[29] Saya rasa hal ini hanya untuk menggemakan kembali apa yang dikatakan pada ayat 3 sebelumnya, mengenai keinginan akan kesenangan yang tidak kunjung terpuaskan. Apakah ini bernada negatif? Tentu tidak, karena tidak ada perbandingan atau pertanyaan retorik yang diungkapkan pada ayat ini, yang merujuk pada nada negatif akan kehidupan.
Mungkin di ayat selajutnya baru diberikan oleh Kohelet komentarnya tentang situasi di ayat 7 ini, tapi juga belum tentu akan bernada negatif juga.
Ayat 8: Fox dalam menafsirkan ayat ini menghubungkannya dengan ayat sebelumnya, mengenai keinginan yang tak terpuaskan.[30] Jadi orang bijaksana dipertanyakan kelebihan(yoter)nya dibandingkan dengan orang bodoh, yang menyangkut masalah keinginan yang tak terpuaskan tersebut.
[31] Ternyata semuanya sama-sama memiliki keinginan yang tak terpuaskan, baik si bodoh dan orang yang berhikmat. Sedangkan EGS merujuk pada pasal 2: 14 dalam menafsirkan ayat ini, yang pemahamannya menjadi; semuanya, baik yang berhikmat dan yang bodoh memiliki nasib yang sama.
[32] Kedua penafsiran tersebut dapat saya mengerti, hanya tinggal memilih mau mendekatkan pada konteks yang jauh atau yang dekat. Selain itu, ini bukanlah nada negatif menurut saya.
Karena perbandingannya jelas tidak melebihkan yang lainnya, baik yang berhikmat dan yang bodoh adalah sama. Berbeda dengan perbandingan di ayat 3 sebelumnya yang mengatakan yang satu lebih baik dari pada yang lain, ataupun pernyataan ayat 7 yang meremehkan kehidupan yang lama tersebut.
Di sini mungkin yang diremehkan adalah hikmat, karena ditarik persamaanya pada akhir hidup atau keinginan yang tak terpuaskan. Tetapi apakah hikmat tidak bisa dipakai untuk menjalani kehidupan ini? Tentu bisa, karena di pasal 2: 14 mengatakan bahwa orang yang berhikmat berada di tempat yang terang, dan yang bodoh berada di tempat yang gelap.[33]
Ayat 9: Kembali ada perbandingan dalam ayat 9 ini, tetapi bukan masalah hidup dan mati. Melainkan mengenai aktivitas manusia dalam kehidupan ini, yang ternyata dari pada menuruti nafsu (nefesy: harus diartikan nafsu[34]) masih lebih baik melihat-lihat saja.
EGS meruntut pemahaman dasar Kohelet tentang perihal mengingini dari Dasa Titah yang terakhir, “jangan mengingini” yang ada dalam kedua versi (Kel. 20: 17; Ul. 5: 21).[35] Menanggapi hal ini EGS juga memberi pendapat bahwa melihat-lihat saja dinilai lebih baik karena tidak adanya kuasa untuk menikmati kesenangan.
Pendapat lain mengenai ayat 9 ini adalah adanya kaitan ayat 9 ini dengan pasal 5: 10, di mana apa yang dapat dilakukan oleh para pemilik harta hanyalah melihat saja.[36] Untuk menjelaskan perihal mengapa melihat-lihat saja lebih baik dari pada mengingini.
Saya teringat kisah saya saat SMP, di mana ada seorang teman saya yang telah ditaksir oleh teman sekelasnya. Tiap hari mereka bertemu, dan teman saya tersebut mengabaikan si perempuan yang menaksirnya ini, karena teman saya beranggapan bahwa perempuan tersebut tidak sesuai dengan kriterianya (keinginannya).