Mohon tunggu...
Julius Situmorang
Julius Situmorang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Buku Jendela Dunia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Apakah Bayi yang Gugur Itu Lebih Beruntung daripada Kita yang Hidup Ini? (Menggugat Nada Negatif akan Kehidupan: Sebuah Tafsir Pengkhotbah 6:1-12)

14 Juli 2022   21:16 Diperbarui: 14 Juli 2022   21:38 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam mengklasifikasikan tema-tema dalam kitab pengkhotbah ini, saya mengikuti tema yang diberikan oleh EGS. Untuk perikop Pengkhotbah 6: 1-12 ini, seperti yang saya katakan di atas, bahwa Pengkhotbah 6: 1-12 ini masuk dalam tema “percuma mengandalkan kealiman, birokrasi dan kekayaan”. Tetapi di sini saya akan lebih menyederhanakan tema besar tersebut menjadi tema yang lebih kecil. 

Fokus tema tersebut saya angkat berdasarkan konteks pembahasan dalam perikop Pengkhotbah 6: 1-12, yang khusus menyoroti masalah kekayaan, harta benda dan kelimpahan saja. 

Dua hal lainnya, yaitu kealiman saya rasa menjadi bagian pembahasan pada perikop Pengkhotbah sebelumnya. 

Jadi secara garis besar apa yang menjadi sorotan utama oleh Kohelet di sini hanya perihal kekayaan, harta benda dan kelimpahan. Selain itu konteks penulis pengkhotbah di sini akan saya bahas di bagian tafsir teks.

 

  • Kohelet menyoroti orang yang memiliki kekayaan, harta benda dan kelimpahan. 

 

Ayat 1 & 2: kedua ayat ini adalah situasi awal yang disoroti dalam konteks permasalahan yang ada di dalam pasal 6. Seperti yang diketahui bersama ada beberapa sorotan spesifik dalam uraian tulisan-tulisan Kohelet yang selalu mengomentari berbagai macam faktor kehidupan umat manusia. 

Seperti yang terlihat dalam pasal-pasal sebelumnya, yaitu pasal 4: 17- 5: 6 konteks yang disoroti adalah ibadah, sedangkan pasal 5: 7-8 konteks yang disoroti adalah tentang birokrasi (menurut EGS).[2] Sedangkan pada pasal 6: 1-2 ini konteksnya menyoroti manusia yang diberi kekayaan, harta benda dan kelimpahan. Di sini saya mengikuti C. L. Seow dan Fox yang mengartikan kabod sebagai kelimpahan dibandingkan dengan kemuliaan.[3]

 Untuk memahami lebih dalam ayat 1 & 2 ini, pertama-tama saya lebih tertarik untuk mengidentifikasi siapa orang-orang yang dimaksud oleh Kohelet di sini. Jika merujuk pada literernya saja memang akan susah untuk mengidentifikasi orang-orang yang dimaksudkan oleh Kohelet di sini. 

Ayat 1 hanya merujuk pada adanya ra’ah, yang berarti kemalangan, dan kemalangan tersebut sangatlah berat (rabbah) dirasakan oleh manusia.[4] Menurut EGS, dengan membandingkan ayat 1 dengan pasal 2: 21, ungkapan ra’ah rabbah adalah idiom untuk mengungkapkan adanya suatu malapetaka besar.

[5] Jika melihat pada konteks pada saat penulisan paper ini, saya rasa ra’ah rabbah adalah ungkapan yang ingin menunjukkan wabah pandemi covid-19 ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun