. Kesempatan itu tak disia-siakan Imron untuk merampas motor itu.

Setelah menyelipkan pistol hasil rampasannya ke pinggang, Imron melaju dengan kecepatan tinggi ke arah fly over Pasteur. Hanya beberapa detik tubuhnya hilang ditelan kegelapan malam.

Perampokan di Siang Bolong

Bandung, 21 Maret 2016 Pukul 13.05 WIB

Sebuah mobil Pajero Sport warna hitam menepi di Jalan Sudirman. Empat orang pria berpakaian serba hitam, memakai kupluk, dan bersenjata api mendekati kantor sebuah bank.

Seorang pria yang bertubuh kurus memakai pistol FN 45 memberi aba-aba masuk kepada tiga rekannya yang membawa senjata laras panjang AK 47 sambil membawa tas gendong dipunggungnya.

Dengan todongan pistol, seorang penjaga keamanan bank dibuat tak berkutik. Mereka segera masuk ke dalam bank.

Dor...dor ....dor ....! Terdengar tiga kali letusan senjata api. Penghuni bank sontak terkejut.

"Jangan bergerak. Ini perampokan. Kalau semua koorporatif, tidak akan ada yang terluka!" Teriak pimpinan perampok sambil menjatuhkan satpam yang disanderanya ke lantai dan menginjak kepalanya.

Semua orang yang ada dalam bank panik. Beberapa wanita yang sedang mengantri di teller sempat berteriak. Namun teriakan itu berhenti ketika mendapat bentakan dsn todongan senjata api dari kawanan perampok. Wajah mereka mendadak jadi pucat pasi seperti habis melihat hantu di siang bolong.

Seorang perampok segera menggiring benerapa nasabah bank ke sudut ruangan, seorang perampok yang tubuhnya paling gemuk menggiring semua pegawai bank ke sudut meja kerja. Sementara seorang lagi berjaga-jaga di dekat pintu masuk sambil menenteng senjatanya.

Imron yang memimpin perampokan itu memerintahkan dua orang wanita pegawai bank memasukkan uang ke dalam beberapa tas gendong yang dibawanya. Sementara dia lompat dan naik ke atas meja sambil mengawasi situasi.

"Cepat ...cepat ... cepat. Masukkan yang seratus ribuan saja ...cepaaat!" Hardiknya sambil mengacungkan pistol ke arah pegawai bank tersebut yang membuat mereka ketakutan.

"Iii..iyaaa Pak ...," jawab salah seorang wanita itu dengan gugup sambil tangannya memasukan beberapa gepok uang pecahan seratus ribuan.

Tidak sampai lima menit, empat tas gendong sudah penuh berisi uang. Mereka bersiap hendak keluar dari bank.

Dor ...dor ...dor .... Tiba-tiba terdengar letusan senjata dari arah belakang.

Tembakan itu mengarah ke perampok yang sedang berjaga di pintu luar. Kemudian langsung dibalas dengan rentetan tembakan oleh para perampok. Suasana jadi mencekam. Imron segera memburu sumber tembakan sambil menyelinap di antara tiang gedung bank tersebut.

Kembali tembakan terdengat saling sahut-sahutan. Seorang perampok yang sedang mengamankan di pintu keluar tertempak kaki kirinya.

"Aaarh ...Aku kena!" Teriak pria itu sambil mengerang kesakitan.

Darah segar mengalir deras dari paha kirinya. Dia sempat terjatuh sambil membalas tembakan. Lalu dia berdiri lagi dan dengan menyeret kakinya bergeser ke dinding dekat pintu keluar.

Tembak menembak masih terjadi. Tiba-tiba terdengar teriakan dari arah belakang.

"Aaaarh ....aaarh....," terdengar suara mengerang kesakitan.

Ternyata itu suara dari salah seorang satpam bank yang sejak tadi bersembunyi di ruang belakang dan melakukan perlawanan. Tubuhnya bersimbah darah. Bahu kanannya tertembus peluru Imron.

Dengan sadis Imron menyeret pria malang itu dan membawanya ke tengah ruangan, disatukan dengan satpam yang tadi disandera.

"Ini jadinya kalau ada yang berani melawan. Jangan sok jago. Biarkan kami pergi kalau kalian masih sayang dengan nyawa." Ujar Imron dengan nada keras.

Kemudian Imron memberi aba-aba kepada ketiga anak buahnya untuk segera pergi sambil menenteng uang jarahannya. Dua orang temannya ikut membantu membandu jalan anggota mereka yang tertembak menuju keluar.

Keempat gerombolan perampok bank itu lalu masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu. Mobil dalam kondisi mesin menyala dan siap berangkat.

"Ayo kita cabuuut. Cepaaat ....cepaaaat!" Perintah imron yang duduk di samping sopir.

Sepeninggal komplotan Imron, petugas satpam melaporkan kejadian tersebut ke pihak kepolisian. Dalam waktu singkat satu tim buser kepolisian Polda Jabar melakukan pengejaran ke arah Barat.

Sementara itu Imron dan komplotannya sedang merencanakan pelariannya. Mereka terus tancap gas dari Jalan Sudirman menuju ke arah Cimahi, lalu belok ke arah Jalan Jamika.

"Kita kabur kemana Bos? Bagaimana kalau ke Jakarta?" Usul Kardun sambil menyetir ke arah Jalan Terusan Pasir Koja.

"Jangan ke Jakarta. Kita pasti terjebak. Polisi pasti mudah menghadang kita," jawab Imron.

"Kalau begitu kita kabur ke arah Timur saja bos. Kita ke Garut atau Sumedang," usul Gepeng yang bertubuh kurus pendek.

"Iya bos, ke sana saja," timpal Pengkor mendukung usulan Gepeng.

"Goblok kalian! Lari ke sana mah bunuh diri tahu! Markas Polda Jabar kan dekat Cileunyi. Pasti mereka sudah mencegat kita di sana," bantah Imron dengan nada marah.

Gogon yang bertubuh paling gemuk dan paha kirinya tertembak hanya diam saja tak berkomentar. Dia terus mengerang kesakitan sambil mengikat pahanya dengan baju kemejanya. Dia memang paling pendiam di antara kelima temannya. Namun, pria berjambang lebat ini dikenal cukup sadis, tidak jauh dengan Imron, bosnya.

Mobil Pajero hitam yang mereka tumpangi mulai memasuki Gerbang Tol Pasir Koja. Imron tampak sedang berpikir keras. Dia tak mau gagal dalam aksinya kali ini.

"Ambil kanan Dun. Kita ke arah Jakarta. Kita nanti keluar di Padalarang!" Perintah Imron tegas.

Mobil yang mereka tumpangi pun bergerak ke arah Jakarta dengan kecepatan tinggi. Suasana di jalan tol saat itu tidak begitu ramai.

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan sirine suara mobil patroli polisi. Mobil itu beberapa kali memberi kode dari kejauhan dengan cara mengedip-ngedipkan lampu depannya agar mereka menepi.

"Waduh, bagaimana nih bos? Kita minggir atau terus saja?" Tanya Kardun cemas.

"Goblok kamu Dun! Ya kabur dong. Tancap gas, jangan sampai kesalip," hardik Imron sambil melotot dan kepalanya menoleh ke belakang melihat mobil patroli polisi yang mengejar mereka.

Sampai pintu tol Padalarang, Kardun langsung menerobos saja tanpa membayar tol. Namun sayangnya, pas perempatan jalan, lampu merah menyala.

"Terabas saja Dun!" Bentak Imron.

Tanpa pikir panjang Kardun menerobos lampu merah. Sebuah mobil angkot warna hijau tiba-tiba melaju dari arah Timur, hampir saja mereka tabrakan.

Mobil terus bergerak ke arah kompleks Kota Baru Parahyangan, kemudian memutar balik ke arah Padalarang. Dekat Depo Pertamina, jalanan macet. Banyak angkot ngetem di sana. Mesti sudah dibunyikan bel berkali-kali, tetap saja angkot yang ngetem tidak mau bergeser.

Hal tersebut membuat Imron gelisah. Kemudian dia mengambil inisiatif turun dari mobil dan menghardik sopir-sopir angkot yang menjadi sumber kemacetan sambil menodongkan pistolnya.

"Apa kau sudah bosan hidup! Bikin macet saja. Dasar angkot sialan! Jalan!" Bentak Imron kesal.

"Ma ...ma..maaf Bang. Saya akan jalan. Jangan tembak aku Bang ...," jawab sopir angkot asal Medan itu dengan logat Bataknya yang kental.

Baru saja mereka berhasil menyalip angkot tadi, mobil patroli polisi yang mengejar mereka terlihat mendekat. Kemudian terdengar suara tembakan.

Dengan berjalan zig-zag Pajero hitam itu mencoba berkelit dari kejaran petugas kepolisian. Mobil patroli polisi pun terus bergerak mendekat sambil terus menembaki mobil komplotan Imron.

Beberapa tembakan polisi sempat mengenai kaca bagian belakang mobil Pajero hitam. Tembakan lainnya mengenai ban belakang sebelah kanan dan tangki bensin. Namun, mobil komplotan itu tidak peduli. Mereka tetap tancap gas.

"Berikan senjata. Biar kita kasih pelajaran mereka," perintah Imron kepada Gogon.

Penjahat yang pernah membunuh seorang pedagang beras saat melakukan perampokan di Bekasi itupun menyerahkan senapan laras panjang AK 47 bikinan Rusia itu ke Imron.

Tak lama kemudian terdengar rentetan tembakan dari pintu depan samping kiri mobil Pajero hitam. Imron memberondong mobil patroli polisi itu dengan sangar.

Taaaaat ...taaaat ...taaaat ..... Suara rentetan tembakan terdengar menyalak, berhasil mengenai kampu depan dan kap mobil polisi.

"Rasaaain loh ...Mereka belum tahu kita kayaknya," umpat Imron bangga.

"Sikaaat terus bos!" Timpal Kardun sambil terus mengemudikan kendaraannya seperti orang kesetanan.

Mobil patroli polisi itu kemudian agak mengurangi kecepatannya. Seorang polisi yang ada didalamnya terlihat menghubungi rekannya. Rupanya dia sedang berkordinasi dengan tim buser Polda Jabar yang sejak tadi bergerak dari markas mereka di Jalan Soekarno-Hatta.

Posisi kedua mobil terpaut agak jauh. Kesempatan itu tidak disia-siakan Kardun untuk menekan pol pedal gas mobil yang dikendarainya. Mereka terus bergerak ke arah Cianjur melewati Situ Ciburuy dengan menyalip beberapa kendaraan yang ada di depannya.

Saat memasuki Cipatat, ban mobil Pajero kempes. Namun mereka tetap memaksakan bergerak sehingga laju mobil menjadi oleng, tidak stabil. Sementara sejak tadi buriran bensin terus mengalir dari tangkinya.

Kecepatan mobil Pajero pun semakin berkurang karena tertahan ban yang sudah agak kempes sebelah. Mendekati jembatan Citarum di daerah Rajamandala, mobil mulai ngadat, sampai akhirnya berhenti di sisi jalan.

Sayup-sayup terdengar sirine mobil patroli polisi yang tadi mengejar kian mendekat diikuti sebuah mobil Avanza silver yang ditumpangi tim buser Polda Jabar.

Mobil patroli dan mobil Avanza berhenti tak jauh dari mobil Pajero. Tak lama kemudian terdengar rentetan tembakan dari balik mobil tersebut yang langsung dibalas oleh pihak kepolisian.

Tembak menembak berlangsung seru. Kedua belah pihak tak ada yang mengalah. Diam-diam Imron dan dua rekannya menyelinap lari ke arah jembatan Citarum, sementara kedua temannya melindungi mereka dengan rentetan tembakan ke arah polisi yang berlindung dibalik mobil mereka.

Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari arah mobil Pajero hitam,"Aaarh ...!"

"Tahan tembakan," seru Komandan tim buser kepada anggotanya sambil memberi kode agar mereka bergerak maju.

Benar saja, dua orang komplotan perampok terkapar bersimbah darah. Ternyata Gogon dan Pengkor terkulai lemah tak berdaya. Senjata keduanya masih dipegang dengan posisi tengkurap.

Salah seorang anggota polisi memeriksa kedua penjahat kambuhan tersebut dengan hati-hati, sementara anggota lainnya masuk ke mobil Pajero dan memeriksa isinya.

"Target sudah tewas Ndan," ujar polisi yang tadi memeriksa Gogon dan Pengkor.

"Kita kejar anggota yang lain. Itu mereka bersembunyi di jembatan Citarum. Kita tetap waspada, sebab mereka masih memegang senjata," ujar Komandan tim buser.

Tim polisi bergerak menyisir jembatan dari kedua sisi. Mereka mengendap-endap mendekati jembatan Citarum. Saat hampir mendekat, dari sisi Selatan terdengar rentetan tembakan ke arah mereka.

Kembali terjadi tembak menemak yang sengit. Terlihat dua orang berlari menuju ujung jembatan sambil sekali-kali melepas tembakan ke belakang.

"Ini pihak kepolisian. Kami minta kalian menyerah," teriak salah seorang anggota polisi melalui pengeras suara yang dibawanya.

Komplotan Imron ternyata keras kepala. Mereka tetap melakukan perlawanan.

Dua orang anak buah Imron terlihat terkapar kena timah panas anggota polisi. Kali ini keduanya menyerah sambil berlutut. Sementara Imron masih bersembunyi dibalik tiang jembatan.

Tembak menembak masih terjadi. Namun, tidak segenjar sebelumnya. Tampaknya Imron sudah mulai kehabisan peluru.

Seorang petugas berhasil mendekati posisi Imron dan berhasil menembaknya. Entah bagian mana yang tertembak, tidak begitu jelas. Soalnya tubuh pria kurus bertato harimau itu kemudian melayang jatuh ke bawah jembatan dan hanyut terbawa arus Sungai Citarum. 

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun