Mohon tunggu...
Julius Situmorang
Julius Situmorang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Buku Jendela Dunia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Apakah Bayi yang Gugur Itu Lebih Beruntung daripada Kita yang Hidup Ini? (Menggugat Nada Negatif akan Kehidupan: Sebuah Tafsir Pengkhotbah 6:1-12)

14 Juli 2022   21:16 Diperbarui: 14 Juli 2022   21:38 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pendahuluan 

Semenjak saya masih duduk di bangku sekolah menengah hingga sekarang di masa perkuliahan teologi, saya suka mengikuti serial komik berjudul One Piece. Hal tersebut dikarenakan cerita dalam komik tersebut yang tak kunjung usai mulai tahun 1999, yang memiliki jalan cerita menarik dan tidak terduga hingga sekarang. 

Awal cerita dalam komik tersebut adalah proses eksekusi raja bajak laut yang telah menyerahkan dirinya untuk ditangkap oleh angkatan laut. Raja bajak laut tersebut telah memiliki kekayaan, kemasyuran, dan kekuatan yang tak tertandingi. Lalu sebelum kepala raja bajak laut tersebut terpotong, ia mengucapkan kata-kata terakhirnya kepada orang-orang yang menyaksikan proses eksekusi dirinya di lapangan terbuka. 

Kata-kata yang ia ucapkan sebagai berikut; “harta karunku? (kekayaan, kemasyuran, dan kekuatan) semuanya itu akan kuberikan kepadamu. Tapi, carilah aku menyembunyikan semuanya di tempat itu”. Setelah mengucapkan kata-kata terakhir tersebut sang raja bajak laut dieksekusi mati, tetapi dimulai dari hari itu juga, era bajak laut telah dimulai. 

Menarik sekali ketika era bajak laut dimulai dikarenakan iming-iming ketiga hal tersebut, yaitu kekayaan, kemasyuran, dan kekuatan. Semua orang ternyata berbondong-bondong berlayar ke laut untuk mencari ketiga hal tersebut. 

Saya rasa ketiga hal tersebut adalah sesuatu yang fundamental dan memang selalu dicari-cari oleh kebanyakan orang sampai sekarang. Pembahasan mengenai kekayaan, kemasyuran, dan kekuatan ternyata memang sangat populer untuk dibahas. Perikop yang saya angkat dalam penulisan paper ini juga berkaitan dengan kemasyuran, kekayaan dan mungkin juga kekuatan.

Tetapi secara khusus Pengkhotbah 6: 1-12 adalah perikop pembacaan yang menurut Emmanuel Gerrit Singgih masuk dalam kategori tema; “Percuma mengandalkan kealiman, birokrasi dan kekayaan”.[1] Sekilas ketika membaca perikop Pkh 6: 1-12 ini memang semuanya berisi tentang komentar-komentar Kohelet tentang hal-hal tersebut, 

dan seperti judul tema yang diberikan EGS ketiga hal tersebut adalah percuma untuk diandalkan. Tetapi bukankah terkadang ketiga hal tersebut justru menjadi penyemangat bagi orang-orang untuk menjalani hidupnya. Dari sini saya akan menggali bagaimana ketiga hal tersebut dapat dijadikan landasan oleh manusia untuk menjalani hidupnya, 

apakah hal tersebut dimungkinkan? Yang jelas belum tentu hal tersebut memang bisa dijadikan patokan untuk penyemangat hidup. Kalau begitu apakah begitu keji manusia yang memperjuangkan hal-hal itu? Sehingga kohelet menyampaikan perkataan-perkataan yang negatid terkait orang-orang yang mendapatkan hal-hal tersebut.

 

 

Dalam mengklasifikasikan tema-tema dalam kitab pengkhotbah ini, saya mengikuti tema yang diberikan oleh EGS. Untuk perikop Pengkhotbah 6: 1-12 ini, seperti yang saya katakan di atas, bahwa Pengkhotbah 6: 1-12 ini masuk dalam tema “percuma mengandalkan kealiman, birokrasi dan kekayaan”. Tetapi di sini saya akan lebih menyederhanakan tema besar tersebut menjadi tema yang lebih kecil. 

Fokus tema tersebut saya angkat berdasarkan konteks pembahasan dalam perikop Pengkhotbah 6: 1-12, yang khusus menyoroti masalah kekayaan, harta benda dan kelimpahan saja. 

Dua hal lainnya, yaitu kealiman saya rasa menjadi bagian pembahasan pada perikop Pengkhotbah sebelumnya. 

Jadi secara garis besar apa yang menjadi sorotan utama oleh Kohelet di sini hanya perihal kekayaan, harta benda dan kelimpahan. Selain itu konteks penulis pengkhotbah di sini akan saya bahas di bagian tafsir teks.

 

  • Kohelet menyoroti orang yang memiliki kekayaan, harta benda dan kelimpahan. 

 

Ayat 1 & 2: kedua ayat ini adalah situasi awal yang disoroti dalam konteks permasalahan yang ada di dalam pasal 6. Seperti yang diketahui bersama ada beberapa sorotan spesifik dalam uraian tulisan-tulisan Kohelet yang selalu mengomentari berbagai macam faktor kehidupan umat manusia. 

Seperti yang terlihat dalam pasal-pasal sebelumnya, yaitu pasal 4: 17- 5: 6 konteks yang disoroti adalah ibadah, sedangkan pasal 5: 7-8 konteks yang disoroti adalah tentang birokrasi (menurut EGS).[2] Sedangkan pada pasal 6: 1-2 ini konteksnya menyoroti manusia yang diberi kekayaan, harta benda dan kelimpahan. Di sini saya mengikuti C. L. Seow dan Fox yang mengartikan kabod sebagai kelimpahan dibandingkan dengan kemuliaan.[3]

 Untuk memahami lebih dalam ayat 1 & 2 ini, pertama-tama saya lebih tertarik untuk mengidentifikasi siapa orang-orang yang dimaksud oleh Kohelet di sini. Jika merujuk pada literernya saja memang akan susah untuk mengidentifikasi orang-orang yang dimaksudkan oleh Kohelet di sini. 

Ayat 1 hanya merujuk pada adanya ra’ah, yang berarti kemalangan, dan kemalangan tersebut sangatlah berat (rabbah) dirasakan oleh manusia.[4] Menurut EGS, dengan membandingkan ayat 1 dengan pasal 2: 21, ungkapan ra’ah rabbah adalah idiom untuk mengungkapkan adanya suatu malapetaka besar.

[5] Jika melihat pada konteks pada saat penulisan paper ini, saya rasa ra’ah rabbah adalah ungkapan yang ingin menunjukkan wabah pandemi covid-19 ini. 

Tetapi tidak bisa semudah itu memparalelkan ra’ah rabbah yang ada pada pengkhotbah 6: 1 ini dengan kondisi pandemi covid-19 saat ini, untuk itu akan saya gali sedikit bagaimana ra’ah rabbah ini bisa diandaikan pada konteks jaman sekarang. Ra’ah rabbah yang dimaksudkan oleh Kohelet pada ayat 1 ini berkaitan dengan ayat 2 yang merujuk pada seseorang yang telah mendapatkan kekayaan, harta benda dan kelimpahan dari Allah.

 Menurut Mark R. Sneed yang menyitir pendapat Lauha, konteks ayat 1 dan 2 ini ada kaitannya dengan orang-orang yang diperas oleh rezim pemerintahan Ptolemaik, orang-orang yang diperas itu adalah orang-orang kaya yang harta bendanya disita dan diberikan kepada orang asing.

[6] Tentu saja Sneed di sini mengandaikan bahwa kohelet adalah orang yang hidup di zaman rezim tersebut, dan dengan mata kepalanya sendiri melihat bagaimana orang-orang yang hidup pada masa rezim tersebut mendapatkan perlakuan yang semena-mena dari penguasa rezim tersebut. 

Alhasil Kohelet yang melihat hal tersebut kemudian merenungkannya dengan seksama bahwa ra’ah rabbah yang dia lihat mungkin adalah sitausi di mana rezim Ptolemaik berkuasa. 

Di lain pihak, teolog Algeria, Jacques B. Doukhan menganggap ungkapan situasi yang tertuang dalam Pengkhotbah 6: 1-2 ini merupakan sindiran terhadap Raja Salomo yang mendapatkan kekayaan, harta benda dan kelimpahan dari Allah, 

tetapi tidak dapat menikmati hal-hal tersebut, melainkan orang asinglah yang menikmati hal-hal tersebut, orang asing tersebut menjadi raja atas Israel, yaitu Raja Yerobeam.[7] Jika mengikuti Doukhan, konteks penulis kitab Pengkhotbah ini belum terkuak kondisinya, oleh karena itu saya mengikuti Sneed dalam menggambarkan konteks penulisan di pasal 6: 1 ini. 

 Setelah mencoba merujuk pada konteks sosial penulisan di pasal 6: 1-2 ini, sekarang saya berangkat lebih jauh dalam mengidentifikasi siapakah orang yang dimaksud dalam ungkapan situasi tersebut. Sebelumnya perlu dicermati bahwa ayat 2 menurut Michael Fox adalah kalimat anacoluthon, yang berarti kalimat tersebut tidak mengikuti tata bahasa yang semestinya.

[8] Melengkapi Fox saya meminjam pemahaman C. L. Seow yang berpendapat bahwa kata isy pada ayat 2a tidak bisa menjadi rujukan hanya pada laki-laki saja, melainkan merujuk pada siapa pun orang tersebut, entah itu perempuan atau laki-laki, hitam atau putih, yang jelas kata isy merujuk pada segala jenis orang (a person).

[9] Kalau saya tidak salah mengerti penekanan yang dimaksud oleh C. L. Seow dan Fox mungkin adalah tentang makna kata isy yang berarti; siapa saja orang tersebut. Jadi jika dikaitkan dengan kalimat lengkapnya berarti ayat 2a dapat diartikan: “siapapun orangnya dapat menerima kekayaan, harta benda dan kelimpahan yang diberikan oleh sang Allah”. 

Selain itu siapa pun orangnya itu tidak diberi kuasa oleh Allah untuk menikmati hal-hal tersebut (ayat 2b). Kembali ke konteks jaman sekarang orang-orang yang sedang was-was sembari merasa cemas akan wabah covid-19 saat ini sangat menyadari bahwa siapa pun diri mereka bisa saja terinfeksi covid-19 ini. 

Baik tenaga medis, orang beriman atau pun yang tidak beriman, orang kaya atau pun yang misikin, semuanya dapat terinfeksi virus covid-19 ini. Kurang lebih orang-orang yang diamati oleh Kohelet pada saat itu adalah orang-orang yang dalam kondisi seperti itu. 

 Selanjutnya ketika menyadari bahwa orang-orang tersebut tidak diberi kuasa untuk menikmati apa yang dimilikinya tersebut, ternyata ada orang-orang asing yang mendapat kesempatan untuk menikmati hal-hal tersebut. Menurut EGS orang asing (isy nokri) tersebut adalah siapa saja yang menikmati kekayaan orang yang malang tersebut, 

tetapi di lain pihak BIS-LAI mengartikan isy nokri orang yang tidak dikenal-Nya, dari sini EGS mempertanyakan keputusan BIS-LAI yang dengan sengaja menggunakan awalan huruf besar pada kata “Nya”.[10] Jika meminjam konteks yang diberikan Sneed di atas, 

saya rasa BIS-LAI ingin mengatakan bahwa orang yang menikmati kekayaan orang malang ini adalah orang-orang Yunani atau penguasa rezim ptolemaik yang telah merampas kekayaan warga Yahudi. Jadi mereka yang menikmati kekayaan orang-orang malang tersebut adalah orang-orang di luar kaum Yahudi, 

yang berarti mereka tidak termasuk qahal YHWH. Mungkin saja seperti itu dasar yang digunakan oleh BIS-LAI. Dari ungkapan situasi-situasi kondisi yang dilihat oleh Kohelet dalam ayat 1 & 2 tersebut, akhirnya Kohelet kembali mengatakan kata andalannya hebel. Tetapi kata hebel sekarang diikuti dengan kata khali dan ra, yang berarti menyakitkan dan sebuah kemalangan.[11]

 

  • Nada pesimis Kohelet terhadap kehidupan yang gagal menikmati kekayaan, harta benda dan kelimpahan

 

Ayat 3: Fox pada ayat 3 ini memberi argumen bahwa ayat 3 ini adalah kemungkinan-kemungkinan yang dapat meringankan atau pun dapat membuat penggambaran seseorang dalam ayat 2 sebelumnya tidak terlihat begitu menyedihkan.

[12] Tetapi hal itu malah menuntun Fox pada kesimpulan bahwa usaha tersebut ternyata tidak terlalu memperbaiki gambaran di ayat 2, malahan itu malah menambah penggambaran akan kemalangan seseorang di ayat 2 tersebut. 

Argumen Fox berawal dari kenyataan bahwa jika Tuhan memberikan kekayaan, harta benda dan kelimpahan pada manusia, tetapi Tuhan tidak memberikan kuasa padanya untuk menikmatinya (ayat 2), itu berarti adalah sebuah kondisi yang absurd dan sebuah kemalangan.

[13] Kemudian pada ayat 3, Fox menganggap bahwa Kohelet mencoba untuk memberikan beberapa pertimbangan yang sekiranya bisa membuat penggambaran orang di ayat 2 di atas tidak terlihat terlalu menyedihkan, padahal malah membuat penggambaran orang di ayat 2 terlihat lebih buruk lagi.

[14] Hal yang dapat membuat orang di ayat 2 terlihat lebih baik adalah umur panjang dan banyak anak, yang menurut EGS dianggap sebagai berkat dalam Perjanjian Lama.[15] Tetapi ternyata penggambaran tersebut malah membuat penggambaran orang di ayat 2 terlihat tambah menyedihkan, 

bahkan Fox mengatakan lebih baik orang tersebut tidak usah ada sekalian.[16] Hal tersebut dikarenakan Kohelet melihat bahwa orang tersebut, walaupun berumur panjang dan memiliki banyak anak, tetapi tidak ada kepuasan dalam dirinya, dan tidak mendapatkan tempat penguburan yang layak.

 Menurut C. L. Seow kata Qebura dalam ayat ini tidak merujuk pada tindakan penguburan, tetapi ke tempat penguburan, kata ini dibuktikan dalam berbagai prasasti Semit Barat, yang selalu merujuk pada tempat penguburan, bukan upacara pemakaman.

[17] Orang yang ada pada ayat 3 ini ternyata memiliki kekhawatiran tentang hari-harinya yang akan datang dan mengeluh bilamana ia tidak mendapatkan tempat pemakaman yang layak.[18] Hal tersebutlah yang membuat Kohelet menganggap orang di ayat 3 ini tidak lebih dari bayi gugur (hannafel). 

 Ayat 4 & 5: kenapa bayi gugur disandingkan dengan orang yang ada dalam ayat 3? Di sini lah jawaban tersebut diuraikan oleh Kohelet. Dengan waktu yang cukup lama akhirnya EGS berhasil memahami Kohelet yang menyandingkan orang di ayat 3 dengan bayi gugur tersebut, dengan berawal dari pemahaman akan sebuah film berjudul “The Prince of Tides”.[19] EGS menguraikan keberhasilannya memahami Kohelet sebagai berikut;

 Dalam film tersebut diceritakan bagaimana ada seorang anak perempuan, yang hidup miskin dalam keluarganya, dan suatu ketika mendapati adiknya yang telah mati di dalam freezer. Ketika mendapati adiknya yang mati di dalam freezer tersebut, anak perempuan tersebut berkata; 

“Kau sangat beruntung lahir gugur, tidak perlu mengalami penderitaan seperti saya”. Hal tersebut disandingkan oleh EGS dengan penderitaan mental Kohelet yang harus hidup di bawah bayang-bayang maut.[20] 

 Berbeda dengan EGS yang berhasil memahami ungkapan Kohelet yang menganggap lebih menguntungkan bayi gugur daripada orang yang menderita seperti digambarkan pada ayat 2 dan 3, saya tidak bisa menerima perbandingan Kohelet tersebut. Pertama jelas nada perbandingan orang yang hidup menderita dengan bayi gugur adalah nada yang pesimis terhadap kehidupan. 

Dalam masa pandemi covid-19 ini, semua orang telah dirampas kehidupan normalnya. Segala jenis aktivitas pekerjaan, perkuliahan dan kegiatan-kegiatan lainnya sekarang harus segera diberhentikan untuk sementara. 

Baik orang yang memiliki kekayaan, harta benda dan kelimpahan (oser, unkasim, wekabod) tidak bisa menikmatinya karena harus mendekam di rumah, dan jika digolongkan sebagai orang dalam pengawasan (ODP) atau pasien dalam pengawasan (PDP), maka malah harus mendekam di Rumah Sakit untuk menjalani isolasi. 

Apakah dengan demikian orang-orang tersebut berpikir bahwa bayi gugur lebih baik dari pada dirinya? Saya sendiri telah menjalani masa isolasi di Rumah Sakit selama satu minggu karena diduga sebagai ODP, tetapi saya tidak berpikir bahwa bayi gugur lebih baik dari pada saya, mungkin karena saya hanya ditahan di RS selama satu minggu saja. 

Tetapi dengan melihat para perusahaan-perusahaan dan pemerintahan yang mengalami dampak yang hebat karena pandemi covid-19 ini, mereka juga tidak menunjukkan adanya nada pesimis dalam hidup yang seperti ini. 

Walaupun kekayaan, harta benda dan kelimpahan mereka miliki tetapi tidak bisa mereka nikmati pada saat ini, mereka tetap memikirkan hal-hal positif dalam menjalani situasi pandemi Covid-19 ini. Bahkan program-program pemerintah yang baru-baru saat ini sedang gencar-gencarnya menggalangkan kehidupan normal yang baru (new normal). 

Jadi tentu saja sepahit-pahitnya kehidupan dalam dunia ini jauh lebih berharga dari pada bayi yang gugur tersebut. Memang bayi gugur tidak perlu menikmati penderitaan seperti yang digambarkan pada konteks ayat 2 dan 3, atau konteks masa kini, tetapi bayi gugur juga tidak memiliki kesempatan untuk berusaha dalam menjalani kehidupan itu sendiri. 

Bagi Kohelet tidak dapat dihindari bahwa seseorang akan mengamati kejahatan yang ada (Pkh. 4: 1-3), tetapi orang juga dapat “melihat yang baik,” yaitu, menikmati apa yang dimiliki seseorang di masa sekarang.[21] 

 Di sisi lain EGS dan Fox sepakat bahwa bayi gugur juga lebih tenang/tentram (nakhat), jika dibandingkan orang malang yang dideskripsikan pada ayat 2 dan 3. Merujuk pada C. L. Seow kata nakhat harus dilihat bersamaan dengan penggunaan kata nakhat di pasal 4: 6 dan pasal 9: 17.

[22] Di pasal 4: 6 dipakai nakhat untuk mengungkapkan sesuatu yang lebih baik dari pada dua gengam jerih payah dan usaha menjaring angin. Di sini ketenangan (nakhat) dilekatkan dengan aktifitas kehidupan manusia yang hidup bukan yang telah mati. 

Sedangkan di pasal 9: 17, nakhat dikaitkan dengan perilaku yang baik ketika orang berhikmat berbicara. Ternyata di kedua ayat lainnya, kata nakhat selalu berhubungan dengan perilaku orang yang masih hidup. Jadi ketenangan adalah sifat yang dikaitkan dengan suasana kehidupan seseorang yang masih hidup. 

Sedangkan dalam pasal 6: 5 ini nakhat dikaitkan dengan bayi gugur yang mati. Secara sederhana saya menganggap Kohelet tidak konsisten di sini, pertama dia menggunakan ketenangan untuk merujuk pada aktifitas kehidupan manusia. 

Kedua di pasal 6: 5 ketenagan dikaitkan dengan bayi gugur, yang jelas bukan aktifitsas kehidupan manusia. Terakhir di pasal 9: 17 digunakan kembali untuk aktifitas kehidupan manusia. Jadi jika mengacu pada sifat ketenangan yang dimaksud Kohelet di 2 ayat lainnya, saya rasa ketenangan tidak ada jika hidup saja tidak pernah. 

Memang bisa saja pengertian ketenangan di sini dikaitkan dengan ketenangan abadi, atau kematian.[23] Berarti bayi gugur lebih merasakan kematiannya dari pada orang yang digambarkan pada ayat 2 dan 3. Kemungkinan yang terakhir bisa saja menjadi opsi dalam menafsirkan ayat 5 ini. 

Tetapi apa maksudnya lebih merasakan kematian? Mungkin itu yang dimaksud dengan meninggal tanpa harus merasakan kehidupan di bawah bayang-bayang maut terlebih dahulu. 

 

  • Ungkapan lain tentang orang yang memiliki kekayaan, harta benda dan kelimpahan.

 

Ayat 6:  Menurut EGS ayat 6 ini terdiri dari dua bagian yang tidak “nyambung” satu dengan yang lainnya.[24] Pertama menjelaskan tentang pengandaian jika orang yang memiliki kekayaan, harta benda dan kelimpahan tersebut bisa hidup 2x1000 tahun (syanim pa’amayim), tetapi tidak bisa puas menikmati kesenangan.

[25] Menjadi tidak “nyambung” karena pernyataan selanjutnya adalah sebuah pertanyaan yang mempertanyakan; “bukankah mau hidup berapa lama pun tetap menuju pada satu tempat?” 

Walaupun dikatakan kalimat ini belum lengkap, saya rasa maksud dari Kohelet sudah tertuang di sini, yang kurang lebih intinya adalah merendahkan kehidupan yang lama tersebut. Kembali sebenarnya nada negatif termuat di sini. Kali ini Kohelet meragukan adanya kehidupan dengan kesenangan yang pada akhirnya sama-sama menuju liang kubur. 

Memang di beberapa bagian sebelumnya Kohelet menyertakan pendapatnya mengenai bagaimana kenyataan kehidupan ini; misalnya saja mengenai kesewenang-wenangan sang waktu (menurut EGS).[26] Secara garis besar dalam perikop kesewenang-wenangan sang waktu, pernyataan Kohelet bisa ditarik nada positif nya, 

yaitu semua sudah ada waktunya, oleh karena itu Kohelet menyadari betapa berharganya hidup yang singkat ini.[27] Inilah alasan saya menilai Kohelet di perikop pasal 6 ini terlalu meremehkan keberhargaan hidup yang ia anggap berharga di perikop-perikop sebelumnya. 

Dari sini saya juga membayangkan bahwa proses penulisan perikop pasal 6 ini memperlihatkan diri Kohelet yang sudah terlalu uzur usianya, sedangkan pada perikop-perikop yang bernada positif dia adalah orang tua yang masih bisa merasakan kehidupannya di dunia ini. 

Seperti halnya orang tua yang berusia 60-70 tahun pasti ia masih bersemangat untuk hidup, jika ia menantikan kelahiran cucu-cucunya. Masih ada nada positif dalam menjalani kehidupan di usia 60-70 tahun, dengan harapan menantikan kedatangan cucu mereka. 

Sedangkan ketika berusia 90 tahun sampai 100 tahun ke atas, orang-orang tua ini telah bosan untuk hidup mereka sudah melihat semua yang perlu mereka lihat dalam dunia ini. Cucu-cucunya pun telah tumbuh dewasa, atau bahkan sudah memiliki anak. 

Oleh karena itu, tak jarang para orang tua yang berusia 90 tahun ke atas menghendaki hidupnya segera diambil oleh Tuhan, apalagi jika hidup nya hanya terbaring di kasur atau duduk di kursi roda saja. 

 Ayat 7: Sebelumnya dalam ayat 3 sudah disinggung masalah nfs yaitu akar kata dari hannefesy, yang berarti keinginan.[28] Menurut EGS ayat ini menyampaikan bahwa adanya keinginan orang di ayat 3 yang tidak puas-puasnya memenuhi kesenagannya.

[29] Saya rasa hal ini hanya untuk menggemakan kembali apa yang dikatakan pada ayat 3 sebelumnya, mengenai keinginan akan kesenangan yang tidak kunjung terpuaskan. Apakah ini bernada negatif? Tentu tidak, karena tidak ada perbandingan atau pertanyaan retorik yang diungkapkan pada ayat ini, yang merujuk pada nada negatif akan kehidupan. 

Mungkin di ayat selajutnya baru diberikan oleh Kohelet komentarnya tentang situasi di ayat 7 ini, tapi juga belum tentu akan bernada negatif juga.

 Ayat 8: Fox dalam menafsirkan ayat ini menghubungkannya dengan ayat sebelumnya, mengenai keinginan yang tak terpuaskan.[30] Jadi orang bijaksana dipertanyakan kelebihan(yoter)nya dibandingkan dengan orang bodoh, yang menyangkut masalah keinginan yang tak terpuaskan tersebut.

[31] Ternyata semuanya sama-sama memiliki keinginan yang tak terpuaskan, baik si bodoh dan orang yang berhikmat. Sedangkan EGS merujuk pada pasal 2: 14 dalam menafsirkan ayat ini, yang pemahamannya menjadi; semuanya, baik yang berhikmat dan yang bodoh memiliki nasib yang sama.

[32] Kedua penafsiran tersebut dapat saya mengerti, hanya tinggal memilih mau mendekatkan pada konteks yang jauh atau yang dekat. Selain itu, ini bukanlah nada negatif menurut saya. 

Karena perbandingannya jelas tidak melebihkan yang lainnya, baik yang berhikmat dan yang bodoh adalah sama. Berbeda dengan perbandingan di ayat 3 sebelumnya yang mengatakan yang satu lebih baik dari pada yang lain, ataupun pernyataan ayat 7 yang meremehkan kehidupan yang lama tersebut. 

Di sini mungkin yang diremehkan adalah hikmat, karena ditarik persamaanya pada akhir hidup atau keinginan yang tak terpuaskan. Tetapi apakah hikmat tidak bisa dipakai untuk menjalani kehidupan ini? Tentu bisa, karena di pasal 2: 14 mengatakan bahwa orang yang berhikmat berada di tempat yang terang, dan yang bodoh berada di tempat yang gelap.[33]

 Ayat 9: Kembali ada perbandingan dalam ayat 9 ini, tetapi bukan masalah hidup dan mati. Melainkan mengenai aktivitas manusia dalam kehidupan ini, yang ternyata dari pada menuruti nafsu (nefesy: harus diartikan nafsu[34]) masih lebih baik melihat-lihat saja. 

EGS meruntut pemahaman dasar Kohelet tentang perihal mengingini dari Dasa Titah yang terakhir, “jangan mengingini” yang ada dalam kedua versi (Kel. 20: 17; Ul. 5: 21).[35] Menanggapi hal ini EGS juga memberi pendapat bahwa melihat-lihat saja dinilai lebih baik karena tidak adanya kuasa untuk menikmati kesenangan. 

Pendapat lain mengenai ayat 9 ini adalah adanya kaitan ayat 9 ini dengan pasal 5: 10, di mana apa yang dapat dilakukan oleh para pemilik harta hanyalah melihat saja.[36] Untuk menjelaskan perihal mengapa melihat-lihat saja lebih baik dari pada mengingini. 

Saya teringat kisah saya saat SMP, di mana ada seorang teman saya yang telah ditaksir oleh teman sekelasnya. Tiap hari mereka bertemu, dan teman saya tersebut mengabaikan si perempuan yang menaksirnya ini, karena teman saya beranggapan bahwa perempuan tersebut tidak sesuai dengan kriterianya (keinginannya). 

Pada akhirnya si perempuan tersebut bosan dengan cintanya yang bertepuk sebelah tangan, dan beralih menyukai laki-laki lain. 

Ternyata laki-laki lain tersebut menerima cinta dari si perempuan ini, mereka akhirnya berpacaran. Sedangkan teman saya tersebut masih menjomblo sampai saat ini, tentu saja karena kriterianya terlalu tinggi dan tidak kesampaian untuk memenuhi keinginannya. 

Dari situ dia terpukul dan merasa sedih karena masih menjomblo sampai saat ini. Tentu saja karena dia tidak mengambil kesempatan yang sudah tersedia di depan matanya, dan lebih memperjuangkan keinginannya akan wanita yang sesuai dengan kriterianya. 

Dari sini bukanlah lebih baik menerima apa yang terlihat di depan mata dibanding terus berusaha memenuhi keinginan-keinginan yang tak kunjung terpenuhi. Itulah mengapa lebih baik menerima apa yang terlihat di depan mata dari pada mengingini hal-hal yang terlalu tinggi.

  

  • Ungkapan-ungkapan terakhir Kohelet tentang kekayaan, harta benda dan kelimpahan. 

 

Ayat 10-12: ayat-ayat terakhir dalam pasal 6 ini tidak lagi membahas tentang ungkapan situasi yang dilihat oleh Kohelet, ataupun perbandingan-perbandingan lainnya, melainkan berisi kesimpulan atas perenungan Kohelet[37] tentang perihal kekayaan, harta benda, dan kelimpahan. 

Menurut Fox beberapa poros kehidupan yang dicermati oleh Kohelet sudah tidak bisa dirubah lagi, yang semestinya terjadi, telah terjadi, dengan asumsi bahwa masa depan masih bersifat rahasia bagi pelaku kehidupan itu sendiri, tetapi tetap tidak ada yang baru di bawah langit ini.

[38] C. L. Seow sendiri menganggap kata mah-sehayah sebagai apa pun yang terjadi, bukan apa pun yang ada (TB-LAI) atau yang suda ada (Terj. EGS).[39] Berangkat dari pemahaman tersebut, berarti Kohelet membicarakan persoalan “apa yang dilakukan” atau semua kegiatan manusia yang dilakukan sudah terjadi sebelumnya. 

Sedangkan EGS memberi perhatian pada ayat 10 ini dengan mengingat kisah penciptaan di Kej. 2: 19-20, yang bermaksud menjelaskan bahwa manusia telah memberi nama pada ciptaan-ciptaan yang telah ada.[40] Selain itu Allah pun juga memberi nama pada seluruh ciptaan di dunia ini, oleh karena itu dari ayat 10 ini EGS mendapatkan pemahaman teologis tentang Allah Kohelet yang tak tertandingi oleh manusia, 

tetapi pada akhirnya EGS ingin menekankan bahwa adanya kekesalan pemahaman ortodoksi di atas bagi Kohelet sendiri, yang dibuktikan dari pertanyaan di ayat 12; “Apa yang baik bagi manusia?”.[41] Di sini pemahaman yang diberikan EGS lebih mengena menurut saya, jika dikaitkan dengan ketidakmampuan manusia berpekara (ladin) dengan Allah. 

Ayat 11 sendiri hanya membahas tentang kesia-siaan banyak kata yang telah dibahas diperikop-perikop sebelumnya, seperti di pasal 5: 1, yang mencela banjir kata-kata, dalam konteks harus takut akan Allah.[42] Di sini saya berasumsi bahwa kata-kata yang sia-sai tersebut maksudnya adalah kata-kata yang tidak layak disampaikan untuk berargumentasi dengan Allah di ayat 10, hal ini sepemikiran dengan pemahaman EGS.

 Ayat 12 sendiri memang menarik untuk secara sederhana ditarik kesimpulannya menjadi hidup manusia seperti bayangan, yang akan sirna ketika pemilik bayangan berjalan ke tempat yang gelap. Kata seperti bayangan sendiri berasal dari kata Ibrani katsel. Menurut C. L. Seow kata Bahasa Ibrani tidak membutuhkan preposisi kedua untuk mengatakan “seperti dalam” (“as in”),

[43] Tetapi menjadi susah untuk menjelaskan kehidupan di dalam bayangan, dan lebih cocok jika mengartikan katsel seperti sebuah bayangan. Ketika kecil saya sering menyalakan lilin untuk bermain bayang-bayang tangan tembok. Dari permaianan ini saya dapat membuat sebuah bayang-bayang kupu-kupu atau pun bayang-bayang binatang lainnya di tembok. 

Dengan leluasa saya dapat mengatur bentuk bayangan yang ada di tembok tersebut. Jadi jika manusia hidupnya seperti bayangan (di tembok), maka sang pencipta adalah saya yang dengan leluasa bisa membentuk ataupun melenyapkan bayangan di tembok tersebut dengan menutupi cahaya yang membuat bayangan tersebut muncul. Ini lah kehidupan manusia. 

Dari sini manusia hanya terkesan bisa nrimo saja terhadap keputusan pemilik atau pencipta bayangan tersebut. Apakah ini yang ingin ditegaskan oleh Kohelet? 

Tentu tidak sesederhana itu, karena hidup seperti sebuah bayangan tersebut dikaitkan dengan pertanyaan etis tentang “siapa yang mengetahui apa yang baik bagi manusia?” dan “siapa yang akan menceritakan masa depan pada manusia?”. 

Tentu jawabannya si pembuat bayangan tersebut. Ini adalah keputusasaan dari Kohelet, dengan mengetahui hal tersebut, ia mungkin berpikir tidak memiliki kuasa akan dirinya sendiri, seperti bayangan itu sendiri.

 

Kesimpulan

 

Kohelet tentu orang yang telah menyadari bagaimana kehidupan ini akan berjalan, tetapi ia hanya memberi perhatian lebih pada kesia-siaan hidup ini saja. Itu adalah benar jika dikaitkan dengan hidup di bawah bayang-bayang maut. 

Tetapi bukankah kehidupan itu lebih dari pada itu semua, mungkin Kohelet hanya berkaca pada akhirnya saja (dibaca: endingnya saja). Hal ini mungkin karena lelahnya dia merenungkan ra’ah rabbah pada kehidupan manusia, sampai-sampai nada negatif akan kehidupan ia lontarkan. 

Tetapi walaupun kesia-siaan, yang menyakitkan dan kemalangan sangat menekan mengiringi jalannya kehidupan ini, semuanya tetap dalam kendali sang pemilik kehidupan itu sendiri. Jadi tidak perlu lagi menganggap kematian sebagai hal yang lebih baik dari pada kehidupan itu sendiri. 

Yang jelas pengalaman dalam hidup ini sungguh beragam dan terkadang mengejutkan kita, sehingga kita menganggap hal itu adalah hal yang baru. Tetapi disitulah kenikmatan dalam menikmati hidup ini.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun